2014-05-11



http://stat.ks.kidsklik.com/

“Aku di Jogja ni. Ketemu yuk” demikian bunyi pesan di whatsap yang baru saja aku baca. Citra, kawan lama, teman seangkatan kuliah dulu berkabar. “Eh, kapan tiba?” tanyaku membalas pesannya. “Baru saja kemarin pagi. Nanti malam makan yuk. Aku kangen makan di Jogja.” Kami bersepakat makan di sebuah warung PKL di Jetis, jalan Monumen Jogja Kembali dekat dengan STM. Tempat itu bersejarah bagi kami. Ingatanku melayang ke penggal terakhir dekade 1990an silam. Jogja adalah tempat yang begitu berbeda.

Suatu ketika di tahun 1998

Aku memilih-milih jagung di Pasar Sentul. Kupastikan jagung yang terbeli masih segar, utuh dan tidak cacat kelopaknya. Enam hingga delapan biji jagung dijual seharga seribu rupiah dan hari itu aku membeli seharga Rp 15.000. Sigap kupilih jagung-jagung segar yang konon didatangkan langsung dari Gunung Kidul lalu memasukkannya ke kantong beras. Selepas itu aku melesat membeli arang dan mentega di pasar Kranggan. Tidak lupa gula, garam dan cabai melengkapi belanjaanku. Peluh dan lelah tak terasa, yang ada adalah perasaan senang sekaligus berdebar-debar.

“Aku yang ngulek cabainya, kamu panaskan mentega ya” Citra membagi tugas. Kami bekerja bahu membahu di kosku menyiapkan berupa-rupa bahan yang diperlukan. Mentega yang sudah cair karena dipanaskan diberi cabai yang sudah diulek. Sebagian mentega lainnya diberi gula dan sebagian lain diberi garam. Ada tiga rasa mentega: pedas, manis dan asin. Ketiganya aku masukkan di toples kecil dan masing-masing diberi kuas untuk mengoles. Bumbu telah jadi.

“Jangan lupa arang sama panggangan disiapkan” Citra kembali memberi instruksi dan aku lakukan dengan seksama. Keringat mengucur, tangan belepotan arang dan wajah kucel sejadinya. Meski begitu, semua istimewa. Yang ada hanyalah satu, perasaan senang dalam petualangan. Sore itu, kali kesekian kami berjualan jagung bakar di pinggir jalan di Jetis di depan STM. Malam beranjak cepat, terutama jika tidak banyak pembeli yang datang. Mata kami menatap nanar sepeda motor yang lewat, selalu berharap mereka berhenti untuk membeli jagung bakar. Tidak semudah itu, sebuah malam bisa sangat kejam mengabaikan kami hanya dengan lima atau tujuh pembeli jagung. Harapan memanen keuntungan kandas sudah. Kami pulang dengan wajah mengenaskan.

“Makasih ya Di. Aku nggak tahu deh kalau nggak ada kamu.” Citra berbicara serius suatu malam, saat pembeli sepi dan tidak ada satu halpun untuk dikerjakan. “Sudahlah, santai aja. Aku menikmati kok. Aku gak bisa bantu banyak. Aku juga nggak punya uang untuk membantu biaya kuliahmu. Ini hal minimal yang aku bisa lakukan. Nikmati saja, mudah-mudahan masalahnya terlewati.” “Aku nggak akan melupakan kebaikanmu Di. Kamu sudah menolongku. Kalau nggak jualan jagung ini, entah bagaimana aku hidup sehari-hari.” Aku diam tidak menjawab. Ada rasa sedih dalam hati mendengar ucapan Citra yang mendalam. Hidup memang tidak mudah.

