2014-03-06



Bersama Bang Efri Y. Baikoeni, penulsi Biografi Pak Hasjim

Teater Jakarta masih sepi saat saya tiba di sana sore tanggal 25 Februari 2014. Sementara di halaman terlihat deretan karangan bunga, ucapan Selamat Ulang Tahun untuk Prof. Hasjim Djalal. Malam itu saya menghadiri malam apresiasi untuk Prof. Hasjim Djalal dalam rangka memperingati ulang tahun beliau yang ke-80. Saya beruntung mendapat undangan istimewa itu.

Saya gelisah karena ada satu hal yang belum saya selesaikan. Panitia meminta saya memberikan sambutan yang mewakili murid Pak Hasjim dan saya belum menyelesaikan naskah pidato saya. Tidak biasanya saya tidak mempersiapkan pidato dengan baik jauh-jauh hari sebelumnya. Semua itu karena kesibukan belakangan ini yang gagal saya antisipasi dengan cermat. Pagi hari tadi waktu saya habis untuk menjadi representative University of Wollongong dalam acara Australia Awards Scholarship Information Days di Ritz Carlton, tidak jauh dari Teater Jakarta.

Setiba di Teater Jakarta saya segera menemui Bang Efri, penulis buku “Patriot Negara Kepulauan”, sebuah biografi Prof. Hasjim Djalal. Saya sedikit terlibat dalam proyek penerbitan buku itu, terutama membantu dalam mencarikan penerbit. Ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa saya mendapat undangan ini. selepas berbasa basi, saya segera mencari tempat tenang untuk menyelesaikan naskah pidato. Saya tidak bisa pidato tanpa menyiapkan naskah meskipun akhirnya lebih suka berpidato tanpa naskah.

Di sela-sela kesibukan saya bekerja, berdatanganlah para tamu undangan. Sebagian besar diplomat senior, pejabat negara dan mantan pejabat negara. Terlihat Pak Dino Patti Djalal datang dan semua orang menyalami. Ini kali kedua saya bertemu Pak Dino secara langsung setelah sebelumnya bertemu di Sydney. Saya hentikan sejenak menulis dan menyalami Pak Dino. Seperti yang saya duga, tentu saja Pak Dino tidak ingat saya karena memang pertemuannya singkat dan kami tidak pernah berinteraksi serius kecuali beberapa kali mention di Twitter. Satu lagi, tulisan saya tentang beliau terkait kartu namanya sempat beredar luas karena disebarkan oleh Pak Dino lewat twitter nya. Mengetahui beliau lupa, saya tidak berusaha mengingatkan. Berusah tenang dan sopan.

Pak Dino adalah pribadi yang hangat dan percaya diri. Meski demikian, dia memiliki jiwa selebriti yang kental. Dia selalu ingin pastikan semua orang mendapat atensinya dengan baik. Akibat buruknya, sulit sekali berinteraksi dengan Pak Dino dalam waktu lama, apalagi sifatnya basa-basi. Sayapun tenggelam lagi di depan iPad untuk menyelesaikan pidato.

Dari sekian banyak tamu, terlihat Pak Try Sutrisno, mantan wakil presiden, datang dengan banyak senyum. Ada juga Pak Cicip Sutardjo, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Kepala Staf Angkatan Laut. Banyak wajah lain yang tidak saya kenal, kemungkinan teman-teman atau senior Pak Hasjim. Saya menangkap suasana diplomasi yang kental malam itu meskipun tidak ada satu pun perundingan. Sekali waktu saya mendengar “Din, Dino, apa kabar?” yang menunjukkan keakraban. Saya bisa membayangkan, panggilan itu datang dari sahabat dekat. Yang datang memang kolega dekat, sebagian besar diplomat senior yang anak-anaknya rupanya menjadi teman Pak Dino di masa kecil.

