2015-07-06

WAWASAN PENDIDKAN DASAR DAN MENENGAH

Kepentingan belajar peserta didik : diharapkan pendidik dapat melakukan bimbingan serta pengajaran pada peserta didik hingga pada akhirnya peserta didik menjadi pribadi yang dewasa. Guru selain bertugas untuk mengajar yang secara umum didefinisikan menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, guru juga dituntut untuk mampu mendidik siswa menjadi pribadi yang memiliki akhlak mulia. Berbakti kepada orang tua, guru, maupun mengabdikan diri untuk masyarakat. Pendidikan berasal dari kata dasar didik yang artinya memelihara dan member latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. (KBBI:2009). Jangan sampai baik buruknya prestasi siswa hanya dibebankan kepada guru. Semua elemen harus mendukung dalam tercapainya prestasi belajar siswa. Terutama peran orang tua sangat vital dalam berhasil tidaknya siswa sekolah. Anak usia SD, SMP, maupun SMA harus dipantau dan diawasi oleh orang tua masing-masing ketika berada di rumah. Baik itu porsi belajar serta teman bermain. Hal ini untuk mengantisipasi bebasnya anak bergaul ataupun berteman dengan siapa pun. Karena lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu faktor yang menunjang terbentuknya pribadi pelajar tersebut.

kinerja guru : Guru merupakan faktor dominan dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu upaya perbaikan kesejahteraan guru perlu ditingkatkan. Dengan demikian, guru tidak hanya dituntut untuk meningkatkan wawasan maupun mutu mengajarnya serta meghasilkan output yang baik.  Guru hendaknya lebih kreatif, inovatif, terampil, berani berinisiatif serta memiliki sikap politik yang jelas. Selain itu, pemerintah diharapkan memberdayakan guru dengan program-program latihan sehingga mereka mampu mengembangkan model-model pengajaran secara variatif.

Pada masa sekarang, pendidikan berdasarkan pada UUD 1945 Pasal 31 dan UU No 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu prinsip gerakan reformasi dalam pendidikan adalah pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta mereka dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pendidikan. Perubahan mendasar menuju paradigma pendidikan masa depan adalah pelaksanaan pendidikan berbasis sekolah atau madrasah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi Perguruan  Tinggi pada tingkat pendidikan tinggi. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, serta perbedaan pengelolaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.

Kualitas Pengelolaan : . Kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak konsekuen. Kebijakan ini hanya mengandalkan input yang baik untuk menghasilkan output yang baik, masalah proses hampir diabaikan.

2. Penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik dan Jawa sentris. Keputusan birokrasi dalam hal ini hampir menyentuh semua aspek sekolah, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi sekolah tersebut. Akibatnya, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan lembaganya.

3. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan masih kurang. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan hanya bersifat dukungan dana. Padahal yang lebih penting adalah partisipasi dalam hal proses pendidikan yang meliputi; (1) pengambil keputusan, (2) monitoring, (3) evaluasi, dan (4) akuntabilitas. Dengan demikian, sekolah dan masyarakat secara bersama-sama bertanggungjawab dan berkepentingan terhadap hasil pelaksanaan pendidikan, bukan sekolah yang bertanggungjawab kepada masyarakat terhadap hasil pelaksanaan pendidikan itu sendiri

Daya saing lulusan : Daya saing luluan di masing daerah berbeda, tidak merata karena nilai kultur daerah yang berbeda. Menghapuskan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, termasuk penghapusan Ujian Nasional (UN). Sistem Ujian Nasional mesti dihapuskan karena sangat memungkinkan terjadinya kecurangan. Oleh karena itu, kebijakan kelulusan siswa semestinya dikembalikan ke masing-masing sekolah yang bersangkutan sesuai dengan UU Sisdiknas. Ujian nasional belum tentu merefleksikan kualitas lulusan, tetapi kualitas ditunjukkan oleh orang yang bisa mengambil keputusan dan bisa berfikir relevan untuk masa depannnya.

