2015-02-09

I love amusement parks. Bagi yang sempet baca tulisan-tulisan gue seperti ini, ini, ini dan baca blog gue yang ini, mungkin udah tau, segimana cintanya gue terhadap taman bermain. Sampe sekarang, taman bermain alias amusement parks tetap menjadi tujuan rekreasi utama gue, termasuk saat berekreasi bareng si bocah.

Sebagai warga Jakarta, taman bermain apa, sih, yang menjadi andalan gue? Dunia Fantasi, dong.







Pertanyaan selanjutnya, emang balita kayak Raya udah cocok dibawa ke Dufan?

Gue malah berkesimpulan, umur Raya adalah umur emas untuk main ke Dufan. Soalnya, dia udah bisa menikmati banyak hal disana… tanpa harus bayar! Anak-anak wajib beli tiket kalo udah mencapai tinggi badan 100cm. Sampe sekarang, Raya belum sampe 100cm, jadi Alhamdulillah ya, naaak… *balik selipin duit di beha*

Berikut adalah berbagai atraksi Dufan yang udah diicip Raya, sebagai balita dibawah 100cm:

Turangga-Rangga

a.k.a. karousel a.k.a merry-go-round a.k.a. kuda-kudaan. Tanpa perlu dijelasin panjang lebar, pasti pada setuju, yaaa, bahwa ini adalah wahana klasik yang aman untuk segala usia.

Sebelum nyobain Turangga-Rangga, Raya pernahnya naik karousel yang berukuran kecil—di Jungleland, Universal Studios Singapore, sampe area bermain di mall-mall—dan naik kudanya kudu masing-masing, nggak bisa boncengan. Nah, Raya suka tegang kalo musti duduk sendiri gitu.

Karena Turangga-Rangga lebih besar, kita bisa boncengan, deh. Hore!

Bianglala

Bianglala, seperti ferris wheels besar lainnya, adalah wahana melankolis nan damai… dengan catatan, kalo yang naik nggak takut ketinggian dan/atau suka heboh sendiri. Ngeri, booo, kalo gondolanya goyang-goyang pas lagi berada di puncak tertinggi! Mau selfie juga jadi gemeter #faktorusia

Gajah Beledug

Raya’s favorite ride ever! But, man, you can really feel how ancient this ride is. Gerakan naik-turunnya udah nggak mulus, bikin kebat-kebit. But everything works just fine, sih, and it’s still a fun ride!

Mukeee...

Istana Boneka

Wahana favorit Raya nomer dua setelah Gajah Beledug.

Raya belum paham dengan berbagai propinsi dan negara yang ditampilkan, tapi dia tetep girang ngeliat boneka-boneka binatang yang ada di Istabon ini.

Pada kunjungan kami di Desember 2014, gue baru tau bahwa Istana Boneka udah di-refurbish. Nggak ada perubahan yang drastis pada interiornya, tapi tetep kerasa perbedaan pada layout-nya. Urutan propinsi dan negaranya juga ada yang berubah (apal banget, Bu?). Tapi secara keseluruhan, Istabon jadi lebih bersih dan rapih. Good job!

Perubahan yang drastis, tuh, tampak pada kostum boneka-boneka yang mejeng di awal dan akhir wahana. MERIAH GELAK! Kayak perpaduan kostum Mardi Gras, Jember Fashion Festival, dan pertunjukkan drag queen. Gaspol, nek! Biar kerasa ngejedar di awal dan akhir wahana kali, ya.

But I like it!

National costumes on steroid!

Sampe sekarang, Istana Boneka masih kerasa sebagai wahana Dufan yang paling legendaris, klasik, and still going strong. Siapa, sih, yang nggak punya kenangan pacaran jaman karya wisata sekolah di Istabon? Zzzz.

Rumah Miring

Satu hal yang bikin gue syok dan sedih adalah… sekarang gue mual kalo menyusuri Rumah Miring!