Saya, Pak Agus Djamil dan Bang Efri diminta duduk berdekatan karena kami bertiga akan menajdi pembicara di forum itu. Saya sudah diberitahu bahwa urutan pembicara adalah Pak Agus, saya, Bang Efri, KSAL, Menteri KKP dan Pak Dino. Saya merasa, pidato saya harus baik dan serius. Pidato itu akan disampaikan pada saat serius ketika konsentrasi orang-orang sedang tinggi. Tadinya saya pikir pidato itu semacam testimony singkat yang disampaikan ketika suasana pesta sudah begitu santai, hanya dibacakan dari meja saja tanpa naik ke panggung. Ternyata tidak demikian dan ini menjadi urusan serius. Saya harus berlatih pidato jika ingin tampil baik nantinya. Akhirnya saya memilih satu pojok dii Teater Jakarta lalu mulai berkomat kamit. Tentu tidak sulit menghafalkan naskah pidato yang ditulis sendiri apalagi baru diselesaikan beberapa menit sebelumnya. Saya lupakan sejenak lingkungan. Lupakan para mantan duta besar yang terlihat berdatangan. Lupakan para mantan menteri yang berlalu lalang. Saya konsentrasi berlatih. Orang pastilah tidak tahu kalau saya berlatih karena saya lebih banyak terlihat merenung dengan pandangan mata kosong melihat di kejauhan. Mengapa harus berlatih? Saya bukan orator ulung yang bisa tampil dengan improvisasi penuh. Saya sadar betul itu.

Saya mengambil tempat duduk di sebuah meja bundar paling depan kiri yang dekat dengan panggung utama. Pak Agus dan Bang Efri disebelah kiri saya. Kami bertiga duduk bersama karena nanti akan tampil sebagai pembicara. Kami perlu duduk berdekatan untuk koordinasi. Di sebelah kanan saya, seorang anak muda berwibawa sudah duduk terlebih darhulu. Di sebelahnya ada seorang perempuan cantik bukan buatan dengan dandanan mirip artis yang rambutnya disasak agak tinggi. Dari penampilan mereka, tidak sulit untuk merasa tidak percaya diri. Namun saya mencoba berkonunikasi dengan mengulurkan tangan terlebih dahulu untuk mengenalkan diri. Lelaki muda itu menyebutkan namanya singkat, terlihat professional tetapi agak dingin. Atau setidaknya begitu saya merasakannya. Cewek di sampingnya bahkan tidak terlibat sama sekali. Tidak menyerah sampai di sana, saya tanyakan satu pertanyaan lagi yang disambut dengan sikap yang tidak jauh berbeda. Saya duga pastilah lelaki itu sedang sibuk memikirkan hal-hal yang penting sehingga tidak sempat berbasa basi.

Saya akhirnya fokus berdiskusi dengan Pak Agus dan Bang Efri. Diskusi itu sebenarnya untuk menenangkan hati karena saya merasa tegang akan menyampaikan pidato beberapa menit lagi. Dalam pada itu, suara musik mengalun, berbagia video testimony dan potongan biografi diputar untuk menghangatkan suasana. Pembawa acara begitu bagus mengantarkan acara itu sehingga suasana jadi hangat. Sayangnya itu tidak banyak membantu saya dan tetap saja saya tegang dan grogi. Akhirnya saat itulah saatnya saya mengikuti nasihat saya sendiri kepada siapa saja tentang public speaking: “jika Anda merasa grogi, nikmatilah karena itu artinya Anda serius dengan apa yang akan Anda bicarakan.” Satu yang yang semakin saya yakini adalah ‘tidak mudah menasihati diri sendiri’.

Pak Agus menyampaikan pidato dengan baik. Sebagai orang pertama, Pak Agus nampak siap dan beliau menyampaikan hal-hal detil tentang Pak Hasjim, terutama peran beliau dalam ‘meredam’ sengketa Laut China Selatan. Namun mohon maaf, saya menikmati pidato bagus itu dengan berdebar-debar karena sebentar lagi harus tampil. Saatnya pun tiba, saya beranjak menuju ke podium setelah MC memanggil nama saya, meminta memberikan sambutan sebagai perwakilan dari murid Pak Hasjim. Saya buka iPad, bukan untuk membaca pidato tetapi untuk memastikan poin-poin penting dalam pidato saya tersampaikan. Saya luruskan pandangan, berdoa dalam hati dan memulai pidato penting itu.

