2013-07-15



Dr. Marty Natalegawa, foto oleh Jerico Pardosi

Tidak biasanya saya mengenakan setelan jas saat berada di Australia. Negeri ini penuh dengan suasana informal dalam hal penampilan, terutama untuk mereka yang berstatus mahasiswa seperti saya. Makanya, mengenakan jas adalah keistimewaan. Jika bukan karena menghadiri acara penting, mungkin jas itu tidak akan menjalankan tugasnya hari ini. Pagi-pagi sekitar jam 10, saya sudah melaju dengan kereta dari Central Station menuju Macquarie University, Sydney. Hari ini istimewa, Macquarie University akan menganugerahkan gelar doktor kehormatan di bidang sastra (Dr Honoris Kausa) kepada Dr. Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia. Saya ingin menyaksikan sejarah itu.

Turun dari kereta, saya sempatkan menikmati stasiun kereta Macquarie University yang megah dan mewah itu. Stasiun ini baru dan ini termasuk terobosan non akademik yang meningkatkan akses ke universitas yang sebenarnya berlokasi agak jauh di bagian utara Sydney ini. Sejurus kemudian saya berjalan menuju kampus yang ternyata besar sekali. Seorang mahasiswi bule membantu saya menemukan gedung tempat akan berlangsungnya upacara penganugerahan itu. Selain itu saya dipandu dengan iMessage oleh Linggar (ini cewek, bukan cowok), kawan baik, yang sedang PhD di Macquarie University. Di tengah jalan, bertemu dengan seorang lelaki berwajah Indonesia dan ternyata adalah Mas Salut Muhidun yang namanya sudah saya dengar beberapa waktu belakangan ini. Beliau juga akan menghadiri acara yang sama. Saya meneruskan perjalanan sendiri karena Mas Salut masih menunggu rekannya.

Winter semakin menguat, kali ini saya benar-benar merasakan, tidak saja filosofi, tetapi juga makna praktis jas dan dasi. Di negara empat musim ini, terutama saat musim dingin, baju tebal dan tali yang melilit leher (biasa disebut dasi) itu baru terasa fungsi aslinya. Tujuan mereka jelas: melindungi tubuh dari tirani musim dingin. Makanya, agar terasa pantas dengan jas dan dasi, kita perlu pendingin ruangan di nusantara tercinta. Dalam perjalanan melewati lapangan rumput yang tercukur rapi dan pepohonan rindang, terlihat seorang lelaki dengan pakaian yang tidak begitu rapi dan rambut gondrong dengan janggut yang tidak dicukur. Penampilannya tidak aneh tetapi kelakuannya sedikit berbeda dari orang lain. Lelaki itu itu sepertinya baru saja memetik ranting pohon dengan dedaunan yang hijau berjuntai. Ini memang bukan hal biasa tetapi tidaklah penting bagi saya memperhatikan kelakuan orang itu.

Sebelum jam 11 pagi saya sudah berada di gedung yang dimaksud. Nampak diplomat dari Konsulat Jenderal Sydney, Perth dan KBRI Canberra. Segera saya salami satu persatu. Ada Pak Konjen dari Perth yang tentu saja sudah lupa dengan saya meski sempat bertemu tahun 2011 silam di Perth. Ada juga Pak Dubes Nadjib yang ternyata masih ingat saya karena pernah sama-sama bicara di Dialog Indonesia-Australia Mei lalu. Pak Gerry Jusuf, Konjen Sydney juga ada di sana dan beliau langsung ‘memerintahkan’ saya untuk ‘sungkem’ pada Pak Dubes. Tentu saja beliau berkelakar. Ada juga kawan-kawan lain yang sudah saya kenal di dunia maya tetapi baru kali itu bertemu seperti Jerico Pardosi dan lain-lain. Saya juga menyapa dan bekenalan dengan Prof. Ronny R. Noor, atase pendidikan yang menggantikan Prof. Aris Junaedi. Pak Ronny juga menyampaikan, Bagus Nugroho (ketua PPIA Pusat) telah mengenalkan saya ke Beliau. Pak Imam, Pak Nico dan Akbar dari KJRI Sydney juga ada dan terlihat sibuk bekerja. Ramai dan semarak, suasananya akrab dan hangat. Di situ terlihat banyak orang bule dan Asia yang mengenakan jas resmi, nampak wibawa, penting dan serius.

