2015-08-01

Artikel ini merupakan satu artikel terbaik “Dare To Dream, Care To Share” edisi Juli 2015 (To Protect Indonesian Children’s Right). Artikel ini ditulis oleh Esti Mardiani-Euers,  mahasiswa di Department of Engineering, Lancaster University

Bahagiakah anak-anak Indonesia?

Keponakan saya tinggal di Jakarta, punya anak tiga, dua anak perempuan dan bayi laki-laki. Tapi dia bekerja di luar kota, hanya seminggu sekali pulang ke Jakarta. Istrinya sendirian di rumah mengasuh tiga orang anaknya, dibantu seorang Ibu yang tinggal di sekitar kompleks perumahan yang hanya datang setengah hari untuk membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika.

Saya bertanya-tanya, bagaimanakah anak-anaknya, apakah mereka bahagia hanya sempat bertemu Ayah mereka seminggu sekali? Seorang Ayah yang bekerja di luar kota demi mencukupi biaya hidup seluruh keluarga, tentu ada konsekwensinya. Mereka harus hidup terpisah ruang dan waktu, hanya satu hari dalam seminggu punya kesempatan bertemu.

Inilah typical pola kehidupan keluarga-keluarga muda yang kita jumpai di kota-kota besar saat ini. Suami isteri dua-duanya bekerja, atau suami kerja di tempat yang jauh, jam kerja yang panjang, untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sehari-hari di era modern ini. Kebutuhan yang tidak terbatas hanya untuk biaya belanja sehari-hari, kesehatan dan pendidikan anak saja, melainkan juga kebutuhan-kebutuhan lain yang sudah menjadi satu paket: kendaraan, rekreasi, wisata kuliner, entertainment, gadget, dst. Dan di jaman Ipod dan flat screen tv ini, terpenuhinya semua kebutuhan ‘materi’ tersebut menjadi tolok ukur sukses atau tidak dalam kehidupan seseorang!

Seberapa pentingkah kehadiran seorang sosok Ayah di tengah-tengah keluarga?



Sumber gambar: willitmatter.com

Saya bukanlah seorang psikolog, tetapi konon, anak-anak perempuan biasanya dekat dengan Ayahnya, dan anak laki-laki dekat dengan Ibunya.

Saya membandingkan situasi kini dengan masa kecil saya dulu. Ibu dan Ayah juga bekerja. Tapi di rumah ada tiga orang nenek yang mengasuh kami. Juga Oom dan Pak De yang kebetulan belum berkeluarga, ikut momong saya dan adik-adik: mengajak jalan-jalan, mengantar sekolah, menonton film anak-anak. Pak De sering mengajak saya nonton pertandingan sepak bola di stadion. Mereka  bergantian ikut momong kami ketika Ibu dan Ayah bekerja. Kami senantiasa dikelilingi sanak saudara, Nenek, Oom, Pak De. Jadi, meski Ibu dan Ayah bekerja, ada anggota keluarga yang menjaga dan mengasuh kami dengan penuh kasih, dan memberi rasa aman. Kami tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga besar, tidak merasa kesepian. Sungguh, masa kecil yang indah dan bahagia.

Betapa pentingnya anak-anak tumbuh bahagia dan merasa aman di lingkungan keluarga di rumah.

Sebuah penelitian ekonomi menyatakan bahwa kebahagiaan berpengaruh terhadap kinerja karyawan di tempat kerja. Pegawai yang bahagia akan bersemangat dalam bekerja dan produktif. Perusahaan-perusahaan besar yang memahami akan pentingnya invesitasi sumber daya manusia ini akan melakukan banyak upaya berupa pelatihan-pelatihan, penghargaan, program dan kegiatan sosial lainnya yang akan membuat para karyawannya bahagia di tempat kerja.

Kebahagiaan akan memancarkan energi positif di sekitarnya. Dari pengamatan dan pengalaman saya, orang yang bahagia, cenderung membuat orang lain bahagia. Sebaliknya, orang yang tidak bahagia, cenderung menyeret orang dalam situasi yang tidak menyenangkan, memancarkan energi negatif yang akan membuat situasi di sekitar gloomy and depressive.

Anak-anak yang bahagia biasanya juga kreatif. Mereka cenderung berpikir secara komprehensif, menyeluruh, holistik dalam memikirkan solusi sebuah persoalan. Penelitian menemukan adanya pelepasan dopamin dipicu oleh kebahagiaan. Neuro transmitter ini terlibat dalam pembelajaran, pengolahan, dan pengambilan keputusan.