***

“Eh melamun aja! Kenapa sih? Nanti nabrak lo” tiba-tiba Citra mengagetkanku. “Ah nggak. Lagi ada tugas yang gak bisa lepas dari pikiranku” aku mencoba menguasai keadaan. Duabelas tahun berpisah akhirnya kami bertemu lagi di Jogja. Kami menelusuri Jalan Monumen Jogja Kembali, napak tilas tempat kami berjulan jagung bakar di masa lalu. “Beda banget ya Jogja sekarang?!” ucap Citra dan aku membenarkannya. “Macet, rame, banyak mall, banyak mobil mewah, bus sudah hilang. Gila, Jogja tak seperti dulu lagi.” Aku hanya diam sambil nyetir menyusuri jalan dari arah tugu ke utara. Tiba-tiba Citra tidak bersuara. Aku menoleh ke sebelah kiri, dia menunduk dalam. “Kenapa Lan?” aku bertanya penuh selidik. Hanya diam yang ada, dia bahkan tidak menolehku. Suasana kaku tiba-tiba. Rambutnya yang digerai menutupi wajahnya dari samping dan dia nampak sedikit terguncang. Citra menangis. “Kenapa Cit? Ada masalah?” aku berusa menginterogasinya tetapi dia diam dan perlahan-lahan terdengar isakan yang lirih dalam dan melantunkan duka yang teramat sangat. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sahabat lamaku ini sedang dirundung duka yang mendalam. Hanya itu yang aku bisa tebak.

Pelan-pelan aku gerakkan tangan kiri menyentuh pundaknya. Sejurus kemudian Citra menggerakkan kepalanya menatap ke arahku. Aku yang sedang mengemudi mobil tidak melihat wajahnya dengan jelas tetapi sekali waktu aku curi pandang. Tiba-tiba saja aku melihat sebentuk wajah yang tidak sehat. Ada kesedihan mendalam dari sorot matanya. Aku menatapnya meskipun tidak lama karena takut konsentrasi terpecah. Wajahnya pucat. “Kamu sakit Cit?” kataku sedikit panik tetapi tidak dijawabnya. Dia hanya menggeleng sambil tidak mengalihkan tatapan kosongnya yang misterius. Aku jadi salah tingkah dan menangkap nuansa keanehan.

“Cari mi godog Pak Slamet di depan STM ya” katanya tiba-tiba. Ingatanku menerawang berbelas tahun silam. Seingatku Pak Slamet sudah tidak berjualan lagi. Sudah lama sekali. “Sudahlah ke sana aja” kata Citra seakan mengerti kerumitan pemikiranku. Akupun melaju lebih kencang dan mendapati sebuah tenda temaram di pinggir jalan di depan Gedung STM. Di selembar kain penutup tenda yang sudah lusuh dan kumal kulihat “Mie Godog Pak Slamet”. Lampu yang remang, kain yang lusuh dan suara perapian yang lincah melambungkan ingatanku ke masa lalu. Kulihat tubuh yang sama, seorang lelaki tua membelakangi jalan dan berhelat dengan mie yang dimasak dengan tungku yang ditimbuni arang membara. Masih sama. Bedanya, Pak Slamet tidak seramah dulu. Dia asyik sendiri dengan mie yang dimasaknya, tidak lagi menyapa setiap pengunjung seperti belasan tahun silam. Aku tidak bisa memperhatikan wajahnya.

Di meja itu hanya ada dua pembeli. Semuanya menunduk, asyik menikmati mie godog yang nikmatnya telah dikenal sejak lama. Tak ada yang bersuara. Aku segera mengambil tempat duduk di depan Citra yang sudah duduk terlebih dahulu. Tak ada sepatah katapun dari mulutnya. Tatapannya nanar ke arah Pak Slamet dan mereka saling tersenyum tanpa bicara. Kulirik jam tangan, sudah jam 22.27, malam telah larut. Penutup meja dengan pola yang sama, botol-botol kecap, garam dan cuka yang sama, gelas-gelas yang sama, piring dengan pola hiasan yang sama. Warung Pak Slamet tidak berubah. Semuanya menghadirkan lagi kenangan masa lalu. Sebuah masa yang redup, temaram seperti lampu warung Pak Slamet malam itu.

