2015-05-18


Aku berjalan pelahan, menerobos Pasar Lama Tangerang. Sesekali berhenti, memotret beberapa jajanan pasar atau aneka barang yang dijajakan. Bau amis ikan, daging babi yang diasap, berbaur dengan manisnya aroma kue pukis dan hio yang menyengat.





Di depanku, langkah kaki Abang sudah tak nampak lagi. Ia telah menerobos kerumunan sekelompok mpeh dan encim yang bersiap-siap ke Kelenteng Boen Tek Bio. Aku memang sedang merambah Pasar Lama, satu sudut kota di Tangerang, menapak tilas jejak sejarah Cina peranakan. Ditemani Bang Dho, perjalanan ini jadi menyenangkan!

Sebagai warga negara Tangerang,

aku sudah lama tahu bahwa sudut-sudut kota ini menyimpan sejuta memoar dan sejarah unik. Tak ubahnya ketika aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke Tiongkok di tahun 2000 lalu, Tangerang dan kisah tentang Cina peranakan di Indonesia memang memiliki tempat tersendiri di hatiku. Entah mengapa, aku tertarik sekali dengan sejarah tentang Cina peranakan. Bahkan di sebuah calon novel -yang hingga sekarang belum usai kutuliskan-, aku memaparkan banyak hal berkaitan dengan inkulturasi budaya lokal dengan Cina yang sudah berlangsung beberapa abad lalu.

Ketika hiruk pikuk kelenteng sudah hilang, aku tersadar. Aku berdiri di tengah persimpangan sunyi, dengan sederet rumah kuno -sebagian dari kayu- bercat biru telur asin. Oh! Di mana Abang? I get lost! Aku seperti terlempar jauh ke era tahun 1950-an! Namun tak lama, wajah tampan yang kukenal itu bergegas menghampiri, ia sendiri ternyata berjalan cukup jauh ke dalam gang.

Ternyata, museum ini tersembunyi persis di tengah pasar! Di tengah pedagang yang sibuk menjajakan asinan sawi dan cumi asin, terlihat fasad bangunan bercat merah itu. Hmm.. aku tak habis pikir! Seandainya saja, jalan masuk ini jauh lebih bersih dan terawat, tidak becek seperti ini...

Masuk ke dalam Museum Benteng Heritage, kakiku menginjak ubin antik berbahan dasar teraso warna merah. Di sisi kiri, terdapat bangku-bangku kayu eboni hitam dan naga kain untuk barongsai yang konon sudah ada sejak tahun 1952. Bagi bangsa Cina, naga dan ketiga hewan lain yaitu burung phoenix, kura-kura dan kirin (entah apa bentuknya, tapi kurasa itu harimau) adalah hewan spiritual yang memberikan berkah tersendiri untuk kehidupan.

Di sisi kanan ada sebuah alat untuk melihat slide foto-foto tentang museum, mulai dari restorasi hingga berdirinya museum.

Di loket, aku membayar untuk 2 orang senilai IDR 40K, dan seorang pemandu wisata bernama Rizki pun siap mengantar kami berkeliling museum. Harga tiket masuk ini berbeda untuk pelajar. Mereka cukup membayar setengahnya saja. Sementara, jika dibutuhkan pemandu wisata berbahasa Mandarin atau Inggris, kita cukup menambah IDR 50K.

Aku dan Abang memasuki ruang pertama. Melewati pintu bulan, karena bentuknya yang bulat dan bercat merah dengan ukiran emas, ada beberapa buah meja dan kursi antik besar. Eternit yang tinggi membuat ruang terasa sejuk, dan sekali lagi aku terlempar ke dalam watu waktu dimana para pedagang Cina kaya raya itu hidup. Sayup-sayup, musik tradisional Cina dibunyikan di beberapa pengeras suara tersembunyi.

Dengan santai, si pemandu wisata menerangkan dengan fasih asal mula daerah ini terbentuk. Dimulai dari pemukiman warga Tionghoa pertama yang membuka lahan sebagai daerah perdagangan rempah hingga candu. Di sudut kanan terdapat prasasti kecil yang sepintas tak menyatakan apa-apa, hanya sederet nama tercetak dengan ejaan lama. Namun ternyata itulah seratus orang Tionghoa yang menyumbang terbentuknya pintu air pertama di Tangerang. Sekarang, kita bisa melihat pintu air ini di jalan raya terusan menuju Kali Deres.

Istilah Cibeng alias Cina Benteng, berawal dari benteng yang berdiri pada tahun 1685 di timur Sungai Cisadane. Hingga kini, daerah sepanjang sungai ini masih disebut sebagai daerah Benteng Makasar. Dinamakan demikian, karena penjaga benteng saat itu adalah orang orang Makasar. Saat ini, sepanjang sungai sudah berdiri Plaza Tangerang dan sebagian kantor pusat pemerintahan daerah. Ada perpustakaan, pemadam kebakaran dan lain lain. Sungai Cisadane juga terkenal karena setiap tahun diadakan lomba perahu naga.

