2013-09-23



A. Fuadi, penulis Trilogi #Negeri5Menara

Malam tanggal 23 September 2013 ada satu kecelakaan yang membahagiakan. Saya bertemu dengan Bang Ahmad Fuadi, penulis trilogi novel laris Negeri 5 Menara (N5M), Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Saya sebut kecelakaan karena pertemuan ini memang tidak direncanakan jauh-jauh hari. Sore tadi, tiba-tiba saja Asti, istri saya, bertanya “Ayah kenal Fuadi?” dan itu sanggup menghentikan aktivitas saya seketika. Tentu saja saya kenal beliau walaupaun Bang Fuadi kemungkinan besar tidak mengenal saya. Singkat cerita, Bang Fuadi sedang ada di Sydney untuk satu urusan dan teman-teman Keluarga Pelajar Islam Indonesia (KPII) Sydney menodong beliau untuk bersilaturahim, berbagi soal kepenulisan. Saya langsung memutuskan datang.

Saya tiba di lantai tiga squarehouse UNSW, Sydney sekitar pukul 20.05 AEST, sedikit terlambat dari yang dijadwalkan. Sebelumnya saya telah terlanjur mengundang seorang kawan untuk makan malam di rumah dan demi Bang Fuadi, kawan ini terpaksa saya tinggalkan . Saat tiba, saya lihat Bang Fuadi sudah ada di ruangan bercakap-cakap dengan panitia. Beberapa kawan mahasiswa dan keluarga terlihat antusias menunggu acara ditemani berupa-rupa penganan kecil dan minuman. Ini daya tarik lain mengikuti acara bersama KPII. Peserta tidak begitu banyak karena dua alasan. Pertama, acaranya memang mendadak dan hari-hari ini adalah saatnya penyelesaian tugas kuliah dan ujian. Meski demikian, masih cukup banyak yang mengambil risiko datang meskipun besoknya akan ujian. Kedatangan mereka adalah testimoni tersendiri bagi keampuhan daya tarik Bang Fuadi.

Saya memilih mengamati saja dari posisi agak jauh, membiarkan Bang Fuadi meneruskan obrolannya dengan beberapa kawan. Saya tidak mau mengganggu dan berniat akan mendatangi beliau beberapa saat lagi jika sudah luang. Di luar dugaan, Bang Fuadi berjalan ke arah kami. Sejujurnya saya sedikit grogi. Bang Fuadi telah menebar inspirasi lewat buku beliau dan kedatangannya secara tiba-tiba kea rah saya tentu memberi sensasi tersendiri. Yang membuat saya terharu adalah ketika beliau menyapa saya dengan menyebut nama. Percayalah, ini sangat menyenangkan. Being approached and greeted by name by one of your idols is not bad at all, is it? Betapa rendah hatinya penulis hebat ini. Kami hanya bertegur sapa di twitter beberapa kali dan Bang Fuadi mengingat saya dengan baik. Kualitas pribadi yang mengagumkan, tak heran beliau bisa menulis begitu rupa.

Di ruangan itu saya duduk dekat Bang Bhatara, Mas Taufiq, Akbar, Bima, dan beberapa kawan lain yang baru saya kenal. Di pojok lain nampak kawan-kawan putri dan ibu-ibu muda yang sepertinya juga ngefans sama Bang Fuadi. Mas Fathi membuka acara dengan sambutan singkat. Ternyata Bang Fuadi sedang ada di Sydney karena perihal duka. Adinda beliau baru saja meninggal dan Bang Fuadi hadir mewakili keluarga. Yang luar biasa, saat dirundung duka, Bang Fuadi masih berkenan berbagi kepada kami, itupun dengan pendekatan mendadak yang jauh dari formal. Semangat berbagi yang tinggi membuat seorang penulis sekaliber Ahmad Fuadi bisa mengabaikan sekat-sekat formalitas yang kadang mengekang. Kami semua patut berterima kasih.