2. Efisiensi : Secara umum, tujuan manajemen sekolah dasar adalah mewujudkan sekolah dasar sebagai lembaga pendidikan yang baik, yaitu efektif dan efisien. Efektif berarti mencapai tujuan, sedangkan efisien dalam arti  umum bermakna hemat.  Jadi  ada  dua tujuan pokok dengan diterapkannya manajemen dalam suatu penyelesaian pekerjaan, organisasi, instansi, atau lembaga. Pertama, tujuan  manajemen itu diupayakan dalam rangka mencapai efektivitas.  Suatu program kerja dikatakan efektif apabila program kerja tersebut dapat mencapai tujuan. Dengan kata lain, tujuan diterapkannya manajemen pada sebuah program adalah agar program tersebut dapat mencapai tujuan. Kedua, manajemen itu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dalam pelaksanaan setiap program. Efisiensi merupakan suatu konsepsi perbandingan  antara pelaksanaan satu program dengan hasil akhir yang diraih atau dicapai.

Menurut The Liang Gie (1983), perbandingan tersebut dapat dilihat dari  dua segi, yaitu segi pelaksanaan program dan segi hasil. Apabila ditinjau  dari  segi pelaksanaannya,  sebuah program  dapat dikatakan  efisien apabila hasilnya dapat dicapai melalui upaya yang sekecil-kecilnya dan sehemat-hematnya. Upaya yang dimaksudkan  di sini adalah penggunaan komponen, seperti tenaga, waktu pelaksanaan, sarana   prasarana, dan keuangan. Ditinjau  dari segi hasil, penyelenggaraan sebuah program dapat dikatakan efisien apabila dengan  usaha tertentu memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya

Produktivitas : Dalam arti yang tradisional, konsep pengelolaan pegawai terbatas pada urusan-urusan manajemen operatif, seperti mengelola data pegawai (record keeping), penilaian kinerja yang bersifat mekanistik (mechanical job evaluation), kenaikan pangkat dan gaji secara otomatis (automatic merit increase). Perhatian terhadap SDM pada masa kini mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan pegawai (fisik, emosional dan sosial), yang akan berpengaruh secara signifikan terhadap cara-cara mereka bekerja, dan dengan sendirinya berpengaruh terhadap produktivitas mereka. Manajemen Sumber Saya Manusia (MSDM) adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan pengakuan pada pentingnya tenaga kerja pada organisasi sebagai sumber daya manusia yang vital, yang memberikan sumbangan terhadap tujuan organisasi, dan memanfaatkan fungsi dan kegiatan yang menjamin bahwa sumber daya manusia dimanfaatkan secara efektif dan adil demi kemaslahatan individu, organisasi, dan masyarakat

Penjaminan mutu : Seiring dengan perubahan pola pemerintahan setelah diberlakukannya otonomi daerah, maka pola pendekatan manajemen sekolah saat ini berbeda pula dengan sebelumnya, yakni lebih bernuansa otonomi. Untuk mengoptimalkan penyediaan, pendayagunaan, perawatan dan pengendalian sarana dan prasarana pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, diperlukan penyesuaian manajemen sarana dan prasarana. Sekolah dituntut memiliki kemandirian untuk mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut kebutuhan dan kemampuan sendiri serta berdasarkan pada aspirasi dan partisipasi warga sekolah dengan tetap mengacu pada peraturan dan perundangan-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Hal itu terutama ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah. Untuk mewujudkan dan mengatur hal tersebut, maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tetang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa; (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Akuntabilitas/ pertanggung jawaban : Tiap sekolah wajib menyelenggarakan inventarisasi barang milik negara yang dikuasai/diurus oleh sekolah masing-masing secara teratur, tertib dan lengkap. Kepala sekolah melakukan dan bertanggung jawab atas terlaksananya inventarisasi fisik dan pengisian daftar inventaris barang milik negara yang ada di sekolahnya.

Secara umum, inventarisasi dilakukan dalam rangka usaha penyempurnaan pengurusan dan pengawasan yang efektif terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah. Secara khusus, inventarisasi dilakukan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut.

1)    Untuk menjaga dan menciptakan tertib administrasi sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah.

2)    Untuk menghemat keuangan sekolah baik dalam pengadaan maupun untuk pemeliharaan dan penghapusan sarana dan prasarana sekolah.

3)    Sebagai bahan atau pedoman untuk menghitung kekayaan suatu sekolah dalam bentuk materil yang dapat dinilai dengan uang.

4)    Untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah.

3. Pendidikan era Jokowi JK

Keseluruhan visi, misi dan program aksi Jokowi-JK terkait pendidikan dapat dirangkum secara diagramatik. Keterkaitan antara visi, misi dan seluruh program Jokowi-JK terkait pendidikan dapat dijabarkan melalui diagram berikut.