Asalamualaikum wr wb
Om Suastyastu
Salam Sejahtera untuk kita semua.

Ibu Bapak yang saya hormati, sulit menjelaskan perasaan saya saat ini. Ada percampuran antara bangga karena mendapat kesempatan ini sekaligus khawatir apakah sebenarnya saya orang yang tepat untuk mewakili murid Pak Hasjim yang jumlahnya tentu tidak sedikit di Indonesia.

Ibu Bapak yang saya hormati, saya memiliki keterbatasan pemahaman protokoler sehingga saya memutuskan untuk tidak menyapa satu per satu hadirin yang bagi saya semuanya penting. Meski demikian, saya persembahkan rasa hormat saya kepada Ibu Bapak sekalian yang hadir malam ini.

Pak Agus Djamil, terima kasih sudah memberi ulasan yang menarik dan lengkap tentang Pak Hasjim Djalal. Meski banyak yang Pak Agus sudah sampaikan, selalu ada hal lain yang bisa dibicarakan tentang Pak Hasjim. Berbicara tentang beliau layaknya memanen mata air yang tak pernah kering. Selalu ada hal yang bisa disimak dan dipelajari.

Saya bertemu pertama kali dengan Pak Hasjim di New York tahun 2007. Ketika itu beliau diundang untuk berbicara pada ulang tahun United NationsConventions on the Law of the Sea (UNCLOS) ke-25. Saya menjadi peserta acara itu dalam kapasitas sebagai salah satu peserta UN-Nippon Foundation Fellowship. Saat mendengarkan pidato Pak Hasjim soal sejarah UNCLOS semua orang terkesima. Pak Hasjim, seperti yang Ibu dan Bapak ketahui, adalah dokumentasi berjalan sidang PBB yang akhirnya menelorkan UNCLOS itu. Bagi saya, waktu itu, Pak Hasjim tidak saja mampu menceritakan isi

UNCLOS dengan sangat baik tapi juga menghadirkan koteks sejarah dan semangat kebathinan dicapainya kesepakatan-kesepakatan dalam konvensi ternama itu. Yang paling saya nikmati tentu saja perasaan bangga sebagai anak bangsa Indonesia di pergaulan negara-negara. Pak Hasjim, dengan cara yang sangat baik, seperti ikut menempatkan saya di titik penting peta dunia. Saya begitu bangga.

Kebanggan itu seakan diamini oleh Prof Myron Nordquist yang juga menjadi pembicara saat itu. Saya masih ingat ucapan beliau secara khusus pada saya ketika saya mengatakan saya dari Indonesia. beliau berkata “dulu, bersama dengan lelaki ini”, sambil menunjuk Pak Hasjim, “ada seorang lelaki lain bernama Mochtar [Kusumaatmaja]. Ketika mereka berbicara, maka semua orang tidak saja bungkam tetapi juga bergetar”. Prof Nordquist menyampaikan itu penuh semangat dengan menatap mata saya lekat-lekat. Tidak mudah melukiskan kebanggan saya sebagai orang Indonesia ketika itu. New York ada dalam genggaman Indonesia sore itu.

Seiring berjalan waktu, banyak aktivitas yang mendekatkan saya dengan Pak Hasjim. Kami beberapa kali menghadiri kegiatan yang sama dan mulai berada di panggung yang sama berbicara soal hukum laut dan terutama batas maritim Indonesia. Sungguh itu suatu kehormatan, meskipun saya lebih sering dikira sebagai asisten beliau, bukan rekan sesama pembicara. Di sela-sela acara serius presentasi, Pak Hasjim sering kali meluangkan waktu bercerita, tidak saja tentang hukum laut dan perbatasan tetapi juga hal-hal humanis yang universal. Saya masih ingat cerita beliau di Manila pada bulan Januari 2012. Pak hasjim bercerita tentang watak dan otak. Di situ saya diyakinkan bahwa manusia memerlukan dua hal setidaknya yaitu otak dan watak. Otak atau kepintaran itu penting tetap watak yang akan membaya seseorang pada pencapaian tertinggi. Demikian kira-kira saya menangkapknya. Orang yang berotak cemerlang belum tentu memiliki kesuksesan karir jika tidak diiringi dengan watak yang baik.