Menyimak Bang Fuadi seperti menyimak seorang teman baik. Gaya bicaranya tenang dan jauh dari kesan formal dan meninggikan diri. Bang Fuadi sempat berkelakar “semestinya kita semua lesehan ya” katanya karena beliau jadi satu-satunya yang berdiri sementar kami duduk rapi beralas tikar. Sayang sekali posisi komputer dan proyektor tidak memungkinkan beliau untuk duduk. Maka mengalirlah cerita tentang menulis. Cerita yang saya tunggu-tunggu sejak lama.

Ada berbagai macam alasan orang untuk menulis, kata Bang Fuadi di awal pemaparannya. Ada yang menulis untuk memberi informasi dan ada yang menulis untuk menghibur. Pada akhirnya, menulis seyogyakanya dilakukan untuk menebar dan membangun kebaikan. Ada dua hal penting yang beliau percaya terkait tulis menulis. Pertama, kata-kata sesungguhnya lebih ampuh dari peluru. Sebutir peluru bisa menembus satu kepala dan bersarang di dalamnya tetapi kata-kata bisa menembus banyak kepala sekaligus. Bedanya, peluru dapat mematikan, sedangkan kata-kata, jika dirangkai dan dimuati nilai yang baik, justru menghidupkan dan menguatkan. Kedua, beliau percaya bahwa semua orang bisa menulis. Secara berkelakar beliau menambahkan, setidaknya setiap orang bisa menulis SMS dan status di Facebook, yang disambut tawa kecil hadirin. Terlihat dari cara tertawanya, mana yang sering menulis status galau mana yang hanya suka berkomentar terhadap status galau temannya.

Bang Fuadi yakin, tulisan itu bisa melintasi batas geografis dan bahkan batas sosial serta agama. Karena menulis, gagasan beliau bisa menjangkau berbagai kalangan. Yang cukup menarik, kini Bang Fuadi sering diundang di Santa Ursula, sekolah Nasrani yang menginginkan beliau untuk berbagi tentang kepenulisan. Sangat menyenangkan menyimak cerita ini, bahwa sebuah novel yang sarat nilai Islami menjadikan seorang Ahmad Fuadi diterima dan didengarkan gagasannya oleh orang-orang Nasrani. Saya sendiri tentu tidak terkejut karena sebagai orang Hindu, saya telah menyimak nilai-nilai universal islam melalui N5M. Nilai keagamaan yang baik bisa menyentuh sampai ke hati tanpa membuat orang resah dan khawatir akan kepercayaan yang dianutnya. Nilai-nilai kebaikan agama itu tidak mengancam. Itulah yang saya pahami tentang Islam yang dihadirkan lewat N5M.

Melanjutkan pandangannya soal tulis menulis, Bang Fuadi percaya bahwa tulisan yang baik semestinya bisa menginspirasi dan menggerakkan. Tulisan yang baik tidak hanya menghadirkan decak kagum tetapi memiliki kekuatan untuk membuat pembacanya merasa perlu bergerak melakukan sesuatu. Setelah membaca sebuah tulisan yang bagus, pembaca bisa merasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu. Di situlah muara dari tujuan menulis telah tercapai. Lebih lanjut, Bang Fuadi mengatakan bahwa menulis itu membuat awet muda. Setengah berkelakar beliau mengatakan bahwa kini sering dikira mahasiswa S1 padahal sudah berusia kepala empat. Untuk yang terakhir ini, saya memang agak terkejut. Bang Fuadi memang awet muda. Meski begitu, tentu bukan itu yang dimaksud tentang awet muda karena menulis. Bang Fuadi mendapat nasihat ini dari salah satu Ustadz di Gontor yang mengatakan bahwa dengan menulis maka penulisnya akan tetap hidup lewat gagasan-gagasannya yang dibaca lintas zaman. Tidak saja awet muda, seorang penulis bahkan tidak pernah mati.