Dr. Carrie Barron, seorang Psychiatry dan penulis ‘The Creativity Cure’, mengungkapkan, bahwa menjadi seorang yang kreatif juga bermanfaat untuk kesehatan. Orang-orang yang kreatif lebih bahagia dari yang lainnya,  memiliki sifat tekun dan gigih untuk mencapai kepuasan hidup serta mampu berpikir luas. Menurutnya ada hubungan yang kuat antara ekspresi kreatif dan kesejahteraan secara keseluruhan. Dr. Shelley Carson, peneiti, juga mengatakan bahwa mood yang positif membuat seseorang menjadi kreatif. Jadi ada hubungan timbal balik antara kebahagiaan, kreatifitas dan kesehatan.

Sangat menarik untuk dicermati, di tahun 2004 Departmen Pendidikan Inggris mengeluarkan Child Act yang didalamnya memuat ‘Every Child Matters’ (ECM): Change for Children. ECM ini bertujuan untuk mendukung kebutuhan semua anak-anak dan orang-orang muda, apapun latar belakang dan kondisi mereka, untuk bisa hidup sehat, aman, gembira dan beprestasi, dapat memberikan kontribusi positif di lingkungan dan masyarakat, serta mencapai hidup sejahtera.

Ini merupakan kebijakan dan pendekatan pemerintah untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan kesejahteraan semua anak-anak dan orang-orang muda dari lahir sampai usia 19 tahun.

Di dalam ECM disebutkan bahwa ada 5 sasaran pencapaian yang merupakan kunci kesejahteraan di masa anak-anak dan kehidupan selanjutnya, yaitu: being healthy (sehat fisik, mental, seksual, dan gaya hidup), staying safe (aman dari perlakuan buruk, kematian, bullying dan diskriminasi, kejahatan dan perilaku asosial; memiliki rasa aman dan mendapatkan perhatian),  enjoying and achieving (hadir dan gembira di sekolah, serta  dapat meraih prestasi yang memenuhi standar pendidikan nasional), making a positive contribution (terlibat dalam pengambilan keputusan, mentaati peraturan, mengembangkan hubungan positif dengan lingkungan dan tidak terlibat bullying maupun perlakuan diskrimatif, mengembangkan rasa percaya diri, dan dapat beradaptasi terhadap perubahan dan tantangan), and economic well-being (siap memasuki lapangan kerja atau mengikuti pendidikan lanjut,  tinggal di rumah yang layak huni dan keluarga yang sejahtera).

Lima faktor ini menjadi fokus perhatian pemerintah untuk semua anak-anak dan orang-orang muda yang diimplementasikan dalam program-program pendidikan di sekolah-sekolah. Pemerintah menyediakan dana bagi sekolah-sekolah, college, museum, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya untuk bisa mengimplementasikan program ECM ini.

Anak-anak muda yang putus sekolah didorong untuk kembali masuk ke College untuk melanjutkan pendidikan mereka secara gratis sampai lulus SMA (Level 1-2) terutama untuk pelajaran Literacy dan Numeracy, dan Employability yang akan membukakan peluang bagi mereka untuk bisa masuk lapangan kerja, atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Ibu-ibu muda yang putus sekolah juga didorong untuk belajar Literacy, Numeracy, Parenting Skills, ICT, dan Vocational skills, untuk meningkatkan ketrampilan mereka sehingga dapat membantu anak-anak mereka belajar di rumah dan punya pengetahuan dan ketrampilan untuk memasuki dunia kerja. Pemerintah menyediakan biaya untuk Child Care bagi ibu-ibu muda yang mau kembali ke pendidikan.

Di musim panas, anak-anak sekolah libur panjang, dan punya kesempatan untuk melakukan kegiatan bersama orang tua mereka, atau nenek dan kakek. Saya banyak mengajar Craft di museum-museum, sekolah-sekolah atau Children Centre. Program ini ditujukan untuk anak-anak dan orang tua mereka. Saya harus memasukkan salah satu elemen ECM di dalam lesson plan pelajaran yang akan saya berikan. Program-program seperti ini diprioritaskan untuk keluarga dengan low income, atau disadvantaged group, mengajarkan kepad mereka, bahwa dengan barang-barang bekas atau sehari-hari yang kia temui di rumah, kita bisa membuat sesuatu yang bermanfaat dan bergembira bersama keluarga.

Alangkah baiknya kalau ada program ECM di Indonesia. Sudah adakah kegiatan seperti itu?

Kembali cerita masa kecilku bersama Ayah.

Ayah, meski pendiam, ternyata juga lucu. Acara favorit kami adalah nonton acara lawak di tv. Dari Dagelan Mataram, Acara Ketupat Lebaran Titik Puspa dan Bing Slamet, Bagyo-Iskak-Ateng, sampai ketika Sri Mulat muncul di tv. Kami juga suka nonon film-film lucu dari luar negeri yang disiarkan TVRI jaman dulu seperti Charlie Chaplin, Jerry Lewis, Norman Wisdom, Louis de Fune, plus tidak lupa film kartun Popeye the Sailor Man! Banyak tawa dan canda di rumah.