Jam 11 kurang 10 menit saya sudah ada di ruangan yang mulai terisi. Terjadi percakapan singkat dengan Nova dari KJRI Sydney yang nampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Di deretan depan saya lihat Ibu Sranya Natalegawa, istri dari Pak Marty (untuk selanjutnya saya sebut Marty saja, tanpa Pak). Perempuan keturunan Thailand itu masih terlihat cantik dan muda, tidak jauh beda dengan ketika saya temui di New York enam tahun silam. Konon, Ibu Sranya adalah teman kuliah Marty di Inggris dulu dan ada selentingan kabar kalau Ibu Sranya juga pintar sekali. Tentu saja. Di sebelah kanan saya ada seorang bule sudah berumur dan duduk dengan wajah dingin ketika saya duduk di dekatnya. “Good morning!” demikian saya sapa dan diapun menjawab. Lama kelamaan, si bapak ternyata cukup bawel. Dia suka Bali, dia mengenal Indonesia dan seterusnya. Begitu saya tanya sebagai apa dia ada di ruangan itu, dengan kalem dia menjawab dia teman baik chancellor, orang nomor satu di universitas itu. Oh, baiklah.

Pembawa acara membuka dengan sangat singkat tanpa basa-basi. Dijelaskan bahwa yang menerima gelar kehormatan hari itu adalah Marty Natalegawa dan Bob Carr, Menlu Australia. Gaya singkat inilah yang perlu ditiru dari acara-acara resmi di negara maju: singkat tanpa basa-basi dan langsung ke pokok persoalan. Lihat bedanya dengan tulisan saya ini yang tidak juga segera bercerita tentang penganugerahan gelar doktor HC untuk Marty. Penulis Indonesia kebanyakan (apalagi yang amatir) memang susah untuk bisa ‘to the point!’

Pembicara resmi pertama adalah Chris Tobin, dari suku Aborijin. Sudah jadi tradidisi, acara resmi di Australia dewasa ini pasti memberikan penghormatan kepada penduduk asli untuk memberikan sambutan pertama. Di panggung itu berdiri seorang lelaki dengan pakaian yang tidak begitu rapi dan rambut gondrong dengan janggut yang tidak dicukur. Merasa tidak asing dengan deskripsi ini? Betul, ternyata dia adalah lelaki yang saya temui tadi dan ranting dengan dedaunan itu adalah bagian dari perlengkapan ritual sambutan itu. Lelaki Aborijin itu termasuk pembicara publik yang baik. Kalimatnya santai diselingi kelakar dan dia dengan fasih menceritakan sejarah Aborijin di sekitar kawasan itu. Dia sempat menceritakan kehidupan orang Aborijin yang damai sebelum kolonialisasi. Sebenarnya ada materi sensitif dalam pidatonya tetapi nampaknya tidak ada satu orangpun di ruangan itu yang terpancing. Dia juga lucu dan penuh kelakar di penggal terakhir pidatonya.



Chris Tobin menyampaikan selamat datang

Chancellor Macquarie University, Michael Egan, melanjutkan dengan sambutan yang penuh canda tawa. Dia memulai dengan mengatakan bahwa hanya orang-orang terhormat saja yang diundang oleh Macquarie University, jadi “Anda semua bisa dipastikan terhormat”, kataya. Hadirin pun tertawa dan terhibur. Dia juga mengatakan Macquarie University adalah satu-satunya universitas di Australia yang memiliki stasiun kereta sendiri. Memang nama stasiunnya adalah “Macquarie University”. Masih ingat carita saya tadi? Hal sepele yang dibanggakan itu tentu saja menjadi lucu dan menghibur.

Michael menceritakan hubungannya dengan Bob Carr yang sudah belangsung 50 tahun sejak usia muda. Dia juga menceritakan hal-hal menggelikan sebagai anak muda dan hal-hal yang konyol ketika mahasiswa. Suasana ruangan jadi riuh rendah oleh derai tawa. Sementara itu, ketika berbicara tentang Marty, Michael jujur mengakui dia tidak bisa berbicara sebanyak ketika dia bicara tentang Bob Carr. Yang jelas dia mengakui bahwa Marty adalah diplomat mumpuni yang menajadi kesayangan media dan sering diburu oleh media Australia. Dia tegaskan, Marty selalu bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan diplomatis. Bagi dia, Marty paham benar caranya menanggapi pertanyaan-pertanyaan bodoh yang sering dilontarkan wartawan. Di tengah pidatonya dia juga menyinggung bahwa Marty pernah bersekolah di Inggris dan di Australia sehingga paham sekali akan olahraga cricket. Dia bahkan secara berkelakar meminta Marty menjelaskan situasi cricket kepada Bob Carr dan disambut gelak tawa hadirin. Sementara itu, Marty dan Bob Carr hanya senyum-senyum simpul menikmati kelakar itu. Dengan gaya pidatonya, Michael Egan membuat suasana penganugerahan galar itu jadi segar meskipun tetap berwibawa.

