2013-08-13



Sydney, 2013

Sydney, 13 Agustus 2013

Hari beranjak sore, matahari masih terik menikam wajah kami yang duduk di bangku dengan satu meja di depan sebuah cafe. Saya bisa melihat matanya memecing-micing tanda silau, tetapi tidak nampak keluhan. Dingin winter yang masih terasa membuat terik matahari sore itu seperti penawar yang tepat kadarnya. Tidak jauh dari situ, saya lihat atap Sydney Opera House yang memantulkan sinar matahari begitu menawan. Sesekali burung camar melintas, hinggap di pagar besi tidak jauh dari kami. Di sisi kiri agak jauh, terlihat lengkungan Sydney Harbour Bridge yang khas itu. Sore ini saya ditemani oleh Profesor Hasjim Djalal. Mereka yang menekuni hukum laut dan belajar diplomasi Indonesia, tentu mengenal siapa beliau. Lelaki inilah, berasama Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang menjadi pahlawan Indonesia saat memperjuangkan status Indonesia sebagai negara kepulauan. Karena kegigihannya saat merundingkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS), laut di antara pulau-pulau Indonesia yang tadinya adalah laut bebas, akhirnya diakui dunia sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.

Sore begitu istimewa, saya berkesempatan berbincang-bincang dari hati ke hati dengan Pak Hasjim, begitu kami memanggil beliau, selepas acara lokakarya terkait Laut China Selatan. Pak Hasjim diundang oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI) untuk berbicara tentang confidence building measures di Laut China Selatan. Beliau adalah orang yang tepat untuk berbicara hal ini karena merupakan penggagas usaha mediasi konflik di Laut China Selatan. Selepas acara resmi, beliau berkenan berbincang-bincang tentang banyak hal di luar hukum laut. Meskipun sudah berkali-kali bertemu dan berbicara dengan Pak Hasjim, baru kali ini saya merasa begitu dekat dan bisa berbicara dari hati ke hati. Tadinya kami berbicara tentang hukum laut, batas maritim, sejarah perundingan dengan negara tetangga dan lain-lain, akhirnya topik melebar ke mana-mana dan justru itulah yang mengesankan.

Pak Hasjim pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk PBB, pernah juga menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kanada. Sebagai diplomat karir, Pak Hasjim telah mencapai posisi puncak gelar duta besar yang melekat. Maka dari itu, beliau selalu dipanggil Ambassador Hasjim Djalal meskipun sudah pensiun dari kementerian luar negeri sejak awal tahun 1990an. Meski pensiun Pak Hasjim tidak berkurang kesibukannya. Beliau pernah diangkat sebagai duta besar keliling (Ambassador at large) untuk hukum laut dan juga sebagai dewan penasihat presiden. Pak Hasjim juga termasuk salah satu penasihat tim perundingan Indonesia untuk batas maritim. Berbicara dengan seorang Hasjim Djalal adalah berbicara dengan seorang tokoh dengan berbagai peran, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Semua orang yang menekuni isu kelautan dan hukum laut di kawasan atau di seluruh dunia mengakui kapasitas seorang Hasjim Djalal. Pertemuan saya dengan banyak kawan dari ASEAN, Asia, Australia, dan Eropa membuktikan ini.

Pembicaraan dengan Pak Hasjim memang santai, sama sekali tidak ada kesan berbicara dengan orang penting dalam sejarah Indonesia. Diplomat sejati memang demikian, dia sanggup membuat lawan bicaranya nyaman, bahkan lupa sedang berhadapan dengan orang yang sesungguhnya bisa membuat grogi. Meski nyaman dan terasa biasa, isi pembicaraannya tetap menghadirkan ‘kejutan-kejutan’. Dalam pembicaraan yang diselingi kelakar itu akan muncul nama presiden, menteri, duta besar, politisi senior, tokoh partai, koruptor ulung, dan sejenisnya. Yang membedakan dari berita koran dan TV tentu saja perspektifnya. Pak Hasjim menyampaikan kisah itu sebagai pelaku sejarah atau sebagai orang yang menyaksikan dari dekat sehingga terasa berbeda. Lebih berjiwa. Memang tidak semua hal yang saya dengar bisa saya tulis karena persoalan etika.