Bang Fuadi sempat menceritakan pengalamannya bertermu ‘seseorang’ di sebuah negara di Eropa yang dia kenal baik meskipun konon orang itu mungkin tidak mengenalnya. Saking merasa kenal, beliau berfoto dengan orang itu dan membuat istrinya bingung sambil bertanya-tanya siapa gerangan orang yang membuat Bang Fuadi sok akrab itu. Di penggal berikutnya Bang Fuadi mengungkap bahwa itu adalah orang yang sudah meinggal 800 tahun silam dan yang diajaknya berfoto adalah sebuah patung. Dari caranya berkisah secara oral saja sudah nampak kekuatan beliau dalam merangkai cerita dan menyisipkan misteri yang mengundang rasa penasaran. Cerita itu dikisahkan untuk menguatkan ungkapan sebelumnya bahwa menulis membuat seseorang awet muda dan bahkan tidak bisa mati karena idenya terus hidup lintas zaman. Jangankan tulisan yang serius dan kaya gagasan, status Facebook saja abadi, kata Bang Fuadi. Sambil bercanda beliau berpesan, hati-hati menulis status Facebook karena kelak di masa depan cucu bisa tahu kalau neneknya galau terus di masa mudanya. Sebuah analogi segar yang nakal tapi benar adanya.

Di tengah presentasinya, Bang Fuadi memutar sebuah video yang mengisahkan bagaimana novel N5M ditulis dan akhirnya bertransformasi menjadi berbagai media. Salah satu yang dikenal masyarakat belakangan ini adalah film layar lebar yang diadaptasi dari novel tersebut. Bang Fuadi dengan serius menceritakan bagaimana pergulatan batin beliau ketika tawaran memfilmkan novelnya mulai datang beberapa bulan setelah novel itu beredar. Ada rasa khawatir kalau filmnya tidak akan sanggup meneruskan nilai-nilai yang ada dalam novel itu. Bang Fuadi menceritakan bahwa novel adalah sebuah karya pribadi yang tiap kata di dalamnya dipilih dengan begitu seksama untuk menghadirkan makna. Ada rasa khawatir jika karya itu kemudian diserahkan kepada orang lain untuk diinterpretasi dan bahkan dimodifikasi untuk bisa hadir dalam format dan media baru. Ada keraguan di awalnya, meskipun setelah berproses, Bang Fuadi akhirnya menyetujui. Alasan utamanya adalah kesadaran bahwa persebaran gagasan lewat buku belum maksimal untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Data menunjukkan bahwa 80% buku beredar di Jabodetabek dan 20% sisanya di luar Jabodetabek. Meskipun gagasan itu ‘abadi’ setelah dibukukan, persebarannya begitu terbatas. Jika ingin gagasan itu dinikmati dan ‘menembus’ kepala lebih banyak orang di Indonesia maka dia harus diduplikasi lewat berbagai media. Film diyakini bisa menjadi satu alternatif untuk meluaskan penyebaran gagasan itu.

Bang Fuadi mengakui bahwa interaksinya dengan pembaca lewat berbagai media juga memberi banyak inspirasi bagi ide-ide baru. Suatu ketika ada ibu-ibu pembaca yang menceritakan ‘kerepotannya’ untuk menceritakan isi buku N5M kepada anaknya yang masih kecil. Ini melahirkan gagasan baru untuk membuat N5M dalam versi komik. Harapannya, nilai-nilai dalam novel itu juga bisa dinikmati dan dipelajari oleh anak-anak. Seiring berjalan waktu dan interaksi dengan pembaca, lebih banyak ide mengalir dan siap diwujudkan. Intinya hanya satu: memperluas lingkup peyebaran gagasan.