Astagaaa! Ini ‘kan atraksi walkthrough yang nggak ada apa-apanya. Jaman muda, gue bisa jumpalitan di dalam Rumah Miring ini, foto-foto ala video klip Smooth Criminal-nya Michael Jackson. Sekarang, kok, jalan normal aja akika mual T___T Pusing-pusing nggak stabil gitu, lho. Bener-bener, ya, penuaan memang nggak bisa dilawan.

Raya also seemed unimpressed, tapi wahana ini tergolong aman buat toddler.

Petualangan Kalila

Dulu, sewaktu Dufan mengumumkan bahwa mereka akan membongkar Balada Kera, gue rasanya pengen tebalikin meja sambil teriak TIDAAAAAAAKKK!

How could they?! Balada Kera is an absolute classic dan menurut gue, lagu-lagu daerah (harusnya) akan terus hidup selama puluhan generasi ke bawah, kok.

Well, gue nggak tau, sih, apakah lagu-lagu daerah kayak Surilam Jot-Njotan atau Saputangan Babuncu Ampat masih diajarin ke anak-anak SD, di tengah semaraknya sekolah-sekolah International Baccalaureate, Cambridge, dan National Plus sekarang ini, tapi menurut gue adalah KEJAHATAN kalo enggak! *gebrak meja* *kirim Raya ke SD negeri*

Gue paham kalo Dufan pengen ‘meremajakan’ diri. Mengubah Balada Kera menjadi sebuah atraksi baru yang lebih ‘modern’ adalah salah satu caranya. Masalahnyaaa…

1. Balada Kera, tuh, udah bagus. Konsep, dekor, aransemen lagu-lagu serta animatroniknya ciamik, ah. Gue terakhir kali nonton Balada Kera sekitar taun 2010 dan masih suka. Nggak berasa kuno atau out-of-date. Gue lebih setuju kalo Balada Kera di-refurbish aja, kayak Istana Boneka, bukannya diganti total.

2. Petualangan Kalila—atraksi pengganti Balada Kera—belum bisa menandingi Balada Kera dalam banyak hal. Jalan cerita, animasi, dan animatroniknya lemah, sehingga secara keseluruhan, Petualangan Kalila masih kalah sama Balada Kera. Padahal ini teknologi tahun 2000an vs teknologi tahun 1980an, lho. This proves that SOUL is just as important as technology and/or modernity.

Kayaknya gue subjektif ya, berhubung gue adalah anak orde lama dan memang tumbuh dengan Balada Kera, jadi penilaian gue kecampur sama unsur nostalgia. Raya, sih, kalem aja nonton Petualangan Kalila. Memang, jalan ceritanya gampang diikuti anak-anak, apalagi animatroniknya terdiri dan hewan-hewan yang emang udah akrab dengan toddler (harimau, buaya, kancil, dll).

But did the overall audience enjoy the show? Biasa aja.

Intinya, I didn’t think Balada Kera was ‘broken’, so why changed it?

Hello Kitty Adventure

Nah, ini dia wahana terbaru Dufan. Sebenernya, Hello Kitty Adventure ini lebih cocok disebut eksebisi dibandingkan wahana. Pengunjung cuma dibawa masuk ke sebuah teater / bioskop kecil, nonton film singkat tentang Hello Kitty and friends keliling dunia, kemudian pengunjung digiring ke sebuah ruangan dimana mereka bisa foto-foto bareng berbagai patung tokoh Sanrio. Udah, gitu doang.

Sempet dateng ke Doraemon 100 Gadget Expo di Ancol Beach City? Nah, mirip begitu, lah.

It’s not much of a ride, but a whole lot of cuteness. Buat yang suka foto lucu-lucuan dan suka Hello Kitty, cucok lah.

Singkat kata, bayi aja bisa menikmati area Hello Kitty ini, apalagi balita.

Parade dan Show

Semua taman bermain di dunia, tuh, pasti punya parade dan live shows. Sama halnya dengan Dufan.

Kalo untuk pertunjukkan musik dan tarinya yang kecil-kecil, gue nggak apal, dalam sehari ada berapa jenis, keluarnya jam berapa, dan lokasinya dimana aja.