Manila, 2012

Pak Hasjim berasal dari sebuah daerah di Bukit Tinggi. Tahun 1953 memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Bagi orang Minang, hal ini tentu bukan hal aneh tetapi tetap luar biasa bagi Pak Hasjim muda dan keluarganya. Dengan sungguh-sungguh Pak Hasjim menceritakan bagaimana beliau meyakinkan kedua orangtuanya akan rencananya benuntut ilmu di Jakarta. Akhirnya sang ayah menyanggupi untuk membelikannya tiket kapal kelas deck seharga Rp. 84,-. Tentu saja dengan tiket kelas itu Pak Hasjim tidak akan mendapat tempat tidur layak sebagai penumpang. Demi keinginannya merantau ke Jakarta, perjuangan itu diniatkannya dengan baik. Sementara itu, biaya hidup di Jakarta tentu tidak murah dan waktu itu diperkirakan Rp 150 sampai 175 per bulan. Saya selalu membayangkan ada kata ‘ribu’ di belakannya dan ternyata saya salah. Tidak ada kata ‘ribu’. Demi mendukung anaknya, ibunda Pak Hasjim menjual padi dan berhasil membekali beliau Rp 300,- yang diperkirakan akan cukup untuk dua bulan hidup di Jakarta. Tidak hanya itu, Pak Hasjim tentu akan memerlukan transportasi selama di Jakarta untuk “hilir mudik”, demikian istilah yang beliau pakai. Untuk ini, seorang paman merelakan Rp 125,- untuk membeli sepeda yang kelak akan digunakan sebagai alat transportasi.

Saya menyimak penuturan Pak Hasjim dengan seksama. Sejujurnya, tidak mudah membayangkan sesorang yang begitu dikagumi dan disapa dengan penuh rasa hormat oleh semua orang di acara lokakarya tadi ternyata mengalami perjuangan hidup begitu rupa. Darah lelaki pejuang ini bahkan mengalir dalam tubuh Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal yang juga saya kagumi. Mengenalnya lebih dekat membuat saya lebih mudah memahami pandangannya tentang Indonesia dan dunia secara umum. Saya masih menyimak dengan seksama saat matahari masih menimpa wajah lelaki berusia nyaris 80 tahun itu. Desiran angin musim dingin, suara ombak dan pekik camar yang hendak memanen sisa makanan yang tercecer di lantai cafe menjadi latar yang sempurna.

Konon Pak Hasjim numpang tinggal di tempat salah sau kerabat bernama Hazir yang berasal dari satu kampung dan telah lebih dahulu mengadu nasib di Jakarta. Dikisahkan, Hazir tinggal di sebuah rumah kecil bersama suami, anak dan ibunya. Dengan rinci Pak Hasjim menjelaskan, Hazir dan keluarganya mendiami satu kamar, ibunya di ruang makan dan Pak Hasjim harus rela tidur di kursi-kursi yang disusun sedemikian rupa di dapur. Membayangkan itu, sepertinya begitu menderita tetapi rupanya tidak demikian dengan Pak Hasjim muda. Bisa datang ke Jakarta adalah sebuah kemewahan dan keajaiban yang akan mengantarkan beliau pada satu pencapaian tinggi maka tidur di tempat yang tidak nyaman menjadi tidak begitu berarti sebagai penderitaan.

Di Jakarta, akhirnya Pak Hasjim mengikuti ujian masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) karena memang bercita-cita menjadi diplomat. Menariknya, selama menunggu proses di ADLN, Pak Hasjim sempat ikut ujian masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan diterima. Beliau sempat mengenyam bangku kuliah di UI dan bahkan mendapat beasiswa dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) sebesar Rp 344,- setiap bulan. Jumlah itu tentu saja fantastis karena biaya hidup sebulan sekitar Rp 150,-. Di suatu ketika, Pak Hasjim kuliah di dua tempat yaitu di UI dan ADLN karena memang kedua-duanya lolos ujian. Yang lebih menarik, Pak Hasjim ternyata juga mendapatkan beasiswa di ADLN sebesar Rp 344,-. Seorang Hasjim muda mendapatkan uang sebesar Rp 688,- ketika itu, saat biaya hidup sebulan sekitar Rp 150-175 per bulan. “Saya mendadak kaya, itu Ndi” katanya mengenang pencapaiannya dulu. Sejak itu Pak Hasjim bahkan bisa mengirimkan Rp 100,- untuk orang tuanya di kampung. Sungguh berkah yang tidak terduga bagi orang tua beliau.