Berdasarkan ringkasan pokok-pokok kebijakan Jokowi-JK terkait pendidikan ini, kita dapat menggali sejumlah tantangan yang inheren dalam implementasinya. Kita akan membatasi diri pada tiga bentuk tantangan saja, yakni terkait subsidi, kurikulum budi pekerti dan demokratisasi standar pendidikan nasional.

Tantangan kebijakan pendidikan Jokowi-JK di aras kurikulum bersumber dari pengalaman penerapan kurikulum yang ada sejauh ini. Ringkasnya, apa yang mesti dilakukan pemerintahan Jokowi-JK ialah mewujudkan sintesis baru antara pendidikan karakter dan kognitif. Dalam hal ini, ada dua kecenderungan historis yang berlawanan secara diametral dan keduanya mesti dielakkan:

• Kecenderungan pedagogi Orba yang berpusat pada aspek teknis-kognitif dan menciutkan permasalahan karakter pada ideologi Pancasila yang telah difabrikasi oleh rezim Suharto.

• Kecenderungan pedagogi ultra-moralis khas Reformasi, khususnya Kurikulum 2013, yang berpusat pada pendidikan karakter yang telah diciutkan menjadi perkara agama dan dipaksakan secara tidak selaras sebagai kriteria evaluasi mapel-mapel yang sebetulnya tak berhubungan dengan agama.

Keduanya hanya dapat dihindarkan apabila pemerintahan Jokowi-JK berhasil merumuskan kembali gagasan tentang pendidikan karakter secara lebih selaras dengan pendidikan kognitif.

Salah satu solusi penyelerasan itu ialah penggunaan bingkai pendidikan humaniora. Di sini, ide tentang pendidikan karakter mesti dikontekskan ke dalam materi yang memang dipelajari di sekolah. Salah satu mapel yang paling cocok untuk menyemai fondasi karakter adalah mapel-mapel bahasa. Apabila pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris (serta bahasa-bahasa daerah dan asing lain yang diajarkan) dapat dirombak dengan memberikan porsi yang amat besar pada kesusastraan, maka hal itu akan menjadi ladang persemaian karakter yang selaras dengan alur pengajaran di sekolah. Dengan mempelajari karya-karya sastra, baik lokal maupun dunia, para siswa akan digerakkan dari dalam hatinya sendiri untuk mengambil sikap dan mengasah intuisi etisnya. Friedrich Schiller mengatakan, dalam Letters on the Aesthetic Education of Mankind (1794), bahwa pendidikan estetis adalah kunci bagi kebijaksanaan dan kemawasan di setiap cabang kehidupan, termasuk politik. Jadi solusi atas dilema pendidikan karakter dalam kurikulum kita ialah perluasan mapel bahasa menjadi mapel kesusastraan dan penambahan alokasi waktu bagi mapel kesusastraan tersebut. Jika Jokowi-JK berkomitmen untuk menjadikan pendidikan budi pekerti menempati porsi 70 persen dari materi pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah, maka hal itu dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam pendidikan kesusastraan. Solusi di muka mesti dibarengi dengan transformasi daya kognitif agar tak berhenti sebatas pemerolehan pengetahuan teknis-instrumental, tetapi juga kritis-reflektif. Hal ini dapat dilakukan dengan pelajaran filsafat di jenjang menengah, seperti halnya diberlakukan dalam lembaga pendidikan menengah atas di Jerman (Gymnasium) dan Prancis (lycée). Pelajaran filsafat akan mengolah intuisi etis yang telah terasah dalam pendidikan kesusastraan sejak SD dan membuat siswa mampu mengartikulasikan sikapnya secara kritis dan sistematis melalui argumen yang masuk akal dan dapat diperdebatkan. Singkatnya, kunci dari dikotomi antara pendidikan karakter dan kognitif terletak pada perluasan pengajaran sastra di tingkat SD dan pengajaran filsafat di tingkat SMA.

Secara lebih konkrit, ketiga tantangan tersebut dapat diuraikan ke dalam rumusan yang sekaligus menyimpan solusi terhadapnya.

1. Rendahnya Angka Partisipasi Murni pendidikan formal dan tidak meratanya angka tersebut antar provinsi menunjukkan bahwa skema subsidi pendidikan mesti berwatak komprehensif (pembebasan semua biaya) sekaligus universal (mencakup semua warga negara).

2. Terbentangnya jurang antara pendidikan karakter dan kognitif dapat dijembatani lewat pendidikan kesusastraan di tingkat SD hingga SMA dan filsafat di tingkat SMA. Hanya dengan cara itulah poros ekstrem antara ultra-moralisme Kurikulum 2013 dan pedagogi teknis-ideologis Orde Baru dapat dihindarkan.

