2016-11-22

Siapa tidak mengenal cairan hitam pekat ini? Orang-orang Indonesia rasanya tidak ada yang tidak mengenalnya. Dari Sabang sampai Merauke, dari Greenland sampai New Zealand, dari Hawaii sampai ke ujung berung di Brazil atau di pelosok desa kecil di Canada, rasanya mengenal apa yang disebut kecap ini.

Nama kecap lebih akrab di Indonesia dibanding sebutan soy sauce. Entah dari mana penamaan ini, kenapa kok bisa disebut kecap, tidak ada yang tahu. Bunyi yang mirip adalah ketchup yang artinya jauh sekali dari arti kecap, karena ketchup adalah sebutan untuk saus tomat.

Di Indonesia, sebutan kecap sudah menjadi sebutan keseharian untuk berbagai jenis sauce yang lain. Kecap ikan (fish sauce), kecap inggris (worcestershire sauce), kecap jamur, kecap asin, kecap manis, dan sebagainya.

Orang-orang Indonesia yang tersebar di seluruh dunia sangat mengandalkan kecap manis di tempat tinggalnya. Kecap manis sudah menjadi seperti senjata pamungkas di perantauan. Semua kerinduan akan masakan Tanah Air, akan tuntas dengan kecap manis. Sudah serasa menjadi top chef jika sudah memasak dengan kecap manis.

Memang tak dapat disangkal citarasa masakan yang ditambahkan kecap manis menjadi lezat, kaya aroma dan uenak pol. Nasi goreng, mie goreng, sate, semur, adalah beberapa kekayaan kuliner Nusantara yang menggunakan kecap manis sebagai bumbu utamanya.

Sejarah panjang kecap bisa ditarik ke abad 2 SM! Betapa panjang sejarah ‘barang sepele’ ini menemani kehidupan manusia. Diawali di Tiongkok dengan tujuan utama bukan menjadi penyedap makanan, tapi menjadi pengganti garam karena garam ketika itu sangat berharga. Mungkin setara dengan emas untuk saat ini.

Garam menjadi alat tukar dan pembayaran dalam perdagangan di masa itu. Dalam perkembangannya, menyebar ke seantero Asia mengingat lalulintas perdagangan dari dan ke Tiongkok yang sangat luas. Salah satu paling terkenal adalah Jalur Sutera yang membentang sampai daratan Eropa.

Tidak ada catatan khusus bagaimana kecap menyebar dan memulai sejarah panjangnya di Jepang, Korea, Vietnam, Thailand, Indonesia dan negeri-negeri lainnya. Yang paling akrab di lidah masyarakat luas dunia saat ini adalah kecap Jepang, kecap Cina dan kecap Indonesia.

Dengan berbagai variannya, tidak dapat dipungkiri kecap Jepang menduduki peringkat pertama untuk kepopuleran dan ketersediaan di meja makan masyarakat dunia. Kecap Jepang yang lebih dikenal dengan nama shoyu adalah kecap yang paling mudah dijumpai di rak-rak Asian groceries di seluruh dunia.

Kecap adalah produk fermentasi kedelai. Bahan-bahan utama dalam fermentasi kecap bervariasi tergantung pembuatnya. Yang paling umum adalah kedelai, biji-bijian yang disangrai (wheat, barley), larutan garam (brine) dan ragi Aspergillus oryzae atau Aspergillus sojae.

Kecap adalah cairan yang keluar dari pasta hasil fermentasi. Tingkat keasinan kecap ditentukan dari berapa lama proses fermentasi dan komposisi bahan-bahan yang digunakan. Semakin lama proses fermentasi, semakin gelap warna kecap dan semakin asin rasanya.

Perbandingan komposisi kedelai dan gandum (atau barley) yang digunakan juga sangat menentukan citarasa akhir produk kecap. Semakin banyak kedelai, rasa kecap semakin kuat, dan sebaliknya, semakin banyak gandum sangrai yang digunakan, rasa kecap semakin ringan dan ada sentuhan rasa manis lembut.

Rasa lezat yang dihasilkan dari penambahan kecap ke dalam masakan sebenarnya berasal dari MSG alami yang terbentuk dari proses fermentasi. Karena proses fermentasi ini, struktur protein di dalam kedelai terpecah-pecah menjadi berbagai macam asam amino. Berbagai asam amino ini bercampur dengan garam yang ditambahkan, membentuk kandungan umami yang tinggi sekali.

Umami adalah sebutan komponen rasa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi gurih. Rasa gurih/umami terjadi karena terbentuknya MSG alami dalam proses fermentasi kedelai dan penambahan larutan garam (brine).