Vietnam, 2010

Suatu hari, Pak Hasjim dipanggil oleh P&K untuk menandatangani Perjanjian bahwa kelak setelah lulus akan bersedia ditempatkan di mana saja sebagai syarat penerima beasiswa. Saat itulah Pak Hasjim baru sadar bahwa dia sesungguhnya ingin menjadi diplomat. Pilihan yang dihadapinya adalah dia teruskan kuliah di FEUI dan artinya menandatangani kontrak jaminan kerja. Di sisi lain, dia sangat ingin menjadi diplomat dan telah menandatangani perjanjian dengan ADLN/kementerian luar negeri. Akibatnya, Pak Hasjim harus rela meninggalkan FEUI dan memilih ADLN yang menjadi bagian dari cita-citanya. Jumlah beasiswa yang tadinya Rp 688 kini menjadi setengahnya. Pak Hasjim harus berbuat sesuatu agar tetap bisa mengirimkan sedikit uang untuk orang tuanya di kampung di Bukit Tinggi.

Pak Hasjim memilih untuk mulai bekerja. “Saya dari kecil sudah mandiri, Ndi” kata Pak Hasjim menegaskan. Beliau akhirnya mengajar di SMA sambil kuliah di ADLN dan menjadi penjaga di toko buku Gunung Agung. Pak Hasjim mengatakan, sewa kosnya pada zaman itu sudah Rp 250,- per bulan, itupun dengan tinggal bertiga dalam satu kamar. Beliau memang perlu kerja untuk bisa bertahan dan terutama untuk bisa mengirimkan sebagian rezeki pada orang tua di kampung. Ketika saya tanya bagaimana cara mengirimkan uang itu, Pak Hasjim mengatakan “dititip kerabat yang pulang dari Jakarta. Orang Minang kan banyak yang merantau, Ndi.”

Yang menarik, Pak Hasjim memang suka membaca sejak kecil. Ketika bekerja di toko buku, Pak Hasjim selalu menyempatkan diri membaca ketika tidak sedang bekerja. Rupanya hal ini diamati oleh pemilik toko dan Pak Hasjim sempat ditawari untuk sekolah bidang perpustakaan di Kuala Lumpur dan dibiayai penuh. Rupanya Pak Hasjim memang sangat terobsesi menjadi diplomat maka dengan berat hati beliau tolak.

Ketika saya tanya apa yang menginspirasi seorang Hasjim muda menjadi diplomat, beliau memaparkan kisahnya. Konon, guru sejarah di SMP pernah membahas sejarah Eropa dan terutama Napoleon. Dikisahkan oleh guru itu bagaimana situasi Eropa yang begitu kacau satu ketika. Adalah Menteri Luar Negeri Austria ketika itu yang berhasil menghadirkan solusi yang mendamaikan. Hasjim muda terpana dengan usaha sang menteri dan bertanya pada gurunya bagaimana hal itu dilakukan. Sang guru menjawab bahwa semua itu dilakukan tanpa senjata tanpa kekerasan. Sang menteri, menurut guru itu, hanya menggunakan kemampuannya berbicara dan berunding sehingga akhirnya semua pihak setuju dengan solusi damai yang ditawarkannya. Sejak itulah Hasjim muda jatuh cinta pada pekerjaan diplomasi dan selalu ingin jadi diplomat. Saya membayangkan, begitu besar makna seorang guru dalam menentukan jalan hidup seseorang. Saya yakin, pak guru SMP yang bercerita pada Pak Hasjim di masa lalu mungkin tidak membayangkan seorang Hasjim muda akan menjadi Duta Besar Indonesia untuk PBB di New York. Demikianlah cara kerja inspirasi, begitu misterius.

