Hola semua, selamat hari Senin!
Tujuh hari dari sekarang, gue sudah akan berada di luar negeri. Wah, lunegnya di mana, tuh? Let me give you a hint:
It has a new president, and the new president is an annoying orange Cheeto.
Udah langsung tau lah, ya!
Walaupun dia bukan presiden gue, the Cheeto gives me so much pre-departure anxiety. Soalnya, walaupun President Trump belum membuat kebijakan yang fatal banget, tapi gue perhatikan, tindak-tanduknya sejauh ini memicu jiwa-jiwa rasis dalam diri sebagian warga Amerika Serikat.
Udah baca berita ini?
Ibaratnya, gini.
Dulu, sebelum musim Pilkada DKI 2017, keluarga besar gue sama sekali nggak pernah menjelek-jelekkan WNI keturunan Cina, karena emang nggak ada urusan juga. Tapi semenjak muncul isu penistaan agama oleh Ahok, beberapa anggota keluarga gue yang anti-Ahok jadi sering kirim-kirim hateful messages di chat group, yang isinya seputar menjelekkan Cina.
Padahal Ahoknya sendiri ‘kan nggak pernah menjelek-jelekkan pribumi. Sayangnya isu ini jadi melebar, dan jiwa-jiwa rasis para pribumi terhadap WNI keturunan Cina jadi mencuat.
Sama halnya di Amerika Serikat. Karena “didorong” oleh Trump secara implisit, gue merasa jiwa rasis sebagian warga kulit putih Amerika Serikat jadi mencuat.
Things are going backwards.
Gue jadi cemas, dong, mau menginjakkan kaki di AS. Gue hampir pengsan, deh, pas bulan lalu Trump ngeluarin keppres travel ban terhadap tujuh negara Islam. Walaupun Indonesia nggak termasuk, tapi gue khawatir travel ban tersebut jadi mempengaruhi sikap sebagian warga AS terhadap orang Islam.
Apalagi gue akan mengunjungi dua kota di dua Southern states, yang tentunya Republican banget, dan katanya (katanya, ya) cukup rasis. Gue berusahaaaa banget nggak su’udzon atau prejudice terhadap orang-orang di negara bagian yang akan gue kunjungi tersebut, karena kalau gue begitu, gue sama aja rasisnya, dong? Tapi perasaan takut tetap ada.
Takut apaan, sih, La? InsyaAllah, gue nggak akan kena hate crime yang bahaya banget. Misalnya, digebukin atau ditodong (naudzubillahimindzalik! Gue bawa Raya, nih!). I still have faith. Tapi gue takut dapat “perlakuan nggak enak” kecil-kecilan, walaupun cuma sekali. Misalnya, dikasih jari tengah, dikasih kata-kata yang nggak enak di publik, disenggol/didorong, atau sekedar mendapat diskriminasi pelayanan di toko, hotel, tempat wisata, atau manapun. Hastagah, jiwa Indonesia gue yang lembek ini pasti langsung melempem. Nangis, nangis deh :(
Sialnya, gue pertama kali nonton berita soal pengeluaran travel ban-nya Trump di depan Raya. Gue kelepasan panik dan marah-marah. Akibatnya, Raya jadi penasaran dan kepikiran. Mau nggak mau, gue coba jelasin sesederhana dan selogis mungkin, siapa itu Presiden Trump, apa itu travel ban, dan kenapa banyak orang menganggap Trump bukan presiden yang baik. Beraaaat...
Alhasil, sampai sekarang, selalu muncul percakapan ini dari Raya,
R: "Tapi Bu, kalo di Amerika nanti kita nggak boleh masuk sama Presiden Tram, gimana? Kalo kita ditangkep gimana?!"
L: "Mmmm.... (galau, karena gue nggak mau janjiin hal-hal yang nggak bisa gue janjiin)... makanya Raya berdoa, ya. Semoga bisa, dan Raya nggak kenapa-napa."
R: "Presiden Tram jahat, ya?"
L: "Mmmm... (again, tricky!)... nggak, kok. Cuma galak aja. Sekarang juga udah lumayan nggak galak, kok."
R: "Dulu galak kayak Shere Khan, tapi sekarang galaknya kayak Chief Bogo aja?"
L: "............... Iya." (iyain aja, shay)
R: "Kenapa waktu itu banyak boneka kepala Presiden Tram? Dan kenapa orang pada marah?"
Deeeym, dese ingat adegan di berita yang kita tonton, dimana banyak orang berdemo sambil bawa boneka Trump.
L: "Raya kalo kesel 'kan kadang pengen pukul-pukul. Bener nggak? Ibu bilang, Raya pukul boneka aja. Jangan pukul Ibu. Orang-orang itu juga kesel sama Presiden Trump, jadi mereka bikin boneka Trump... untuk dipukulin..."
NGARANG BEBAS! Auk, ah.
Trus, udah baca artikel di A Cup of Jo yang ini? Walaupun ini artikel beauty, kutipan Afzaa tentang hidup berhijab di US bikin keder ugha :(
Semenjak Trump jadi presiden, gue baca, banyak wanita Muslim taat di Amerika Serikat sampai berdiskusi dengan keluarga mereka, “Apakah lebih baik saya lepas hijab?”
Hal ini pun sempat gue pertimbangkan, untuk saat gue mengunjungi Southern states nanti. Gue ngobrol sama teman-teman sesama hijabers dan mereka kasih banyak solusi alternatif, MasyaAllah, termasuk kasih rekomendasi bandana sport yang bisa jadi turban ala-ala, hihihi (gue tetep nggak suka sih! Modelnya kurcoks :D)
Memang nggak enak, nggak bisa bebas menunjukkan “identitas” diri di publik kayak gini.
Tapi di sisi lain, menurut gue, pengalaman sejenis ini perlu dialami oleh semua orang, supaya kita lebih humbled, termasuk kita-kita warga Muslim pribumi di Indonesia. Seumur-umur 'kan kita hidup sebagai kaum mayoritas dengan nikmat. Kalau kita pernah ngerasain jadi minoritas dengan bumbu ketegangan, mata kita pasti akan terbuka.
It pains me that racism is very much alive, in these modern days. Kita-kita warga mayoritas yang biasa hidup enak di dalam bubble mungkin merasa, rasisme atau ketidakadilan SARA, tuh, cuma ada di era perbudakan jaman dulu, atau di film-film. Ternyata nggak. Fenomena Trump dan Pilkada DKI menyadarkan gue terhadap hal tersebut. Mungkin makanya, belakangan gue ngangkat topik ini terus.
Video tentang bagaimana para orangtua kulit hitam di Amerika Serikat mengajarkan anak-anaknya cara berhadapan dengan polisi. Gara-gara sebagian polisi Amerika yang rasis, kaum kulit hitam nggak (selalu) mengidentikkan polisi sebagai pelindung atau penegak keadilan. My heart broke in pieces.
(images: Ana Gambuto for A Cup of Jo)