Nama Tangerang, menurut wikipedia dan sejarah bahasa Sunda, terjadi dari Tanggeran, artinya segala sesuatu yang didirikan dengan kokoh (naon-naon anu ditangtungkeun kalawan ajeg).

Orang Tionghoa dari kawasan
Ommelanden (luar tembok Batavia) ini sebenarnya tidak disebut Cina Benteng, namun Cina Ilir (Utara) bagi penduduk di utara Tangerang (termasuk Kampung Melayu, Tanjung Burung, Mauk dll) dan Cina Udik (Selatan) bagi penduduk Tionghoa di selatan Tangerang (termasuk Curug, Legok, Panongan dll).

Dalam bahasa Melayu, bahasa yang berlaku di kawasan ini, Ilir artinya Utara, Udik artinya Selatan,  Kulon
adalah Barat, dan Wetan itu Timur. Mereka yang tinggal di Ilir
atau Udik mengatakan “hendak ke Benteng” bila ingin ke Tangerang.

Usai mengamati foto dan sejarah di bawah, kami beranjak ke lantai dua. Sepatu dibuka dan disediakan kantong plastik agar kita bawa ke atas. Kita tidak akan turun lagi melalui tangga ini, soalnya.

Masuk ke lantai dua, kita akan menginjak lantai kayu kokoh terbuat dari kayu jati tua berwarna coklat tua. Ulir batang kayu menunjukkan, lantai itu sudah berusia lebih dari tiga ratus tahun!  Di lantai dua ini, terdapat sebuah kamar pengantin, dengan tempat tidur kayu yang kokoh, lengkap dengan busana adat Tionghoa, aneka selop hingga perhiasan giok dan emas. Aku mengagumi karya seni indah itu. Terbayang tokoh novelku, Ai Lie yang dinikahkan dengan seorang pemuda pilihan orang tua mempelai. Yaa, di masa itu, pernikahan adalah hasil dari perjodohan.

Di sini, sang pemandu banyak bercerita tentang Laksamana Ceng Ho, falsafah kebudayaan Tionghoa yang tinggi, hingga kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang membolehkan candu. Aneka pipa pengisap dan aneka koin kuno ditunjukkan dalam sebuah lemari kaca.

Falsafah kuno itu tercermin pada saat ia membawa kami menuju sebuah pintu kayu besar berpalang besi, menuju teras. Kesopanan tamu saat masuk ke pintu rumah secara tak langsung akan tercipta. Dengan cara menunduk dalam, karena ada sebuah penghalang di kaki. Istimewanya, sekaligus menunjukkan kecerdasan orang Tionghoa juga terlihat saat kita mencoba membuka pintu. Jika kita bukan pemilik rumah, kita tak akan bisa membuka pintu tersebut!  Ada banyak cara rahasia untuk membuka pintu. Ternyata, sebuah pintu melambangkan banyak hal, yaa....

Usai sudah 45 menit berkeliling di rumah Benteng Heritage yang resmi direnovasi tahun 2011 tanggal 11 November ini. Terimakasih untuk Bapak Udaya Halim yang telah bersusah payah menemukan hingga merenovasi cagar budaya indah ini. Sekedar informasi, Bapak Udaya Halim juga adalah seorang fotografer kawakan. Jika beruntung, saat beliau sedang berada di Benteng Heritage kita bisa masuk ke dalam museum kamera beliau di lantai satu.

Bagi yang tertarik untuk mencicipi kuliner, Museum Benteng Heritage juga menyediakan paket makanan Cina Benteng. Mulai dari IDR 95K hingga IDR 125K per pax,  sudah termasuk tiket masuk museum.

Namun tersedia juga paket hemat seharga IDR 45K terdiri dari : Hainan Chicken Riceball / Nasi Ulam / Ketupat sayur (pilih salah satu), cendol, air mineral sudah termasuk tiket.

Tempat ini juga dapat digunakan untuk acara arisan, reunian, ulang tahun, meeting atau foto pre-wedding.

Tertarik untuk berkunjung?

Museum Benteng Heritage
Jl Cilame No 20 - Pasar Lama
Tangerang
Telp : (021) 44544529

Jadwal Tour : 13.00 – 18.00 selama 45 menit, max 20 orang
Hari Senin libur

website : http://www.bentengheritage.com

Sumber foto :

kisah.wiratama.net
properti.kompas.com
travel.detik.com
indonesiadesign.com
FB Museum Benteng Heritage

Show more