2015-06-22

Triing!

Sebuah email masuk ke inboxku siang itu, dari Koordinator Ekspedisi Warisan Kuliner Bango ke 120 kota di seluruh Indonesia, Arie Parikesit.


Email tersebut mengundang blogger untuk icip-icip jajanan kuliner di Festival Jajanan Bango dan mendapat voucher makan saat hadir di sana.

Kecap Bango setiap tahun sejak tahun 2005 sudah melangsungkan Festival Jajanan Bango. Tak lain karena kepedulian mereka dalam warisan kuliner negeri. Indonesia terdiri dari puluhan kepulauan dengan kuliner dan budaya yang tak kalah beragam. Bisa dibilang, heritage kita juga menyangkut masalah perut ini.

Jujur saja, kuliner kita yang kaya bumbu rempah sekarang adalah hasil perpaduan rasa dengan warisan Tiongkok, Eropa -khususnya Belanda dan Portugis- hingga Timur Tengah dan India.

Alkisah, aku datang bersama keluarga. Semarak festival sudah terlihat di sepanjang jalan menuju Stadion GBK Senayan. Suhu yang di atas 35°celcius tak mengurangi antusiasme pengunjung untuk mendatangi sederet tenda yang ada.

PETA KULINER MEMUDAHKAN PENCARIAN?
Di pintu masuk, pengunjung dapat mengambil peta Kuliner Indonesiaku dan kipas dengan logo hijau khas Bango. Panggung raksasa di dekat media menjadi center point, karena di sana, duo MC menghibur pengunjung dengan kuis berhadiah. Anak-anak juga sempat menonton sulap Pak Tarno.

Oya, di Festival Jajanan Bango, kamu gak bakalan nyasar, karena ada papan penunjuk jalan di mana-mana, plus petugas yang berseragam hijau. Tanya aja baik-baik, pasti ditunjukin.



Tapi ga begitu dengan mencari tenda makanan di tengah ribuan manusia! Syukurlah, ada Peta Kuliner yang memudahkan pencarian. Kalau tidak ada peta itu, aku tidak tahu di mana letak area makan, cuci tangan dan bahkan mushola. Memang, karena lokasi festival ini sangat luas, dengan beberapa pembagian wilayah seperti :

Makanan/ Minuman Penutup (10 menu )

Jagoan Kuliner Terbaik Timur (12 menu )

Jagoan Kuliner Terbaik Barat (12 menu )

Jagoan Kuliner Terbaik Tengah (12 menu)

Jagoan kuliner World Street Food Congress(3 + 3 menu)

Jagoan Kuliner Favorit / Apps (8 menu)

Legenda Kuliner (10 menu)

MAKAN SEBANYAK 70 MENU? SANGGUP?
Pingin sih.. kalo festivalnya sebulan! Muahahaha.. so, mau tak mau aku harus berbagi! Gerilya adalah kata yang tepat untuk itu.

Etapi, pertama-tama aku harus 'mengamankan' anak-anakku yang rewel kepanasan dulu. Bersama eyang -ibuku- dan suami serta adikku yang sedang berbaik hati jadi sopir *hihii*.. sesudah kami beli beberapa menu di bawah ini, mereka menuju ke luar area festival. Thanks God, naungan atap stadion cukup menyejukkan.



Nasi Gandul Pati

Bloggers Meet Up dulu dengan Arie Parikesit dan segenap seleb kuliner...

Karena tujuan utamaku selain berburu kuliner adalah ketemu para seleb dunia kuliner -terutama di Kelana Rasa- maka aku pun masuk ke Tenda Media.

Di dalam tenda, kenalan dengan Jeffri Sie, pemilik Gudeg Yu Nap Bandung. Ia adalah pemilik gudeg dengan rasa mendunia, karena Gudegnya terpilih sebagai salah satu menu unggulan World Street Food Congress di Singapore. Mau tahu, jumlah porsi gudeg yang terjual selama kongres? 2.375 porsi dalam 5 hari! Huhuu.. menjura..

World Street Food Congress
adalah KF Seetoh penggagas ide kongres hebat ini, dalam rangka mengenalkan seni kuliner kaki lima dunia. Dengan demikian, KF Seetoh -founder Makan Sutra- ingin agar masakan kaki lima tak lagi dicap sebagai makanan pinggir jalan, namun juga membangkitkan romantisme dan nostalgia.

Iya juga ya, karena gak mungkin, kan. kita pingin makan Kue Rangi atau Es Dawet Ireng di resto? Gak mungkin juga kan, merasakan nostalgia makan Bakso Cuanki -cari uang jalan kaki- yang murah meriah sama pacar di SMP dulu *halah.. halah.. * di dalam cafe?

Sayang ya, aku ga ikut liat WSF ini, karena yang pertama kucari pasti jian bo shui kueh (kue lobak pedas) bak choor mie (sejenis mie ayam, lah..) dan pastinya aneka burger, kebab dan es campur dari berbagai negara *ga nanya*.

Courtesy of Jeffry Sie - instagram

Tabularasa, berawal dari 'kosong'
Kalau ada yang tahu, tabularasa ternyata bukan berasal dari Bahasa Indonesia, atau suku mana pun di Indonesia. Tabularasa adalah kata Latin yang berarti kertas kosong, satu epistomologi, bahwa manusia terlahir dari keadaan tidak tahu apa-apa, dan menyerap segala pengetahuan berdasar pengalaman.

Nah, berkenalan dengan produser cantik, Sheyla Timothy -yang akrab disapa Lala- kita jadi tersentak dengan filosofi dan makna yang dalam dari film ini. Di film yang kukira murni film masak-memasak ini, ternyata tercampur aduk pula beberapa suku bangsa dan adat istiadat.