Akhirnya Bang Fuadi sampai pada satu bagian penting dari obolan malam itu terkait tips dalam menulis. Ada empat hal penting yang dipaparkan pada kami semua yaitu why, what, how dan when. Pertanyaan pertama yang harus dijawab dengan tuntas oleh seseorang yang akan menulis adalah “why – mengapa harus menulis?” Diceritakan bahwa N5M hadir karena kegalisahan Bang Fuadi saat suda bekerja di sebuah perusahaan. Ada satu ajaran penting yang beliau selalu ingat bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Maka hidupnya ‘dihantui’ satu pertanyaan “apa yang bisa saya lakukan untuk dapat memberi manfaat kepada masyarakat yang lebih luas?” Menulis buku/novel menjadi jawaban atas pertanyaan mendasar itu dan lahirlah N5M. Bang Fuadi menegaskan, semakin jelas dan tegas jawaban atas pertanyaan “mengapa harus menulis?” maka semakin besar motivasi yang tumbuh dan semakin besar harapan untuk berhasil menghasilkan karya.

Setelah menemukan alasan menulis, pertanyaan berikutnya adalah “what – apa yang hendak ditulis?” Yang terbaik adalah menulis apa yang menjadi gairah kita. Tulislah apa yang paling disenangi dan dipedulikan, kata Bang Fuadi menegaskan. Dengan menulis apa yang paling kita pedulikan, kita tidak akan merasa lelah atau bosan menulisnya. Sayangnya, tidak semua orang bisa dengan cepat mengetahui apa yang paling dia sukai atau pedulikan dalam hidupnya. Menurut Bang Fuadi, kita bisa bertanya pada istri/suami atau anggota keluarga lainya. Kita juga bisa bertanya pada teman. Kita-kira pertanyaannya adalah “apa yang paling sering saya ceritakan yang sepertinya saya tidak pernah bosan padahal yang mendengar sudah bosan?” Atau ingat-ingatlah apa yang bisa kita ceritakan berulang-ulang atau berhari-hari dan tetap semangat meskipun yang mendengar mungkin sudah teler karena bosan mendengar. Jika ketemu jawabannya, itulah sesungguhnya ‘passion’ kita, kata Bag Fuadi. Menulis sesuatu yang kita pedulikan dan senangi ini membuat kita tidak mudah kehabisan energi.

Yang begitu inspiratif adalah pemaparan Bang Fuadi terkait perihal keempat: “how – bagaimana menuliskannya?” Saya sering bertemu penulis hebat yang ketika berbicara tentang proses kreatifnya akan timbul kesan “oh dia memang hebat dan kreatif” atau “oh orang ini memang berbakat”. Bang Fuadi berhasil menghadirkan kesan berbeda bahwa beliau adalah ‘orang biasa’ yang bisa menulis karena belajar dengan sungguh-sungguh dan berusaha dengan keras. Ini menghadirkan harapan karena usaha belajar ini yang bisa digandakan. Kejeniusan perlu dsyukuri tetapi sayang sekali tidak bisa ditularkan atau diajarkan. Cara Bang Fuadi menceritakan proses belajarnya memberi kesan positif bahwa menulis itu bisa dilakukan siapa saja jika dia mengikuti langkah-langkah pembelajaran yang tepat.

Bang Fuadi mengakui bukan pembaca novel yang rajin sehingga tidak memiliki banyak referensi untuk menulis novel. Maka dari itu beliau merasa perlu belajar dengan cara membaca karya orang lain yang bagus. Selain itu, beliau juga membaca buku tentang “bagaimana menulis sebuah novel” Intinya, semua pekerjaan ada ilmunya dan itu harus diperlajari jika ingin berhasil dengan baik. Saya senang, Bang Fuadi hampir tidak menyinggung soal bakat yang selama ini sering menjadi istilah sakti yang justru menghambat kreativitas dan usaha para pemula. Dalih “saya tidak berbakat” begitu ampuh untuk tidak pernah memulai menghasilkan suatu karya.