Selepas itu, Vice Chancellor, Prof. Bruce Dowton, membacakan biografi Marty sebelum Chancellor memberikan gelar kehormatan. Disampaikan pendidikan Marty yang ternyata hanya mengenyam bangku SD di Indonesia hingga akhirnya lulus S1 dan S2 di Inggris. Marty adalah alumni ANU, Canberra untuk gelar S3. Usai membacakan biografi Marty, Vice-Chancellor lalu memberi kesempatan kepada Chancellor untuk menganugerahkan gelar doktor kehormatan. Dengan menyampaikan ucapan-ucapan ritual, maka secara resmi Marty kini bergelar Doktor Honoris Kausa dan selanjutnya diminta memberikan sambutan. Inilah yang ditunggu-tunggu, setidaknya oleh saya.

Marty mengambil catatan dari balik jasnya dan mulai berpidato. Saya merekam pidato itu karena ingin belajar dari gaya dan isi pidato beliau. Saya termasuk penikmat pidato-pidato Marty yang berbeda dibandingkan Dino Patti Djalal atau Anies Baswedan, misalnya. Mendengar pidato Marty seperti membaca buku hubungan internasional kelas tinggi. Pemilihan kata-katanya presisi dan tepat guna. Artikulasinya juga istimewa. Orang yang berniat berguru dari sebuah pidato dan hendak mencari ilmu, pidato Marty adalah pilihannya. Meski demikian, harus diakui bahwa pidato Marty tidak tepat untuk mereka yang menginginkan suasana segar dan retorik. Marty tidak penuh intermezzo seperti Dino, tidak juga theatrical layaknya Anies tetapi dia istimewa pada kelasnya. Saya belum tahu apakah pidato beliau ini bisa saya sebarkan di internet, yang jelas saya menyimpannya untuk kepentingan sendiri.

Saya yakin, mereka yang serius ingin menyimak ilmu pengetahuan akan setuju bahwa pidato Marty sarat ilmu dan folosofi. Adit, seorang kawan yang hadir di sana, di kesempatan berikutnya mengakui hal ini. Pidato Marty memang sarat fislafat dan kaya akan diksi yang tepat untuk konteks keilmuan yang dibawakannya. Seperti yang saya bilang, mendengarkan pidatonya seperti membaca buku teks kelas hebat. Meski berpotensi menjadi agak ‘kering’, Marty termasuk berhasil menyelipkan hal-hal kecil yang menawarkan kesegaran. Di pidato kali ini Marty secara khusus menyampaikan pengalamannya saat bom bali dan interaksinya dengan Australia. Dia sampaikan ini tanpa membaca dan dengan sentuhan personal. Hal seperti ini yang membuat pidatonya terselamatkan dengan baik. Di penghujung pidato, Marty juga secara khusus menjawab tantangan Michael tentang olahraga cricket. Di saat itulah terlihat kualitas diplomasi Marty yang bisa berkelakar bahkan dengan bahasa-bahasa diplomasi tingkat tinggi. Hanya untuk mengatakan bahwa Australia mungkin menang dalam pertandingan criket saja dia menggunakan istilah-istilah diplomasi untuk tidak mengecewakan salah satu pihak/negara. Dengan gaya khasnya, sentuhan terakhir itu berhasil membuat hadirin tergelak.

Suasana yang kian hangat itu kemudian dibuat santai dengan lantunan sebuah lagu dari Angela Brewer yang suaranya memesona. Kata Chancellornya, Angela selalu bernyanyi saat wisuda di Macquarie University dan dia beruntung bisa mendengarkan suara emas Angela berkali-kali dalam setahun. Katanya lagi, dia sering bertanya pada para wisudawan apakah ingin mendengar suara merdu Angela lagi dan biasanya wisudawan akan berteriak “mauuu”. Di saat itulah Chancellor berujar “kalau ingin mendengar Angela bernyanyi lagi, segeralah daftar kuliah lagi di jenjang berikutnya agar bisa wisuda di sini lagi”. Lelucon cerdas itu segera disambut gelak tawa hadirin. Chancellor Macquarie University memang kocak.