Saya juga tahu, Pak Hasjim tidak sungkan-sungkan berkelakar dengan anak-anak muda. Beliau tidak merasa perlu menjaga citra sebagai tokoh besar. Justru sikap sederhana dan egaliter beliau inilah yang membuat beliau menuai hormat yang kian besar dari kami, anak-anak muda.

Ibu Bapak yang saya hormati, kehebatan Pak Hasjim adalah keniscayaan tetapi menyisakan satu PR besar bagi Indonesia untuk melahirkan tokoh dengan kepakaran yang sedemikian. Tentu saja ini bukan perkara mudah tetapi harus dilakukan untuk menjaga dan membela Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Maka ini menjadi tanggung jawab kami yang masih muda. Tantangan kami tentu berbeda dengan situasi yang Bapak hadapi di masa lalu tetapi semangat ini harus kami warisi. Saya setidaknya meyakini satu hal bahwa bangsa ini punya potensi manusia yang bisa diandalkan. Pak Hasjim telah menjadi sebuah bukti hidup akan hal ini. Harapan saya satu, akan bermunculan lebih banyak murid-murid Hasjim Djalal tidak untuk menjadi Hasjim Djalal tetapi menjadi generasi yang memelihara dan membesarkan gagasan seorang hasjim Djalal dengan menghadapi tantangan sesuai zaman masing-masing. Mengutip kalimat Pak Dino, Indonesia tidak harus melahirkan generasi muda yang bergaya seperti Pak Hasjim tetapi memiliki pola pikir seperti Pak Hasjim.

Pak Hasjim, saya adalah generasi yg bangga karena Indonesia memiliki Bapak dan Indonesia telah mempersembahkan Bapak kepada Dunia. Selamat ulang tahun Pak Hasjim. Semoga kesehatan dan keberkahan senantiasa ada pada Bapak. Jika selama ini saya belajar cara menetapkan batas-batas antar negara maka dari Bapak, saya juga belajar cara menghilangkan batas-batas antargenerasi. Bahwa bertukar ilmu dan proses belajar itu tidak boleh dihalangi oleh perbedaan usia. Terima kasih Pak Hasjim. Terima kasih Ibu Bapak sekalian. Selamat malam.

Om Shanti Shanti Shanti Om

Tepuk tangan terdengar mengiringi saya turun dari panggung menuju tempat dukuk. Saya tidak tahu seberapa buruk atau baik penampilan saya, yang pasti saya merasa lega. Sesampainya saya di tempat duduk, lelaki berwibawa yang duduk di samping saya dengan segera menyalami dan berucap “bangus sekali Mas”. Pelajaran moral ke-107, memang ada orang yang teryakinkan dengan sebuah senyum basa-basi, tapi ada orang yang perlu sebuah pidato serius hanya untuk memberi apresiasi kecil. Belum lagi saya mapan duduk di kursi, di belakang saya terdegar satu kalimat “Andi, makasih ya. Bagus banget speechnya!”. Ketika saya menoleh ke belakang, saya tertegun beberapa detik, tidak segera sadar behadapan dengan siapa. “Lupa ya kamu? Dini!” dan kontan saya tersadar “Eh Mbak Dini. Aduh maaf pangling. Rambutnya ada kriwil-kriwilnya sih” kata saya ngeles. Mbak Dini, putri Pak Hasjim, memang pernah saya temui di Vietnam ketika sama-sama jadi pembicara di sebuah forum di Ho Chi Minh City hampir empat tahun silam.