3. Penghapusan Ujian Nasional tidak boleh disertai dengan penghapusan standar pendidikan apapun, melainkan mesti ditransformasi ke dalam Ujian Daerah yang mengakomodasi kondisi uneven development pendidikan di tiap daerah.

Ketiga tantangan inilah yang mengemuka di hadapan Jokowi-JK. Solusi atas ketiganya sudah terkandung di dalam permasalahan itu sendiri. Tak ada hambatan teknis apapun yang dapat menghalangi Jokowi-JK mengambil ketiga solusi tersebut. Republik ini tidak kekurangan suatu apapun untuk menempuh jalan keluar itu. Yang menentukan hanyalah perkara konsistensi pilihan politik Jokowi-JK pada revolusi mental

4. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankan secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. (6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.

Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan  disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning), c)  hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.

Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian Simmons dan Alexander  (1980) bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.

Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan  secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.

5. Lulusan sebagai Output sekolah merupakan bagian dari sistem dalam manajemen mutu pendidikan. Mutu lulusan tidak dapat dipisahkan dari Contect, Input, Proses, Output dan Outcome. Untuk itu, mutu lulusan yang sesuai dengan keinginan pelanggan pendidikan adalah out put yang mempunyai kriteria sebagai out comes yaitu dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dan siap untuk bekerja.

Mutu lulusan menurut Immegart (1972: 100) dirumuskan dalam bentuk kepentingan yaitu: (1) sinergi dengan rumusan tujuan, kepentingan pimpinan sekolah, eksekutif, pendukung dan petugas sekolah, dan (2) sinergi dengan kepentingan rumusan pelanggan sekolah.

Pendidikan dikatakan relevan apabila peserta didik menjadi berkompeten dan mampu memenuhi lapangan pekerjaan. Sehingga kepala sekolah harus bisa mengelola program sekolah dengan cara mempertemukan keinginan masyarakat dan kebutuhan peserta didik. Peserta didik harus mampu menonjolkan potensinya, dan guru dapat melakukan pembinaan untuk meningkatkan potensi peserta didiknya. Disini, guru mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengelolah pembelajaran.

Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menghasilkan lulusan yang siap pakai, tingkat kelulusan peserta didik tinggi, dan banyak lulusan yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Jenkins 1977: 19-21). Namun kenyataannya dilapangan, banyak peserta didik yang kurang menguasai ilmu yang dipelajari, tidak mampu berpikir kritis dan tidak mampu berbuat dalam kehidupan atau pekerjaan, dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Sudah menjadi keharusan bagi kepala sekolah yang selalu siap dalam mensikapi perubahan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat global.

Kinerja guru : Ornstein dsn Levine, 1984 (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini sebagai berikut :

a. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat ( tidak berganti-ganti pekerjaan )

b. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai ( tidak setiap orang dapat melakukan )

c. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek ( teori baru di kembangkan dari hasil penelitian )

d. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang

e. Terkendali berdasarkan lisensi buku dan atau mempunyai persyaratan masuk ( untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya ).

f. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang lain)

g. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diabil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubung dengan layanan yang diberikan ( langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskan, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lain lebih tinggi ). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.

h. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.

i. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dari supervisi dalam jabatan ( misalnya dokter memakai tenaga adminstrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri )

j.  Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.

k. Mempunyai asosiasi profesi atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya ( keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).

l. Mempunyai kode etik untuk mejelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berubungan dengan layanan yang diberikan.

m. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggin dari publik dan kepercayaan diri sendiri anggotanya ( anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).

n.  Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi ( bila dibandingkan dengan jabatan lain ).

Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al (1991), mengutarakan ciri-ciri umum suatu profesi itu sebagai berikut:

a.  Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosisal yang menentukan (crusial).

b. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.

c. Keterampilan / keahlian yang dituntut jabatan itu dapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

d. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistimatik, eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.

e. Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.

f. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.

g. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.

h. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dan memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang di hadapinya.

i. Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tanggan orang lain,

j. Jabatan ini menpunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat,dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula. (Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999).