Selain belajar dengan serius, Bang Fuadi juga percaya perlunya melakukan riset yang sungguh-sungguh. Untuk menulis N5M, Bang Fuadi melakukan banyak hal untuk menghadirkan kembali kenangan lama. Buku N5M adalah novel yang diinspirasi oleh kisah nyata kehidupan beliau di Pesantren Gontor sehingga pengalaman dan informasi serta kenangan selama di pesantren itu harus dihadirkan kembali. Buku harian di masa lalu adalah sumber informasi yang penting. Beruntunglah Bang Fuadi masih menyimpan buku hariannya yang wajib ditulis ketika di pesantren dulu. Selain itu, yang mengharukan adalah ketika beliau membaca kembali surat-surat lama yang pernah dikirimkannya ke ibundanya selama ada di pesantren Gontor. Beruntunglah Bang Fuadi yang memiliki ibu yang begitu telaten menyimpan surat-surat anaknya di masa lalu. Saya begitu terharu melihat lembaran-lembaran surat usang yang ditampilkan dalam lembar tayang presentasi beliau lengkap dengan penomorannya. Saya kini paham, kehadiran seorang ibu yang telaten mendokumentasikan catatan dan surat anaknya adalah salah satu kunci penting kekuatan buku N5M. Tidak heran jika nuansa dan semangat kebatinan muncul begitu kuat dalam novel N5M itu.

Wawancara dengan teman-teman lama juga dilakukan oleh Bang Fuadi untuk menghadirkan kembali suasana persahabatan dan segala perilaku berkesan di masa lalu. Wawancara ini juga penting untuk menciptakan karakter dalam novel yang sejatinya adalah adaptasi dari karakter teman-temannya di masa kecil. Foto-foto lama juga sangat membantu karena satu gambar bisa mewakili seribu kata. Dengan melihat satu foto saja, bisa hadir kembali suara, suasana dan situasi ruang kelas di pesanteren, misalnya. Buku catatan masa lalu juga menjadi sumber inspirasi. Bang Fuadi memperoleh ‘mantra sakti’ Man Jadda Wajadda yang jadi roh N5M dari catatannya tahun 1988 di hari-hari pertama pembelajarannya di Gontor. Untunglah buku itu masih ada karena waktu itu wajib dijilid dan disimpan. Dengan menyentuh buku catatan lama itu saja, kata Bang Fuadi, bisa terngiang kembali suasana pesantren ketika itu dan itu bisa menjadi inspirasi untuk menulis.

Karena referensi kisah keseharaian pesantren tidak banyak (atau bahkan tidak ada) di Indonesia, Bang Fuadi juga membaca buku-buku sejenis dari luar negeri. Salah satu yang dibacanya adalah Harry Potter karena dia merasa kehidupan di asrama atau sekolah Harry Potter tidak jauh berbeda dengan kehidupan pesantren. Dalam kehidupan semacam itu, akan ada anak baik, pihak yang tersisih, anak nakal, guru inspiratif, persaingan, senior yang berkuasa, junior yang tertekan dan sebagainya. Karena kemiripannya, ada yang bahkan mengatakan N5M adalah Harry Potter tanpa ilmu sihir. Selain membaca buku yang senada, Bang Fuadi juga membaca kamus untuk memperkaya pemahaman akan sebuah kata baru dan tesaurus untuk memperkaya perbendaharaan kata. Dengan membaca tesaurus, seorang penulis akan bisa mengungkapkan hal yang sama dengan ekspresi yang bervariasi dan itu memperkaya cerita dan makna. Inti yang saya tangkap dari pemaparan Bang Fuadi yang panjang adalah: menulis itu harus BELAJAR. Man Jadda Wajadda, bahwa kesungguhan akan membuahkan hasil.