MSG seperti kita ketahui adalah singkatan Mono Sodium Glutamat, di mana sodium adalah nama lain dari Natrium dan glutamat dari asam glutamat – salah satu bentuk asam amino alami. Reaksi antara asam glutamat dan natrium chorida (NaCl = garam) menghasilkan senyawa baru Mono Sodium Glutamat. Rasa gurih inilah yang kita dapatkan sewaktu kita memasak menggunakan kecap.

Sejak kapan kecap masuk ke Indonesia? Tidak ada catatan pasti. Sejarah mencatat bahwa kecap asin sudah menjadi salah satu komoditi perdagangan VOC tahun 1737. Tercatat VOC mengirimkan 75 tong besar berisi kecap asin dari Dejima, Jepang ke Batavia. Sebagian, yang berjumlah 35 tong dikirimkan ke Belanda. Namun dipercaya kecap sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya dibawa oleh para imigran dari Tiongkok.

Seperti tabiat orang Asia pada umumnya, kemana mereka pergi, biasanya akan membawa ‘senjata andalan’ mereka yang berupa berbagai jenis saus. Lihat saja jika orang Indonesia bepergian ke luar negeri, entah berlibur ataupun urusan pekerjaan atau bisnis, yang ditenteng adalah botol-botol kecil kecap manis dan saus sambal pedas.

Sama halnya dengan para imigran dari Tiongkok yang mendarat di Nusantara, mereka membawa berbagai kelengkapan terutama urusan perut dan mulut untuk memupus kerinduan citarasa tempat asal ataupun mengantisipasi jika tidak suka dengan makanan setempat.

Cairan ‘aneh’ bercitarasa asin dengan cepat diterima oleh penduduk setempat, namun tentu ada saja yang tidak merasa cocok dengan citarasa baru tersebut. Seiring berjalannya waktu, para imigran juga mulai kehabisan stok kecap asin – walaupun membawanya mungkin beratus tong.

Para imigran kemudian mulai mencoba membuat dan mengenalkan teknik pemeraman kecap ke penduduk setempat.

Dasarnya memang orang Asia sangat kreatif, utak-atik resep asli dari Tiongkok dilakukan bersama-sama oleh para pendatang dan penduduk setempat yang kurang cocok dengan rasa asli kecap asin. Penambahan berbagai jenis rempah dan gula merah (yang sudah dikenal lama di Nusantara) menghasilkan ‘ciptaan’ baru dengan citarasa unik dan berbeda dengan aslinya. Citarasa gurih-manis dari temuan baru ini segera melesat popularitasnya di dapur-dapur dan meja-meja makan Nusantara.

Penambahan rempah ke dalam komposisi resep standar bervariasi menurut masing-masing selera dan kombinasi rempahnya. Ada yang menambahkan pekak (star anise), lengkuas, pala, kapulaga, bunga lawang, kayu manis dan sebagainya, dan yang pasti penambahan gula merah yang menjadikannya kental dan beraroma khas. Gula merah pun ada dua jenis, gula jawa atau gula aren.

Beda gula jawa dan gula aren adalah bahan pembuatnya. Gula jawa dibuat dari nira pohon kelapa, sementara gula aren dibuat dari nira pohon aren. Walaupun sama-sama keluarga palem, tapi citarasa gula jawa dan gula aren berbeda. Masing-masing pembuat kecap memiliki alasan dan selera masing-masing apakah gula jawa atau gula aren yang ditambahkan.

Bukan saja penambahan rempah yang berbeda-beda, bahkan bahan utamanya pun berbeda. Ada yang menggunakan kedelai putih dan ada yang menggunakan kedelai hitam. Diyakini kedelai hitam akan menghasilkan kecap yang lebih gurih dan kaya citarasa.

Di beberapa produsen kecap ada yang menambahkan juga molasses (tetes tebu) – hasil limbah pembuatan gula yang memang sudah bertekstur kental pekat. Penambahan molasses lebih dimaksudkan untuk mengurangi biaya produksi, walaupun di beberapa produsen maksud penambahan ini adalah untuk menambah citarasa gurih dan unik dari molasses.

Salah satu indikator kecap berkualitas baik adalah harga. Jika ditemukan kecap-kecap manis dengan merk tidak jelas dan harganya murah serta ada citarasa pahit atau after-taste kesat di lidah, hampir dipastikan campuran molassesnya cukup tinggi. Kecap berkualitas baik rasanya gurih-manis dan tidak ber’after-taste kesat-pahit.

Produsen-produsen kecap di seluruh Indonesia memiliki resep-resep ‘rahasia’ warisan keluarga dengan berbagai komposisi rempah yang ditambahkan, sehingga masing-masing pembuat kecap selalu mengklaim kecapnya nomor satu – tidak bakalan ada ditemukan kecap nomor 2 di pasaran.