Kuperhatikan sekeliling, tidak ada yang biacara. Mereka sibuk menikmati. Citra bahkan tidak menatapku sama sekali dan aku merasakan keanehan itu. “Are you okay?” aku berusaha memecah kesunyian yang mencekam. Citra hanya tersenyum singkat. Masih ada duka yang teramat dalam, memancar dari sorot matanya. Dia diam seribu bahasa.

Tiba-tiba aku mendengar dering HP. “Ya, aku tidak mau pulang” kata Citra menyambut suara dari seberang. Entah siapa yang menelponnya. Sekali waktu ditatapnya aku sambil berbicara di telepon, entah apa yang dikatakan penelpon itu. “Aku lagi sama temen, nggak usah.” Aku tidak tahu makna kata-kata itu tetapi aku tidak mau terlihat penasaran. Citra punya urusannya sendiri. Aku seperti melihat orang lain pada wajahnya. Bukan Citra yang dulu. Pucat, seperti tidak sehat dan senyumnya menggantung menghadirkan makna berbeda. Ada apa dengan sahabatku ini?

Sebuah sepeda motor diparkir tidak jauh dari kami. Seorang lelaki turun dari motor dan beranjak menuju warung. Aku memperhatikan karena dia satu-satunya konsumen baru sejak aku ada di sana. Tanpa membuka helemnya lelaki itu justru mendekati Citra dan aku merasa ada yang salah. Tanpa basa-basi, lelaki itu meraih tangan Citra dan berkata “ayo pulang. Aku mencarimu ke mana-mana.” Aku berdiri, merasa ada yang aneh dari lelaki asing itu. “Dia kakakku, nggak apa-apa!” Citra menjelaskan. Aku masih terkesima heran, Citra menjelaskan “Maaf Di, aku harus kembali.” “Kembali ke mana?” aku bingung. “Aku sudah dijemput kakakku. Aku kembali pulang.” “Pulang ke mana? Rumahmu bukan di Jogja kan?” aku masih mencoba waras meskipun sangat amat bingung. Citra dan kakaknya berlalu begitu cepat dan melaju bersama motor yang dikendarai kencang. Aku tertinggal dengan sejuta rasa penasaran dan kebingungan yang memuncak. Apa gerangan yang terjadi? Kutinggalkan warung Pak Slamet dan membatalkan pesananku.

***

Sepulang kantor esok harinya aku melewati Jalan Monumen Jogja Kembali lagi, masih ingin merasakan jejak-jejak penasaran yang belum hilang dari pikiran. Tiba-tiba aku merasakan keanehan. Di depan STM tidak ada warung Pak Slamet seperti kemarin malam. Aku mendadak berhenti karena penasaran. Aku turun dan melihat sekitar, suasanya berbeda. Tidak jauh dari situ ada warung sate yang nampak rame. Aku mendatanginya dan bertanya pada lelaki penjual sate. “Wah Pak Slamet sudah tidak jualan lama sekali Mas. Beliau sudah lama meninggal” kata laki-laki itu yang membuat kepalaku pening dan melayang.

Dalam pada itu, aku merasakan HPku bergetar dan segera membuka pesan di grup Whatsapp angkatanku. Aku menatap nanar berbaris-baris pesan yang disampaikan teman-temanku. Masih berharap semua itu hanya mimpi. Ada nuansa duka yang menghiasi percakapan mereka. Keterkejutan yang teramat sangat dan kesedihan yang mendalam begitu terasa. Ada satu baris pesan yang kutatap begitu lama:

Dia kecelakaan sama kakaknya dua hari yang lalu saat berlibur ke Jogja.

PS. Cerpen ini diilhami oleh kisah saat menjadi mahasiswa di akhir dekade 1990an.

Filed under: Cerpen, Geodesi UGM, Obituari

Show more