Tapi untuk parade, gue inget mereka tampil setiap jam empat sore setiap weekend, mengelilingi Dufan mulai dari area gerbang masuk.

My recommendation? Go see it. Beneran, deh. Gue, sih, sukaaa, terutama paradenya. Sangat menghibur, lho, mulai dari marching band-nya sampe bagian nari-narinya. Ditambah, setiap unsur dari parade ini disajikan dengan niat—kostum, tarian, sampe permainan musiknya. Para anggota parade pun hobi menyapa pengunjung dengan ramah.

Do watch it, dan jangan lupa hargain performer-nya, yaaa. Disenyumin, ditepokin, atau mau dijogedin dikit, boleh banget #teamperformer

Jadi itulah berbagai wahana dan atraksi yang sukses dicoba Raya, yang berarti aman juga untuk toddler pada umumnya. Kayaknya masih ada beberapa wahana atau atraksi lain yang bisa dinikmati bocah-bocah, sih. I’m thinking… Lorong Sesat a.k.a Rumah Kaca? Treasureland Temple of Fires? Perang Bintang?

Trus, ya. Misalnya pun anak gue masih terlalu kecil dan nggak bisa naik apa-apa di Dufan, kayaknya gue bakal tetep bawa main kesana, deh. Pertama, karena toh gratis? Kedua, because amusement parks are wonderful playgrounds for kids. Tanpa naik wahana satupun, gue yakin anak-anak tetep seneng lari-larian, liat berbagai stimulasi warna, suara, dan menyerap happy vibes dari orang-orang lain.

Kebahagiaan anak main di taman bermain nggak diukur dari banyaknya wahana yang dinaikin, lho. Kadang main gelembung sabun aja hepi, ya nggak sih?

***

Random Tips

1. Dalam memori gue, main ke Dufan saat akhir pekan, tuh, neraka banget penuhnya. Tapi ternyata itu DULU. Sekarang, saat weekend pun, Dufan relatif sepi, lho! Gue dua kali berturut-turut main ke Dufan di hari Minggu siang, dan crowd-nya bearable banget. Meskipun begitu, kalo mau dapet suasana paling lengang di akhir pekan, hindari jam 12 siang – 3 sore.

2. Di Dufan ada babyroom untuk menyusui dan ganti popok, kok. Cuma gue nggak tau ada dimana aja, karena gue cuma nyobain satu, yang berlokasi di dekat pintu masuk area Ice Age Arctic Adventure, sebelahnya Bakso Afung.

3. Sepengalaman gue, tempat makan yang paling nyaman di Dufan adalah foodcourt di area Ice Age. Tempatnya full indoor dan full AC, bersih, pilihan makanannya enak-enak, pleus bisa nontonin orang teriak-teriak di wahana Ice Age, hihihi.

Sayang, mereka nggak terima kartu kredit dan debit selain Mandiri.

4. Kalo bawa stroller, kita bisa parkir stroller di deket antrian masing-masing wahana sebelum naik. Taro aja di deket penjaga / operator wahana, dan bawa barang-barang berharga. Aman dan udah lazim, kok.

***

Dufan’s Random Trivia

1. Yang menamai wahana-wahana Dufan adalah penulis Arswendo Atmowiloto, dan menurut gue beliau sukses menamai wahana-wahana Dufan dengan catchy tapi tetep 'Indonesia' banget. Contoh, Turangga artinya 'kuda' dalam bahasa Jawa. Trus, Baku Toki artinya 'saling hantam' dalam bahasa Manado, sehingga dijadikan nama wahana bumper cars alias bombom car. Ih, kok seruuu...

Dan kalo gue perhatikan, semua nama wahana original Dufan mengandung unsur pengulangan kata: Turangga-Rangga, Alap-Alap, Ontang Anting, Bianglala, Halilintar, Undur-Undur. Niagara-Gara Ubanga Banga. Catchy and poetic, aku suka!