Hal umum yang terjadi setelah proses belajar dan riset adalah keengganan atau keraguan untuk memulai. Maka hal keempat menjadi penting: “when – kapan mulai menulis?” Menurut Bang Fuadi, saat terbaik untuk mulai menulis adalah SEKARANG. Beliau bahkan masih bekerja full time ketika mulai menulis N5M. Waktu penulisan yang efektif, menurut Bang Fuadi, adalah saat subuh dan sore atau malam sepulang kerja. Rata-rata beliau menghabiskan waktu satu jam setiap hari untuk menulis dengan rincian setengah jam pagi hari dan setengah jam sore atau malam hari. Apakah itu cukup? Beliau punya prinsip, “sedikit demi sedikit, lama-lama jadi buku”. Menulis satu lembar saja secara konsisten setiap hari maka dalam setahun akan dihasilkan satu buku 365 halaman. Bang Fuadi bahkan menantang kami semua, “jika sepulang dari sini ada yang langsung mulai menulis maka setahun lagi kita bertemu dengan status yang sama yaitu penulis yang sudah menerbitkan buku.” Masuk akal!

Saya merasakan nuansa antusias dari peserta ketika Mas Fathi mengambil alih forum saat Bang Fuadi menyelesaikan penggal terakhir presentasinya. Rina mengajukan pertanyaan mengapa memilih fiksi/novel dalam berkarya. Menurut Rina, fiksi adalah karya yang mewajibkan penulisnya membuat-buat sesuatu yang belum tentu ada/terjadi sehingga akan menyulitkan dalam memuat nilai ke dalamnya. Bang Fuadi memulai dengan mengatakan bahwa beliaupun awalnya tidak yakin dengan novel. Nilai apa yang bisa dipelajari dari novel? Demikian dia berpikir. Adalah sang istri yang membantunya menemukan keyakinan bahwa pembaca juga bisa banyak belajar dari novel yang sesungguhnya fiksi itu. Istrinya bisa tahu berbagai kebudayaan dan bahkan fenomena ilmiah lain tentang berbagai peradaban dengan membaca novel. Intinya, pada novel bisa diselipkan berbagai hall yang tidak dibuat-buat. Latar belakang bisa menggambarkan kenyataan tetapi kisah dan perannya bisa diciptakan sendiri. Novel adalah karya yang fleksibel karena memungkinkan penulisnya berkreasi dengan imajinasi yang liar. Ini yang membedakan fiksi dengan krya non-fiksi. Setengah serius, Bang Fuadi bahkan mengatakan penulis novel seakan bisa menjadi Tuhan kecil. Dia bisa menciptakan tokoh dengan karakter tertentu dan bisa juga membuhuhnya kapan pun dia mau. “Bahaya juga ini” katanya yang disambut gelak hadirin.

Saya menjadi penaya kedua dengan sebelumnya memberi apresiasi. Saya tidak perlu sampaikan betapa besar apresiasi saya pada Bang Fuadi karena jika Anda membaca tulisan ini dari awal maka Anda bisa merasakan energi yang saya punya. Bang Fuadi benar, kita tidak akan kehilangan energi jika menulis sesuatu yang membuat kita bergariah. Tidak banyak novel yang membuat saya menangis ketika membaca dan N5M adalah salah satunya. Saya membaca novel itu ketika sedang di pesawat dan merasa buku itu mewakili situasi saya yang berpisah dengan keluarga. N5M menghadirkan pelajaran tanpa menggurui. Saya bertanya tentang pilihan fiksi dan memoar. Bang Fuadi memulai jawabannya dengan memberi apresiasi pada saya. Inilah gaya seorang brilian yang rendah hati. Orang-orang seperti beliau rupanya sudah ‘selesai’ dengan dirinya sehingga dengan ringan dan tulus bisa menyampaikan penghargaan pada orang lain. Senada dengan jawabannya kepada Rina, fiksi memberinya ruang yang lebih lebar untuk berkreasi. Memoar akan terbatas sifatnya, terutama jika kisah hidup seseorang tidak dramatis dan itu bisa menghasilkan karya yang membosankan. Meski demikian, diakui bahwa novel yang ditulis itu diinspirasi dari kisah sesungguhnya. Menurut Bang Fuadi, novel sebenarnya adalah kisah hidup nyata dengan menampilkan titik-titik ekstrim (saat tertinggi atau terendah) dan mengurangi hal-hal biasa/rutin yang membosankan.