Proses yang sama dengan Marty berlaku juga untuk Bob Carr. Diapun segera menyampaikan pidato setelah dinyatakan menerima gelar kehormatan. Berbeda dengan Marty yang sangat tertata dan seperti buku teks, pidato Bob Carr sangat santai, penuh canda tawa dan kelakar. Yang menarik adalah, dia menghabiskan lebih dari 70 persen (percayalah, ini bukan perhitungan matematis teliti) waktunya untuk memuji Marty. Bob Carr memang diplomat ulung. Dia misalnya mengatakan bahwa sering kali di forum regional maupun intenasional, anggota delegasi akan berkata ‘kita tunggu apa pendapat Marty’ atau ‘tergantung apa kata Marty’. Bob Carr juga tidak segan-segan mengolok-olok dirinya demi menyanjung Marty siang itu. Sungguh ekspressi seorang diplomat senior yang ulung. Secara usia, Bob Carr memang jauh lebih matang dengan usia sekitar 16 tahun lebih tua dari Marty. Nampak jelas Bob Carr sangat matang dalam politik dari cara dia berbicara. Berbeda dengan Marty, Bob Carr tidak menggunakan teks ketika berpidato dan mengalir saja seperti tidak ada beban. Hanya saja, dari ketajaman ekspresi, keluasan wawasan dan kedalaman materi, Marty tentu lebih baik. Bisa dipahami karena Marty memang menyiapkan naskah pidato dengan serius.

Acara formal ditutup dengan pidato akhir Chancellor yang akhirnya mempersilakan hadirin untuk menikmati hidangan di luar. Saya segera bergegas keluar mencari makanan kecil. Kali itu adalah pesta berdiri dan makanan-makann kecil disajikan oleh pramusaji yang berkeliaran di lokasi. Ada yang membawa penganan kecil, banyak yang membawa minuman. Saya temui Pak Ronny, atase pendidikan, untuk memberikan satu buku saya “Berguru ke Negeri Kangguru” sebagai hadiah. Saya juga bertermu dengan kawan-kawan sesama mahasiswa seperti Agus, Jerico ,Lely, Adit dan kawan-kawan. Ada juga beberapa teman baru yang akhirnya dikenal saat itu juga.

Saya bergegas mendekati Marty yang masih sibuk berfoto dan beramah tamah dengan para diplomat senior dan anggota masyarakat. Ada usulan dari rekan mahasiswa Indonesia di Macquarie University untuk mengajak beliau berfoto, khusus dengan mahasiswa Indonesia. Tentu saja Marty tidak menolak. Di saat itulah terjadi interaksi satu-satu antara Marty dengan kami. Tiba pada giliran saya, kami pun bersalamanan. Saat menjabat tangannya saya bilang “Selamat Pak Marty atas anugerah ini. Akhirnya ketemu lagi kita Pak.” Dia menatap saya dengan pandangan penuh selidik, tanda dia punya keraguan. “Kita ketemu di New York, Pak” saya langsung ingatkan dan segera disambar oleh beliau “Ah, saya ingat. Waktu itu kita ketemu di Bank di UN Building kan. Saya sedang bikin rekening dan Anda riset di PBB. Apa kabar Mas?” Cukup lega, Pak Marty mengingat sedemikian detil. “Baik Pak. Saya sedang sekolah di sini Pak.” “OH ya, saya ingat buku Anda tentang batas maritim itu. Masih ambil bidang itu?” pertanyaan ini membuat ingatan saya melambung ke enam tahun silam. “Masih Pak.” “Wah nanti kalau sudah selesai kontak-kontak ya?” kata beliau. Tentu saja itu bagian dari tata krama diplomat ulung tetapi cukup menyejukkan mendegar seorang pemimpin memiliki kepedulian pada anak-anak muda yang berprofesi sebagai pelajar seperti kami.