Bang Efri tampil baik sebagai seorang penulis. Bang Efri ini seorang teladan bagi saya. Menulis biografi Hasjim Djalal adalah inisiatifnya sendiri tanpa diminta dan tanpa dibayar. Ketulusan itulah yang membawa beliau mendapatkan satu pengakuan besar malam itu. Jika kita tidak mulai dari hitung-hitungan imbalan maka ‘upah’ yang kita dapatkan pada akhirnya bisa begitu mempesona dan mengejutkan. Itulah yang telah ditunjukkan oleh Bang Efri. Maka tak heran beliau tampil begitu baik di panggung malam itu.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) menyusul menyampaikan pidatonya yang juga bagus. Tidak banyak sentuhan personal karena memang demikianlah umumnya pidato seorang petinggi. Meski demikian, saya menikmati dengan baik dan nampak jelas penghormatan beliau kepada Pak Hasjim. Pidato berikutnya adalah dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Pak Cicip, yang disampaikan dengan baik dan lebih santai. Tidak segan Pak Cicip menyatakan bagaimana beliau belajar dari Pak Hasjim ketika masa-masa awal menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sentuhan personal yang jujur itu menjadikan pidato Pak Menteri menjadi berkesan lebih dalam.

Pak Dino, idola saya dalam public speaking, menjadi pembicara terakhir di malam itu. Sebagai ‘tuan rumah’ acara itu, beliau tampil mempesona. Kemampuannya memukau hadirin dengan olah kata-kata tentu tidak diragukan lagi. Saya menonton hampir semua videonya di internet, jadi saya sudah tidak asing dengan gayanya. Yang berbeda malam itu adalah ketika Pak Dino berbicara tetang ayahnya tetapi memilih untuk berbicara sebagai diplomat, bukan sebagai anak lelaki yang disayangi ayahnya. Yang paling bekesan dari beberapa catatannya tentang Pak Hasjim adalah ketika sidang di IMO di Inggris. Pak Dino, yang waktu itu menjadi diplomat di KBRI Inggris dan bertugas mendampingi Pak Hasjim, menggambarkan dengan rinci ketika Pak Hasjim dikeroyok oleh delapan lawyers terbaik dunia dan Pak Hasjim tampil begitu mengagumkan. Alih-alih kalah berdebat, kata Pak Dino, akhirnya kedelapan lawyers ternama itu mengikuti apa yang dikatakan oleh Pak Hasjim. Hadirin pun bertepuk tangan bergemuruh. Virus kebanggan Pak Dino akan ayahnya ditebar dengan sukses malam itu kepada hadirin.

Acara pemotongan kue berlangsung begitu meriah dan hangat. Berbagai video tentang Pak Hasjim juga ditayangkan menambah greget suasana. Nampak jelas, acara itu digarap serius dan professional. Saya melihat event organiser-nya sibuk dan begitu cekatan. Di panggung ada paduan suara yang bernyanyi dengan suara merdu menghangatkan suasana malam yang kian larut. Yang menarik, Pak Hasjim memilih untuk memotong kue dan membagikan kuenya sendiri kepada beberapa orang yang hadir. Setelah keluarga, Pak Hasjim sampai turun dari panggung membawa kue untuk Pak Try Sutrisno dan udangan penting lainnya. MC dengan cekatan menangkap momen penting itu dan memberi apresiasi atas kesederhanaan dan perilakunya yang membumi. Kesederhanaan ini menegaskan kualitas pribadinya.