Saya diam menyimak sambil sesekali meneguk juice jeruk dan tak melepaskan pandangan dari wajah tenang di depan saya. Sementara itu, Pak Hasjim sesekali meneguk air putih yang beliau hadapi. Ketika saya tawari minum, Pak Hasjim memang memilih air putih saja. Sore yang makin teduh itu menghadirkan kesan yang lebih dalam. Sudah satu jam lebih saya duduk di pinggir laut menyimak kisah Pak Hasjim yang begitu menyentuh. Hal demikian tentu saja tidak pernah akan bisa disimak jika hanya bertemu Pak Hasjim di meja konferensi atau ruang seminar. Alangkah beruntungnya saya bisa menyimak beliau di satu sore yang teduh di Sydney.

New York, 2007

Saya bertemu pertama kali dengan Pak Hasjim di New York tahun 2007 ketika beliau diundang menjadi pembicara kunci saat peringatan 25 tahun UNCLOS oleh PBB. Sulit diceritakan betapa bangganya saya sebagai orang Indonesia dalam kerumunan peserta acara, saat menyaksikan Pak Hasjim memukau puluhan petinggi PBB di New York dengan kecemerlangannya menceritakan sejarah UNCLOS. Itulah kali pertama saya, sebagai fans, berfoto dengan Pak Hasjim yang menjadi idola. Enam tahun berlalu, kini saya menikmati sore yang sejuk bersamanya di sebuah cafe di Circular Quay sambil menikmati canda burung camar yang terbang rendah berlatar pantulan sinar matahari di atap Sydney Opera House dibayangi lengkungan Sydney Harbour Bridge yang memesona.

Saya dengar dari teman-teman diplomat di Kementerian Luar Negeri bahwa Pak Hasjim sangat suka jalan kaki. Ketika bertemu di New York tahun 2007, beliau memang menolak untuk naik taksi, bus atau diantar oleh petugas karena ingin menikmati jalan kaki dari gedung PBB menuju gedung Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk PBB di Manhattan. “Itu sih dekat sekali Ndi”, katanya, “saya bahkan biasa jalan dari PTRI ke konjen di New York”. Saya tahu kedua tempat itu tidak berdekatan dan bisa ditempuh dalam waktu lebih dari 40 menit dengan jalan kaki kecepatan normal. Ketika saya tanya hal ini, beliau menjawab bahwa jalan kaki sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Waktu SMP konon beliau menjadi korban agresi militer Belanda di Bukit Tinggi. Berliau harus mengungsi dengan berjalan kaki ke Maninjau dari kampungnya dan meneruskan perjalanan ke Lubuk Basung yang jaraknya sekitar 60 kilometer. Perjalanann sepanjang itu tentu tidak mudah bagi seorang anak SMP tetapi itu rupanya menjadikan Pak Hasjim kuat secara fisik. Apalah artinya perjalan dari PTRI ke KJRI di New York yang hanya ditempuh dalam 42 menit, itupun di teduhnya jalanan New York dan bersahabatnya Central Park yang rindang dan segar. Sungguh itu tiada artinya bagi Pak Hasjim dibandingkan cadasnya hidup di masa kecil.

View Larger Map

Saya larut menyimak kisah itu hingga lupa berbagai pertanyaan yang hendak saya lontarkan. Di sela-sela kisah yang menyentuh itu, sekali dua kali saya sisipkan pertanyaan yang bersifat politis. Tidak semua beliau jawab dengan gamblang, semata-mata karena tidak memahami satu atau dua isu. Pak Hasjim sedemikian jujur dan tidak merasa risih mengatakan tidak tahu atau tidak bisa kepada saya yang begitu jauh lebih muda darinya. Ketika saya tanya sambil setengah berkelar terkait karir politik Dino Djalal, putranya, Pak Hasjim memilih untuk tidak banyak berkomentar. Tentu saja ada satu atau dua hal yang beliau ceritakan mengenai hal penting dan sepertinya tidak etis menjadi konsumsi publik. Misalnya, Pak Hasjim dengan cukup lancar menyebutkan posisinya saat pemilu tahun 2004 dan pandangannya beliau terhadap Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu.