Khusus untuk jabatan guru,sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya Nasional Education Asociation ( NEA ) ( 1948 ) menyarankan kriteria berikut.

a. Jabatan yang melibatkan kegiatan itelektual.

b. Jabatan yang menggeluti suetu batang tubuh ilmu yang khusus.

c. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama ( bandingakan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka ).

d. Jabatan yang memerlukan “latihan dalam jabatan “ yang bersinambungan.

e. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.

f. Jabatan yang menentukan baku ( standarnya ) sedndiri.

g. Jabatan yang mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi.

h. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik agar dapat meningkatkan mutu pendidikan maka guru harus memiliki kompetensi yang harus dikuasai sebagai suatu jabatan profesional. Kompetensi guru tersebut meliputi :

a.  Menguasai bahan ajar.

b.   Menguasai landasan-landasan kependidikan.

c. Mampu mengelola program belajar mengajar.

d.  Mampu mengelola kelas.

e.  Mampu menggunakan media/sumber belajar.

f.  Mampu menilaik prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran.

g.  Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.

h.  Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.

i. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengejaran.

Kepuasan Masyarakat : Ekawarna (1995) menyatakan bahwa, guru sebagai individu yang bekerja di dalam suatu organisasi pendidikan akan melakukan tugas pekerjaan ataupun memberikan kontribusi kepada organisasi yang bersangkutan, dengan harapan akan mendapat timbal balik berupa imbalan (rewards) ataupun insentif dari organisasi tersebut.

Tugas guru erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui sektor pendidikan, oleh karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan mutu guru untuk menjadi tenaga profesional. Untuk menjadikan guru sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan pembinaan secara terus menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja perlu diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Untuk membuat mereka menjadi profesional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran, pelatihan, maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui sepervisi, pemberian insentif, gaji yang layak dengan keprofesionalannya sehingga meningkatkan guru menjadi puas dalam bekerja menjadi pendidik.

Dalam kegiatan sehari-hari, guru sebagai individu dapat merasakan adanya kepuasan dalam bekerja. Menurut Hoppeck dalam As’ad (1999), bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerjaan yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kepuasan dan ketidakpuasan guru bekerja dapat berdampak baik pada diri individu guru yang bersangkutan, maupun kepada organisasi dimana guru melakukan aktivitas.

Kepuasan kerja bagi guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja adalah perasan dan penilaian seseorang atas pekerjaannya, khususnya mengenai kondisi kerjanya, dalam hubungannya dengan apakah pekerjaanya mampu memenuhi harapan, kebutuhan, dan keinginannya. Kepuasan kerja guru berdampak pada prestasi kerja, disiplin, kualitas kerjanya. Pada pegawai yang puas terhadap pekerjaanya maka kinerjanya akan meningkat, kemungkinan akan berdampak positif terhadap peningkatan mutu pekerjaan (Umar 2003:213).

Kebijakan pemerintah : Pemberdayaan (empowerment) mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, mendelegasikan otoritas pada pihak lain, (2) to give ability to (usaha untuk memberi kemampuan) (Oxfort English Dictionary). Makna tersebut mensyiratkan bahwa konsep pening¬katan kualitas pendidikan belum mengoptimalkan pada pemberdayaan kinerja guru, yang memiliki peran dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pem¬ber¬dayaan tenaga pendidik merupakan perwujudan capacity building yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia tenaga pendidik melalui pengembangan berbagai kemampuan (kinerja) dan tanggungjawab serta suasana sinergis antara pemerintah (masyarakat) dengan guru. Upaya optimalisasi kinerja guru yang ber-kelanjutan merupakan faktor yang penting dibanding faktor lainnya dalam peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini telah disadari dan dilakukan oleh peme¬rintah melalui penugasan studi lanjut, berbagai training dan penataran pada guru.

Studi lanjut diperuntukkan bagi guru-guru Sekolah Dasar yang belum me¬miliki kualifikasi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), bahkan yang sudah berijazah S1 bukan PGSD sebagian disarankan untuk menempuh lagi pada S1 PGSD. Sedangkan berbagai training atau pelatihan tentang pengembangan profesi seperti: penyusunan silabus, perencanaan pelaksanaan pembelajaran (RPP), model-model pembelajaran, pengembangan evaluasi hasil belajar, diberikan kepada guru. Selain itu juga diselenggarakan berbagai seminar tentang optimal-isasi kinerja guru untuk menunjang kompetensinya secara profesional.