Di film Tabularasa ada Hans, seorang pemuda Papua yang bertemu dengan Mak, pemilik Lapau (masakan Minangkabau).

Dari cerita Lala, film yang berhasil menembus ke Cannes ini terinspirasi dari kisah hidupnya sendiri. Bangkitnya sang Ibu yang sempat kehilangan semangat setelah ditinggal Ayah Lala. Penasaran belom nonton? Di Festival Jajanan Bango, film inspiratif ini diputar setelah matahari terbenam, mengusung konsep bioskop misbar -gerimis bubar-.

Usai Bloggers Meet Up, aku dan teman-teman blogger berkeliling. Ahaa! Perburuan kuliner dimulai!
Nah, untuk mengakali jumlah menu yang cihuy-cihuy itu, plus kapasitas perut yang terbatas, kuputuskan untuk share and join. Caranya sederhana, aku gabung dengan beberapa orang, untuk menentukan si A, B dan C beli apa, supaya ga bentrok. Dengan uang dan voucher yang ada, kami jadi bisa saling mencicipi dan .. memotret!

Btw, karena ibuku adalah orang Pati, Jawa Tengah maka perhatian kami terpusat pada Nasi Gandul Khas Kota Pati Ibu Endang. Alhamdulillah, rasanya tidak mengecewakan. Rasa khas kuah santan encer gurih, dengan bumbu lengkuas, salam dan serai yang diberi kecap Bango.. hmm benar-benar kecap, rasanya! Daging yang disajikan adalah daging sapi lembut. Mak prul gitu ketika digigit.

Me and my mom, sumringah dengan kaos merah...

Aku juga mencoba sajian kuliner favoritku : Tekwan Sri Melayu Palembang dan Es Kolang-kaling Pelangi. Ada cerita seru tentang es favoritku ini. Ketika sampai di gerai es, ternyata... kolang-kalingnya habis sodara-sodara! Jadilah, kami -aku dan temanku Tri Sapta- memaksa si penjual untuk memberi kami kolang-kaling yang tersisa plus kuah dan siraman susu kental manis. Gapapa juga sih.. yang penting sejuk segar dan dingiiin...

Es Kolang-kaling

Tekwan Sri Melayu Palembang yang panas dan segar adalah masakan Palembang favoritku. Sejak aku kelas 1 SMP di Tarakan Kalimantan Timur dan punya sahabat orang Palembang, sejak itu aku penggemar berat kuliner Palembang!

Menurutku, rasa tekwan yang disajikan tidak mengecewakan, rasa asin pedasnya kita buat sendiri, karena tersedia garam dan kuah sambal rawit. Kuahnya berasa wangi bawang putih dan udang banget, ketika digigit, kenyal segar ikan tenggirinya juga mak nyuuss... top!

Karena aku jajan tekwan dan es kolang kaling, persis di sebelah martabak Kubang yang baunya tak kalah lezat.. *psst.. jangan bilang-bilang ya, aku ga beli martabaknya, karena share jajanan..  maka aku cerita dikit tentang martabak ini.

screenshot by Neng Tanti

Martabak Kubang adalah martabak telur (bisa telur bebek atau ayam) dengan rasa perpaduan bumbu Minang dan India. Kalau lidahku yang awam, sih hanya merasakan gurihnya martabak dengan irisan daun bawang yang banyak, daging sapi yang diiris dan ditumis dengan rasa kare plus rendang *maap ya kalo sale sale kate* Nah, ini satu contoh kuliner yang mengadaptasi rasa dari negara lain.

Martabak yang sejatinya berwarna kecoklatan ini disiram kuah encer lalu didiamkan sejenak hingga meresap. Trus.. potong dan kunyah pelan-pelan. Duh, sensasi gurihnya martabak, berpadu dengan asin manis asam kuah.. bikin kamu pingin makan teruuus... sayang ngantrinya males.. hehhe..

screenshot by Neng Tanti

Petualangan kulinerku tak berhenti sampai di situ, prens... aku juga sempat mencicipi Nasi Goreng Mafia - jangan berpikir ini punyanya mafioso Itali, ya, karena Mafia adalah singkatan dari Makanan Favorit Indonesia! Kalo di tempat asalnya (baca : daerah Tebet) maka kamu bisa milih menu yang namanya unik, seperti Nasgor Godfather, Nasgor Gangster, Nasgor Yakuza, Nasgor Bandit yang pedesnya nampol kayak bandit-bandit rese *nyengir* dan Badboyz yang pedas merica, pala gitu.

Tak terasa, hari sudah beranjak sore. Anak-anak sih, masih pingin nonton Tabularasa, tapi Eyang terlihat sudah letih. Ya sudah, kami pun berjalan pelahan ke arah Pintu VIII. Sebelum pulang, aku menyempatkan membeli tiga buah kotak Nasi dan Ayam Goreng di Spesial Sambal. Sambalnya kupilih Sambal Belut, Sambal Udang dan Sambal Mangga. Anak-anak malah jajan Sosis Bakar di pintu stadion!

Semoga tahun depan bisa ketemu lagi dengan Festival Jajanan Bango, sebagai pelestari warisan kuliner kita yang berharga. Bahwasanya, kenangan indah tentang sebuah masakan tak bisa diukur dengan harga, kenyamanan tempat atau servis memuaskan.

Kita mempertaruhkan memori di situ. Kita mengulang kebahagiaan kita tatkala menyeruput pelahan kuah nasi pindang atau tekwan, menggigit secuil siomay dengan saos kacang. Dan, Festival Jajanan Bango sukses memasukkan semua unsur itu di sebuah sudut lapangan. Bravo, FJB! 

Show more