Mas Taufiq bertanya di kesempatan ketiga tentang pilihan Bang Fuadi untuk menjadi penulis full time. Secara spesifik Mas Taufiq bertanya apakah pernah ada keraguan bahwa menjadi penulis itu tidak akan bisa menjamin keluarga secara ekonomi. Saya yakin ini kekhawatiran umum seorang yang rasional. Menariknya, Bang Fuadi juga menjawab dengan pendekatan yang rasional. Beliau mengamini kekhawatiran Mas Taufiq dan tidak sungkan menceritakan bagaimana istrinya memiliki keraguan ketika Bang Fuadi memutuskan menjadi penulis full time. Akhirnya beliau berkompromi dan minta diberi kesempatan selama enam bulan atau setahun dan selanjutnya melihat kemungkinannya setelah itu. Syukurlah, menurut Bang Fuadi, menulis bisa menghidupinya dengan layak. Tentu saja dengan catatan bahwa bukunya menjadi salah satu buku terlaris di Indonesia. Menurut catatan Gramedia Pustaka Utama (GPU), novel N5M bahkan menjadi novel terlaris sepanjang sejarah GPU selama 30an tahun keberadaannya. Tidak saja menghidupi diri sendiri, royalti buku Trilogi N5M bahkan bisa disisihkan untuk membangun sekolah. Bang Fuadi juga mempersilakan kami jika ingin berkontribusi. “Setidaknya bisa membantu dengan doa”, katanya sambil tersenyum.

Bang Fuadi juga mengatakan bahwa Mas Taufiq yang berkebutuhan khusus dalam hal penglihatan sebenarnya memiliki potensi besar untuk menulis buku bagus. Kisah hidup Mas Taufiq yang tuna netra dan akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa ke berbagai negara adalah kisah unik yang sangat layak untuk ditulis, kata Bang Fuadi. Meski begitu, motivasi utama dalam menulis sebaliknya adalah menghasilkan karya yang bagus. Soal best seller atau tidak, menurut beliau, adalah urusan lain dan itu sarat sekali dengan faktor keberuntungan. Kenyataannya, tidak semua buku bagus jadi best seller dan tidak semua buku best seller itu bagus dan penting. Bang Fuadi bahkan menawarkan diri untuk mengenalkan Mas Taufiq kepada penerbit jika memang Mas Taufiq tertarik. Rekomendasi dari seorang penulis sehebat Bang Fuadi memang tidak akan menjamin penerbit bersedia menerbitkan karya seseorang tetapi setidaknya bisa membantu meyakinkan editor atau tim seleksi untuk memprioritaskan pemeriksaan naskah. Dengan demikian, akan lebih cepat diketahui peluang penerbitannya.

Masih terkait pertanyaan aspek ekonomi penulisan buku, Bang Fuadi mengatakan bahwa ada banyak peluang yang bisa hadir dari sebuah buku. Ada banyak penulis yang setelah menulis akhirnya membentuk paket pelatihan/training yang kadang dijual dengan harga yang justru lebih tinggi dari bukunya. Beliau mencontohkan Ippo Santosa sebagai salah satu penulis yang melakukan hal tersebut. Munculnya media-media baru sebagai varian buku seperti film, komik dan naskah drama juga bisa menghadirkan nilai ekonomi baru. Inti dari penjelasan Bang Fuadi adalah bahwa sangat mungkin seorang penulis bisa hidup dari tulisannya tetapi di saat yang sama beliau tidak pernah memberikan jaminan untuk itu. Sekali lagi ditegaskan, sebaiknya motivasi utama menulis adalah untuk menghasilkan karya yang baik bukan untuk menjadi best seller dan mendatangkan manfaat ekonomi yang tinggi.