Putra-putri serta cucu Pak Hasjim terlihat rukun dan kompak. Selain menjadi diplomat ulung, rupanya beliau adalah ayah yang berhasil menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada generasi keluarganya. Senyum senantiasa menghiasi wajah anak dan menantu serta cucu. Tak jarang terlihat mereka berkelakar saling goda. Ini menunjukkan keakraban. Saya sibuk memperhatikan Mbak Dini dan Ibu Rossa, istri Pak Dino, misalnya yang sekali waktu terlihat tertawa renyah saat luput dari perhatian publik. Sementara itu Pak Iwan, putera tertua, nampak takzim mengikuti rangkaian acara sambil menyapa tetamu. Berbeda dengan Pak Dino, Pak Iwan tidak tampil berbicara dalam acara itu. Dari video, terlihat juga cucu-cucu yang mengucapkan selamat ulang tahun dengan cara yang unik dan lucu. Kepolosan dan kejujuran mereka menjadi hiburan tersendiri di malam yang berkesan itu.

Setelah potong kue, ada acara penyerahan buku oleh Pak Hasjim kepada beberapa tamu kehormatan dan dilanjutkan foto bersama. Saya mendapat kehormatan berfoto bersama Pak Hasjim dan para tokoh penting yaitu Pak Try Sutrisno, Mari Pangestu, KSAL, Menteri Kelautan dan Perikanan, Pak Agus Djamil dan Bang Efri. Pak Dino tentu saja ada dalam kelompok itu. Selepas berfoto tiba-tiba seorang lelaki berwibawa mendekati saya. Masih belum sempurna saya menguasai diri ketika beliau mengulurkan tangan pada saya dan berkata setengah berkelakar “Selamat Mas! Wah professor kita dari UGM ini. Maju terus ya Mas”. Saya hanya tersenyum dan mengucapkan “terima kasih Pak. Pak Try, suatu kehormatan bisa bertemu Bapak” Pak Try Sutrisno begitu hangat. Wajahnya yang cerah berhias senyum menunjukkan ketulusannya. Beliau, seperti kata Dino, adalah salah seorang negarawan terbaik negeri ini. Masih jelas dalam ingatan saya sebagian besar anak muda di Tahun 90an mengidolakan beliau sebagai salah satu tokoh panutan. Saya ada di barisan anak-anak muda itu.

Kami beranjak turun dan Pak Hasjim didaulat jadi pembicara terakhir di atas panggung. Jika mendengarkan Pak Hasjim berbicara soal hukum laut, Laut China Selatan dan batas maritim, saya sudah biasa. Bagaimana jika Pak Hasjim berbicara tentang dirinya dan tentang ulang tahunnya? “Saya kehabisan kata-kata” demikian Pak Hasjim memulai pidatonya. Tentu saja beliau tidak kehabisan kata-kata karena berikutnya Pak Hasjim dengan nyaris sempurna memukau hadirin dengan filosofi Minang yang dipaparkannya sebagai dasar perilaku hidupnya. Diam-diam saya mengakui, orang-orag Minang ini (okay, saya sadar ini generalisasi yang berbahaya) memang para diplomat yang mumpuni. Dasar-dasar filosofi hidup mereka sejalan dengan kaidah-kaidah diplomasi dan berinteraksi dengan orang secara umum. Pak Hasjim adalah salah satu bukti hidup. Ada tiga pelajaran penting yang ditegaskan kembali oleh Pak Hasjim malam itu: know your passion, plan your life and do your plan. Penting sekali bagi kita mengetahui apa yang kita inginkan lalu merencanakan pencapaiannya dengan baik dan matang. Selanjutnya, bekerja sesuai dengan rencana yang telah disusun itu menjadi kunci keberhasilan. Tepuk tangan mengiringi sambutan Pak Hasjim yang beranjak turun dari panggung.