Tiap kota hampir dipastikan memiliki kecap andalan dan kebanggaan. Dari Aceh sampai Papua memiliki ciri khas kecap yang unik. Sebut saja beberapa Hati Angsa – Medan, Benteng – Tangerang, SH – Tangerang, Bango yang sudah menasional, Mirama – Semarang, Cap Buah Manis – Surabaya, Cap Bulan – Palembang, Djoe Hoa – Tegal, Sumber Baru dan Sinar (dulu Kecap Lonceng) – Makassar, Sawi – Kediri, Banyak Mliwis – Kebumen, Udang – Purwodadi, dan masih banyak lagi sangat panjang daftarnya.

Tiap kota memiliki ciri khas citarasa unik dan kuliner setempat dengan bumbu utama kecap lokal daerah tersebut. Masing-masing keluarga pembuat kecap yang rata-rata memiliki sejarah panjang memiliki filosofi dan keyakinan untuk menghasilkan yang terbaik, produk berkualitas terbaik, dengan bahan-bahan terbaik, resep ‘rahasia’ keluarga yang diyakini terenak.

Dan memang tidak dapat dipungkiri bahwa kecap-kecap tradisional setempat inilah yang terus mendapat tempat di hati para ‘pemujanya’, bertahan melintasi rentang waktu puluhan tahun (mungkin ada yang ratusan tahun) dengan rasa dan citarasa yang sama.

Kalau dicermati, kecap-kecap jawara yang mengusung tradisi panjang, biasanya hanya dapat ditemukan di toko-toko setempat. Sangat jarang yang bisa masuk ke pasar nasional atau bahkan internasional.

Satu dua memang mungkin ada, tapi hampir semua jawara ini hanya dapat dibeli di toko-toko kota asalnya atau sekitarnya. Hal ini disebabkan karena kecap para jawara ini dibuat dengan cara tradisional dengan segala keterbatasan peralatan dan modal, serta biasanya dikelola dengan manajemen keluarga yang masih konsevatif.

Kecap-kecap dengan merk nasional yang bisa dijumpai di semua rak toko, kios, warung di manapun juga bahkan di mancanegara dibuat dengan proses modern, industrialisasi secara masif. Mulai dari pengadaan bahannya sampai sistem pemasaran dan logistiknya dikelola dengan baik dan modern.

Ambil contoh salah satu merk nasional, bahan baku kedelai hitamnya juga ditanam sendiri bekerja sama dengan para petani, sehingga ketersediaan bahan baku selalu terjaga.

Kecap-kecap Indonesia yang mudah dijumpai di mancanegara bisa dipastikan adalah kecap yang diproduksi dengan cara modern, skala besar oleh perusahaan-perusahaan yang sudah kelas dunia, walaupun ada beberapa ‘anomali’ kecap-kecap tradisional bisa saja melanglang buana menembus batas lintas negara.

Kecap manis Indonesia sudah banyak menembus mancanegara. Dimana banyak terdapat komunitas orang Indonesia, bisa dipastikan penyebaran kecap manis di situ luar biasa. Sebut saja negara Belanda, Amerika, Australia, Singapura, Hong Kong dan masih banyak lagi. Di Amerika misalnya di California – secara statistik paling banyak terdapat masyarakat Indonesia, di seluruh penjuru dengan mudah didapati kecap manis Indonesia.

Namun untuk penerimaan citarasa dan aroma kecap manis Indonesia di tengah masyarakat asing, sepertinya Belanda menduduki peringkat pertama. Untuk Kaukasian, citarasa kecap manis mungkin kurang pas di lidah, terkecuali orang-orang Belanda yang memiliki sejarah panjang di Indonesia.

Di Belanda mudah sekali dijumpai kecap manis di meja makan keluarga-keluarga asli Belanda. Mereka sangat menikmati masakan-masakan berbumbu kecap. Lihat saja di seluruh penjuru Belanda, dari Groningen di utara sampai Maastricht di selatan, sangat gampang ditemui resto-resto yang menyajikan sate dengan bumbu kacang dan kecap manisnya, bami goreng (orang Belanda menulisnya bami), nasi, soto dan masakan lainnya yang tidak lupa kecap manis pelengkapnya.

Walaupun jujur saja, citarasa yang mereka sebut “kuliner Indonesia” untuk lidah orang Indonesia cukup ‘melenceng’ pakem citarasanya, tapi untuk lidah orang Belanda dibilang heerlijk atau heel lekker alias uenak puol…

Editor : Wisnubrata

Sumber: http://travel.kompas.com/read/2016/04/07/214118627/Kecap.Manis.Gubahan.Indonesia.Terhadap.Resep.Tiongkok

Show more