Tentu saja diskusi kami tidak lepas dari tema personal dan sensitif tentang NKRI dan masa depan Indonesia. Berbagai nama disebut dan satu dua rahasia terlontar dengan sebelumnya memberi peringatan bahwa pembicaraan itu hanya untuk berdua. Kadang muncul dalam bentuk kelakar yang jauh dari serius. Saya ingat lagi perjuangan Pak Hasjim di masa muda. Masih sulit percaya bahwa lelaki yang sedang menenggak air putih di depan saya dan mengenaskan hidupnya di masa kecil kini berkelakar tentang menteri, presiden dan para duta besar. Kelakar yang istimewa karena itu adalah refleksi pengalaman, bukan sekedar hasil membaca apalagi sekedar mendengar. Saya sering tersenyum simpul setengah penasaran dibuatnya ketika ada satu atau dua fakta mengejutkan yang tidak mudah dijumpai di Koran dan TV.

Jakarta, 2011

Saya sempat bertanya tentang keluarga dan terutama anak-anaknya. Saya mengagumi Dino Djalal yang kini Duta Besar RI untuk Amerika karena inovasi dan gagasan-gagasan cemerlangnya. Lebih dari itu, Dino mengajarkan expresi diplomasi yang mumpuni dan menghadirkan optimisme tentang Indonesia. Saya sempat tanyakan tentang Dino yang sering berkelakar pernah menjadi tukang cuci piring di gedung KBRI tempatnya menjadi duta besar saat ini. Pak Hasjim membenarkan. “Saya biarkan saja dia mandiri. Kalau mau dapat uang yang harus bekerja. Saya kan juga gitu dulu, Ndi”, kata Pak Hasjim menegaskan. Konon Dino Djalal pernah ditugaskan sebagai tukang cuci piring di Washington saat Pak Hasjim bertugas sebagai diplomat dan Dino muda mengikuti sang ayah. Cerita cuci piring ini sering menjadi bahan intermezzo inspiratif ketika Dino menyampaikan pidato.

Saya juga bertanya tentang pertemuan Pak Hasjim dengan istri beliau. Konon Bu Hasjim muda berasal dari satu daerah yang akhirnya juga merantau ke Jakarta. Rupanya beliau masih kerabat dari bapak kos pemilik rumah tempat Pak Hasjim tinggal. Suatu hari Pak Hasjim muda diminta menjemput seseorang yang baru tiba dari Bukit Tinggi di pelabuhan dan orang itu adalah Bu Hasjim muda. Itulah rupanya cikal bakal tumbuhnya cinta di antara mereka. Ketika saya berkelakar “mungkin memang sengaja diatur demikian agar Bapak bertemu dengan ibu, Pak”, Pak Hajim dengan tesenyum mengatakan “wah, saya tidak tahu kalau soal itu”. Kamipun tertawa. Pak Hasjim telah dengan terbuka menceritakan hal-hal sederhana namun penting dalam hidupnya dan kisah itu menyentuh.

Hari kian sore, sejuk udara masih setia dan tikaman matahari perlahan mereda. Wajah Pak Hasjim masih tersiram matahari dan sekali dua kali beliau memicingkan mata melawan sinar matahari. Sementara itu saya sempatkan untuk merekam hasil pembicaraan dalam bentuk tulisan agar menjadi catatan yang baik nantinya. Saya tak henti berterima kasih atas keistimewaan itu lalu meninggalkan Pak Hasjim yang nampaknya masih ingin menikmati sore dengan berjalan kaki. Sore yang teduh, seorang lelaki bijaksana di usia senja dan sepotong inspirasi adalah paduan sempurna.

Filed under: Batas Maritim, Beasiswa Luar Negeri, Biografi, Geodesi UGM, Inspirasi, Konferensi, Law of the Sea Tagged: mediasi konflik, pahlawan indonesia, sydney harbour bridge, sydney opera house

Show more