Mendiskusikn buku, foto oleh Jerico Pardosi

Saya ingat buku yang saya serahkan enam tahun lalu dan kinipun saya sudah siapkan satu buku lainnya. Saya segera sampaikan satu buku Beyond Borders dan beliau cukup antusias membahas sambil melihat sekilas buku itu sebelum akhirnya berkelebat pindah tangan ke sekretaris pribadinya. Marty tentu saja tidak bisa berlama-lama melayani saya karena belasan kalau tidak puluhan orang menginginkan perhatiannya di lokasi itu. Pihak Diaspora Indonesia, yang digawani Bang Frans dan Pak Rudolf, tidak ketinggalan, secara aktif meminta berfoto dan bahkan wawancara. Saya lihat Marty diminta memberikan pesan kepada Diaspora Indonesia dan direkam dalam bentuk video. Para mahasiswa tidak mau kalah, semua meminta berfoto bersama Marty. Sebagian lainnya sibuk mengabadikan momen bersejarah itu. Saya termasuk yang beruntung karena tidak membawa kamera sehingga lebih sering jadi obyek foto daripada fotografer.

Marty Natalegawa dan mahasiswa Indonesia, foto oleh Agus Maradona

Selain dengan Marty, kami, mahasiswa Indonesia, juga sempat bercakap-cakap dengan Bob Carr. Seperti biasa, dia bertanya bidang studi dan penelitian masing-masing. Batas Maritim tentu saja membuat dia berhenti agak lama menyalami saya dan bertanya. Dia tahu isu itu penting bagi Indonesia dan Australia. Kamipun berfoto bersama dan Bob Carr nampak menikmati suasana itu. Di sela-sela itulah kami sempat berdiskusi alasan utama penganugerahan gelar kehormatan untuk Marty. Mas Salut, orang Indonesia yang menjadi staf di Macquarie University, memahami bahwa ini merupakan bentuk penghargaan karena Marty dianggap berjasa dalam merekatkan hubungan kedua negara dan dia memang termasuk yang diakui perannya oleh pemerintah dan media Australia. Saya yakin itu alasan yang tepat untuk penganugerahan ini. Meski demikian, tentu tetap ada alasan politis lain yang tidak diketahui publik. Yang jelas, penganugerahan gelar kehormatan kepada seorang Marty telah menempatkan Macquarie University pada peta politik pendidikan Indonesia-Australia pada posisi yang lebih mudah dibaca dan warna yang lebih menyolok.

Dengan Bob Carr, foto oleh Jerico Pardosi

Acara berlangsung meriah, apa yang saya rencanakan sudah terlaksana. Pertemuan pertama dengan Pak Marty ditandai dengan buku (Batas Maritim), maka pertemuan tahun 2013 juga ditandai buku (Beyond Borders). Seperti yang saya tulis di twitter, ini adalah salah satu alasan lain untuk tetap menulis buku. Perlahan-lahan, Gedung Y3A itu menjadi sepi dan saya memutuskan untuk makan siang di salah satu pusat makanan di dekat Macquarie Universty. Hadir dalam rombongan itu adalah Lely, Adit, Agus, dan Linggar (sahabat lama). Tadinya ada mbak Ade tetapi sudah pulang dan tidak ikut bergabung. Makanan Jepang yang saya pilih istimewa sekali dan akhirnya habis juga meskipun porsinya besar. Selespas itu saya kembali mendapati diri di Macquarie Unniversity Train Station yang siap-siap membawa saya ke Central Station Sydney. Dalam beberapa detik kemudian saya sudah termangu-mangu menuju Central. Dalam ketermenungan itu, di kepala saya berkecamuk berbagai perihal. Salah satunya adalah yang disampaikan Marty bahwa meskipun gelar itu diberikan kepadanya sebagai individu, anugerah itu sesungguhnya adalah sebentuk pengakuan dan terutama kepercayaan Australia terhadap Bangsa Indonesia. Semoga demikian.

Negotiation?

Catatan:
Tulisan ini adalah pemahaman dan ekspresi personal dan subyektif saya, I Made Andi Arsana, setelah mengikuti acara Penganugerahan Doktor Honoris Kausa untuk Dr. Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia oleh Macquarie University tanggal 15 Juli 2013. Jika ada hal dalam tulisan ini yang tidak mencerminkan kejadian atau fakta sebenarnya, itu adalah kesalahan saya pribadi dan mohon kesediaan pembaca untuk menyampaikan koreksi melalui email: madeandi@ugm.ac.id.

Filed under: Australia, Batas Maritim, Beasiswa ADS, Beasiswa Luar Negeri, Geodesi UGM, Leadership, Menulis, Renungan, Speech Tagged: macquarie university sydney, marty natalegawa

Show more