Kinerja guru (Job Performance) merupakan sejumlah hasil kegiatan yang telah dilaksanakan atau akan dilakukan oleh guru sesuai profesinya sebagai guru. Suman (2005) mendefinisikan kinerja sebagai “sesuatu yang dikerjakan atau pro¬duk/jasa yang dihasilkan atau diberikan oleh seseorang kepada sekelompok orang”. Rao (dalam Mulyasa, 2007) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil dari kemampuan serta usaha. Sedangkan menurut Porter (2006) bahwa kinerja adalah succesfull role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatannya. Kinerja merupakan perilaku yang ditampakkan oleh individu atau kelompok.

Dalam mencapai sesuatu seseorang biasanya termotivasi oleh kinerja. Motivasi merupakan unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sebab peranan motivasi bisa berfungsi sebagai pendorong kinerja. Kinerja adalah kapa¬sitas yang dimiliki seseorang untuk melakukan atau menyelesaikan suatu peker¬jaan. Usaha adalah waktu dan tenaga yang dikeluarkan seseorang untuk mencapai motivasinya. Sedangkan motivasi adalah harapan, keinginan, dorongan hati, de¬sak¬an untuk mencapai sesuatu. Motivasi diartikan sebagai sikap (mene-rima/me¬nolak) terkait dengan minat, kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan. Dalam kait¬annya dengan seseorang, maka motivasi dimaksudkan sebagai kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan seseorang untuk melakukan tugas yang menjadi tang¬gungjawabnya.

Kemampuan seseorang itu pada dasarnya merupakan hasil proses belajar, yang meliputi aspek-aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Menurut Gagne (1992) hasil belajar merupakan perubahan yang meliputi cognitive, attitude dan psychomotor. Begitu juga pendapat Krathwohl (1994) yang menyatakan bahwa hasil belajar (learning outcomes) yang meliputi tiga domain, yaitu: (a) cognitive, (b) affective, dan (c) psychomotor, yang sering juga disebut dengan taxonomy of education objectives. Kemampuan yang meliputi tiga aspek tersebut akan mem¬pengaruhi kinerja seseorang yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat keberhasilan organisasi dalam hal ini kualitas pendidikan.

McClelland (2001) menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara motivasi kerja dan kinerja seseorang. Artinya setiap pekerja yang memiliki moti¬vasi kerja tinggi akan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi pula. Demikian juga bahwa pemberdayaan memiliki kaitan yang positif terhadap motivasi se¬se¬orang. Teknik-teknik untuk memotivasi kinerja guru tersebut menurut Prabu Mangkunegara (2005) antara lain: (1) teknik pemenuhan kebutuhan, (2) teknik komunikasi persuasif. Pemenuhan kebutuhan guru merupakan fondamen yang mendasar bagi perilaku kerja. Manajemen tidak mungkin dapat memotivasi guru tanpa memenuhi kebutuhan yang memadai. Menurut Maslow (2005) hirarki kebutuhan guru meliputi: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.

Efisiensi dan akuntabilitas :

Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:

a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:

Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.

Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.

b. Dilihat dari segi hasil

Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.

Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.

Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

Diambil  dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)

2.  Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat

1. Pembangunan pendidikan karakter : Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara. Hal itu diharapkan  mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pendidikan merupakan tulang punggung strategi pembentukan karakter bangsa.  Strategi pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan dapat dilakukan dengan pendidikan, pembelajaran, dan fasilitasi. Dalam  konteks makro, penyelenggaraan pendidikan karakter mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian mutu yang melibatkan seluruh unit utama di lingkungan pemangku kepentingan pendidikan nasional.

Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional yang kuat. Selain dipengaruhi faktor politik dan ekonomi, pendidikan juga dipengaruhi faktor sosial budaya, khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial.

Disadari bahwa pembangunan karakter bangsa dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat kompleks. Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tentu merupakan masalah tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan antarbangsa sangat berpengaruh pada aspek ekonomi (perdagangan global) yang mengakibatkan berkurang atau bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran. Pada aspek sosial dan budaya, globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik yang seperti virus akan berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya bangsa seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya toleransi antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap sesama, dan itu semua pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan strategi pendidikan sebagai modal utama menghalangi virus-virus penghancur tersebut, masa depan bangsa ini dapat diselamatkan.

Secara makro pengembangan karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,  pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan (1) filosofis: Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) teoretis: teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosial-kultural;  (3) empiris: berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren, kelompok kultural, dll.

Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar  dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur. Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna, peran guru sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisidan penguatanyang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya  membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara  sistemik, holistik, dan dinamis.

Pelaksanaan pendidikan karakter dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor

Show more