Betulkah bahagia juga dipengaruhi secara genetika?

Hasil studi tetang kebahagiaan menemukan bahwa penduduk di kawasan Skandinavia seperti Denmark dan kawasan yang berdekatan seperti Belanda dan Swedia menduduki peringkat tinggi dalam kebahagiaan. Meskipun ada berbagai faktor yang membuat seseorang mudah menjadi bahagia atau tidak, teryata faktor gentika juga punya pengaruh yang lebih besar. Orang-orang Belanda dan Swedia punya genetik yang mirip dengan orang Denmark.

Di Belanda sistem kerja dibuat sangat fleksibel sehinga suami dan isteri bisa bekerja paruh waktu tanpa menghambat karir mereka. Jadi dalam lima hari kerja seminggu mereka bisa punya paling tidak dua hari berada di rumah untuk mengasuh anak. Mungkin hal ini juga ikut menyumbangkan situasi dan kondisi sehingga anak-anak bahagia, karena tumbuh dan diasuh Ibu dan Ayah mereka.

Ternyata, orang-orang bahagia tidak hanya kreatif, tetapi juga bekerja lebih produktif. Mereka termotivasi dan bergairah dalam bekerja dan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Secara teoritis orang tua yang bahagia akan menciptakan suasana bahagia di dalam rumah, dan ini akan mengimbas kepada anak-anaknya.

Ayah tidak banyak berkata-kata. Beliau lebih banyak memberi contoh dengan perbuatan: selalu punya kesibukan bila ada di rumah: membaca, mengerjakan laporan pekerjan dengan mesin ketiknya, menjahit baju beliau yang sobek, membetulkan perabot yang rusak, mengganti bola lampu yang mati, mengganti genteng yang pecah, melabur rumah.

Sore hari, kalau Ayah tidak ada kesibukan, beliau suka main scrabble, atau solitaire. Saya suka menemani beliau. Ayah menjelaskan bagaimana cara dan strateginya. Kadang, beliau mengajak saya jalan-jalan. Bahkan ketika kami sudah remaja pun, saya dan adik-adik saya yang perempuan semuanya, suka berebut menggandeng Ayah ketika diajak jalan-jalan. Jadi, ketika bepapasan dengan tetangga atau kenalan Ayah, mereka beromentar, bercanda, ‘Wah, Bapak selirnya cantik-cantik dan muda belia!’ Ayah hanya tersenyum. Itulah di antara banyak sekali kenangan indah  bersama Ayah.

Saya sangat bangga dan hormat kepada Ayah. Ayahku adalah pahlawanku. Beliau adalah seorang Ayah sekaligus seorang sahabat dan teman berdiskusi. Seseorang yang tidak banyak bicara dalam memberi suri tauladan, sabar, pendengar yang baik, santun, supel, lucu, tidak pernah bicara dengan suara keras, dan berprestasi dalam bekerja. Semua orang di kantor memanggil Ayah dengan sebutan ‘Romo’, seseorang yang dipandang sebagai sesepuh yang arif dan dihormati. Di akhir masa pensiun, Ayah mendapat penghargaan sebagai pegawai teladan. Tanpa banyak berkata-kata, Ayah telah menginspirasi kepada kami untuk bekerja bersungguh-sungguh, berprestasi di sekolah dan di tempat kerja, meniru semua contoh baik tanpa harus dikomando, disuruh-suruh, apa lagi dipaksa.

Semoga bahagia semua anak Indonesia!

Kenangan kepada Ayah tercinta.

Rampung,

Bandung, 29 Juli tengah malam

Arikel ini saya tulis berdasarkan pengalaman dan dari berbagai sumber:

Every Child Matters. Renaissasance South East. Museums for changing lives. (www.every-child-maters.org.uk)

Senyuman Bikin Bahagia dan Kreatif (http://health.kompas.com/read/2015/02/10/072000523/Senyuman.Bikin.Bahagia.dan.Kreatif)

Orang Kreatif Rentan Depresi (http://www.dream.co.id/fresh/orang-kreatif-rentan-depresi-1505259.html)

Manakah Negara Paling Bahagia di Dunia? (http://health.kompas.com/read/2014/11/22/160000223/Manakah.Negara.Paling.Bahagia.di.Dunia)

Orang-orang Bahagia Bekerja dengan Lebih Produktif (http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2014/01/22/orang-orang-bahagia-bekerja-dengan-lebih-produktif-628141.html)

Hubungan Bahagia dan Genetik (http://www.bglconline.com/2014/08/hubungan-bahagia-dan-genetik/)

Show more