Suasana mulai santai. Berbagai media mendekat dan Pak Hasjim menjadi bintang malam itu. Ada banyak waancara dan kru dokumentasi keluarga tidak ketinggalan. Saya bahkan diminta secara khusus mengucapkan selamat ulang tahun kepada Pak Hasjim dan direkam dalam video. Di saat santai begitu, kembali saya berdekatan dengan Pak Try Sutrisno. Kami bersalaman dan beliau menggunakan kedua tangannya sambil menepuk-nepuk tangan saya tanda akrab. “Salam untuk Pak Mantan Rektor, Sofian Effendi, ya Mas” katanya. Meskipun saya menjawab “baik Pak”, saya juga tidak yakin apakah salam beliau untuk para petinggi UGM itu bisa saya sampaikan. Pak Try tentu tidak tahu bahwa saya belum tentu ketemu rektor atau mantan rektor UGM selama hidup saya di UGM (okay, ini terdengar lebay tetapi bertemu rektor UGM bukanlah aktivitas sehari-hari bagi Guru Kecil seperti saya). Begitu saya sampaikan ini dalam bentuk kelakar ke Pak Agus Djamil, beliau menyampaikan hal yang sama “Ya, Pak Try juga nyampaikan salam untuk Sultan Brunei padahal saya belum tentu bertemu Sultan.” Pelajaran moral nomor 39: meskipun tidak pernah sombong kepada tikus, gajah tetap akan berteman dengan sesama gajah.

Saya dekati Pak Dino. “Pak Dino, selamat, acaranya sukses!” kata saya langsung pada pokok persoalan. “I liked your speech. I was really impressed” katanya tanpa basa basi. Orang yang percaya diri tidak ragu memuji kebaikan orang lain. Itulah yang selalu saya yakini selala ini. Saya pun melanjutkan “I am a big fan of yours. I watched all of your videos so I indirectly learn a lot from you”. Dia tersenyum dan meminta saya merekam nomor HPnya sehingga bisa berkomunikasi. Mengingat HP saya sedang mati karena baterenya habis (yes, smart phone) saya segera mengambil iPad untuk sekedar mencatat nomornya. Dalam pada itu, seorang lelaki baik hati mendekat “Bagus sekali tadi Pak” katanya. “Sesama Bali, you make me proud”. Beliau adalah seorang lelaki berdarah Bali, teman Dino karena orang tuanya juga diplomat, teman Pak Hasjim. Dunia memang kecil jika kita bergaul.

Saya juga datangi Ibu Rossa untuk sekedar berterima kasih. Responnya baik. “Terima kasih banyak Pak Made atas kedatangan dan speechnya”. Rasanya hanya Ibu Rossa yang memanggil saya “Pak Made” di acara itu. Menyambung sambutan Pak Hasjim dan komentar Pak Dino sebelumnya, Ibu Rossa sempat juga membahas Indonesia yang merupakan negara kepulauan tapi belum merupakan negara maritim. “Itu juga yang akan tetap diperjuangkan Mas Dino” katanya menambahkan. Pasangan ini kompak. Dukungan Rossa terhadap Dino nampak eksplisit dari percakapan kami malam itu. Saya akhirnya berpamitan dan bersalaman. Tidak perlu saya ceritakan kalau tangan Ibu Rossa halus kan? Teringat kata-kata Pak Dino, “Yes, all dentists in Indonesia look like her”.

Sejenak sebelum meninggalkan gedung, saya pamit kepada Mbak Dini. “Email aku ya Mas Andi, lewat wordbank aja” katanya. “Kali ini aku usahakan balas deh” tambahnya sambil tertawa. Rupanya Mbak Dini masih ingat ketika pernah membalas emailku berbulan-bulan setelah aku kirim. Mbak Dini kemudian mengeja emailnya yang berdomain worldbank.org. Dia bekerja di Bank Dunia yang berkantor di Indonesia. Entahlah apa posisinya. Saya duga, posisinya cukup baik sehingga dia rela meninggalkan kenyamanan hidup di Amerika. Ini hanya dugaan subyektif saya.

Saya meninggalkan Teater Jakarta dengan perasaan penuh seluruh. Ada perasaan bangga telah terlibat dalam perhelatan merayakan hidup seorang Patriot Negara Kepuluan Indonesia. seperti yang saya sampaikan di akhir pidato tadi, saya adalah generasi yang bangga karena Indonesia memiliki Pak Hasjim Djalal dan terutama karena Indonesia telah mempersembahkan seorang Hasjim Djalal kepada dunia.

Filed under: Blogroll, Inspirasi, Law of the Sea, Leadership

Show more