Pertanyaan terakhir disampaikan oleh Dilla tentang cara meyakinkan penerbit bahwa buku yang kita tulis itu layak diterbitkan. Bang Fuadi memberi satu perspektif menarik bahwa dalam bisnis penerbitan buku, penerbit itu memerlukan para penulis. Cara pandang seperti ini sangat membantu bahwa sebenarnya penerbit juga membutuhkan kita. Tanpa penulis, bisnis mereka tidak akan berjalan. Cara pandang seperti ini menghadirkan semangat positif untuk tidak gentar memulai menulis. Selain itu, perlu adanya penelitian sederhana tentang peluang pasar buku yang akan ditulis. Bang Fuadi mencontohkan dirinya, ketika mengajukan naskah dia juga memberikan data bahwa buku itu memiliki pasar yang besar di Indonesia. Data ini bisa diperoleh misalnya dengan menyebarkan potongan-potongan isi novel/buku untuk melihat reaksi pembaca. Hal ini akan menguatkan alasan apakah buku itu layak atau tidak layak diterbitkan.

Lebih jauh Bang Fuadi menegaskan bahwa penerbit itu banyak sekali di Indonesia. Jika naskah sudah jadi, pasti bisa terbit, katanya. Jika penerbit besar tidak bersedia, bisa melalui penerbit yang lbih kecil. Jika tidak bisa juga, penulis bisa menerbitkan sendiri bukunya yang dikenal dengan istilah self-publishing. Bang Fuadi mencontohkan, salah satunya, adalah nulisbuku.com. Melalui layanan self-publishing ini, katanya, tulisan apapun bisa terbit. Karena sistemnya print on demand maka bisa saja suatu karya diterbitkan dalam jumlah eksemplar terbatas. Dengan berkelakar Bang Fuadi mencontohkan, bisa saja kita membuat buku dan mencetaknya hanya untuk ayah, ibu, kakek, nenek dan saudara kandung, katanya. Saya sendiri tahu nulisbuku.com ini dan layanan ini memang bisa menjadi alternatif penerbitan buku, terutama bagi penulis yang baru mulai karir menulisnya. Dengan ini, saya jadi ingat pernyataan pembuka Bang Fuadi tadi bahwa semua orang bisa menulis.

Akhirnya waktu juga yang menjadi penentu. Diskusi yang hangat itu harus diakhir meskipun para perserta masih bersemangat untuk bertukar gagasan. Acara ditutup dengan foto bersama dan dan berbincang-bincang informal. Saya menghadiahkan sebuah buku “Anak Dusung Keliling Dunia” pada Bang Fuadi. Tentu saja ada perasaan khawatir akan kualitasnya tetapi saya yakin seorang Ahmad Fuadi tidak dibesarkan dengan kebiasaan mencela tanpa alasan. Meski demikian, dengan tulus saya berharap mendapat masukan dari beliau. Dengan rendah hati beliau mengucapkan bahwa menulis buku itu bukan perkara yang mudah dan dia memberi penghargaan yang tinggi kepada siapa saja yang telah menunjukkan karya buku. Jawaban itu melegakan. Menyimak itu semua, keyakinan saya makin kuat bahwa semestinya kita seperti Bang Fuadi ketika menulis. Kita menulis untuk menebar dan membangun kebaikan.

Catatan: Tulisan ini adalah interpretasi personal atas kegiatan diskusi dengan Bang Ahmad Fuadi di UNSW, Sydney tanggal 23 September 2013. Isi tulisan ini merupakan tanggung jawab saya. Jika terjadi kekeliruan, mohon kesediaan Pembaca menyampaikan koreksi dengan mengirimkan email ke madeandi@ugm.ac.id

Filed under: Australia, Beasiswa ADS, Beasiswa Luar Negeri, Biografi, Geodesi UGM, Inspirasi, Menulis, Publications Tagged: islam indonesia, unsw sydney

Show more