2. Dufan nyontek Disneyland? Emang iyaaa. Urban legend-nya, nih, dulu Ciputra pengen buka Disneyland di Indonesia. Walaupun pada tahun 1980an perekonomian kita lagi stabil dibawah Presiden Soeharto, pihak Disney tetep nggak ngasih ijin. Namapun Indonesia masih negara dunia ketiga, ya, dan Disney punya standar minimal untuk harga tiket. Daya beli warga kita dinilai belum nyampe.

Akhirnya, Ciputra ngirim timnya ke Disneyland Amerika selama sebulan untuk “nyontek” abis-abisan. Hasilnya…

Istana Boneka = It’s A Small World
Balada Kera = Country Bear Jamboree
Puri Misteri = Haunted Mansion
Gajah Beledug = Dumbo the Flying Elephant
Perang Bintang = perpaduan Star Tours / Buzz Lightyear's Space Ranger Spin / MIB (dari Universal Studios)
… dan sebagainya

Di luar wahana-wahana yang “nyontek”, wahana Dufan yang lain “dibeli jadi” off the rack dari para produsen wahana di Jerman dan Italia, sama seperti amusement parks lain di dunia. Contoh: Kora-Kora, berbagai roller coasters-nya Dufan, Bianglala, Tornado, Histeria, de el el.

But then again, puluhan amusement park lain di dunia juga nyontek Disneyland, jadi yaaa… praktek ini normal aja kayaknya?

Oya, apa, sih, perbedaan istilah amusement park dan theme park? Amusement park adalah taman hiburan generik, tanpa tema. Contohnya: pasar malem, Taman Ria Senayan jaman dulu, Jungleland. Theme park adalah taman hiburan yang mempunyai tematik kuat. Contoh: semua taman bermain keluaran Disney, Universal Studios, Efteling, dan sebagainya.

Kita mungkin menganggap Dufan adalah amusement park, tapi sebenernya konsep awalnya adalah theme park. Sayang aja, ‘tematik’nya kurang terjaga. Perhatiin, deh, Dufan terbagi menjadi kawasan-kawasan bertema Asia, Amerika, Fantasi Hikayat, Jakarta, Eropa, dan sebagainya.

Contoh!

Asia: areanya Kora-Kora, Bianglala, dan sekitarnya. Perhatikan unsur warna merah, lampion, ukir-ukiran pagoda di tempat antrian wahana,

Amerika: area koboi-koboian yang menaungi Niagara-Gara, Rumah Kaca, Rumah Miring, dan sebagainya.

Fantasi Hikayat: areanya Halilintar, Ontang-Anting, simulator, dan sebagainya. Perhatikan dominasi warna putih, patung-patung dewa Yunani yang bertebaran, dan facade berbentuk Sphinx segede bagong.

Makin kesini, tematiknya Dufan makin susah dijaga. Contoh, di kawasan Asia, kok ujug-ujug dibangun wahana Ice Age Arctic Adventure? Nggak nyambung sama tema Asia-nya dong? Emberan. Tapi mungkin lahan yang tersedia untuk membangun wahana Ice Age cuma ada disitu, mau gimana, dong?

Begitulah.

***

Why Dufan Stays in My Heart

Waktu gue masih kerja untuk sebuah perusahaan taman bermain lokal, gue sempet pergi business trip ke Amerika untuk mengunjungi IAAPA, trade show tahunan terbesar untuk industri amusement park.

Disana gue ketemu para bapak-bapak dedengkot Jaya Group, pengelola Taman Impian Jaya Ancol, yang memang rutin datang ke IAAPA. Lucunya, karakteristik mereka sama semua—udah sepuh dan berambut putih, menyenangkan, hangat, dan punya aura kebijaksanaan serta wawasan seseorang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. You know, the wise, pleasant grandpa vibe. Semua tampak gagah dengan longcoat dan topi ala Frank Sinatra masing-masing.

That is how I think of Dufan: old, wise, nostalgic, and always pleasant.

Di tengah maraknya kemunculan berbagai taman hiburan di Indonesia, gue tetep sayang Dufan, karena Dufan punya satu keunggulan yang nggak dimiliki oleh tempat hiburan lain di Indonesia: nostalgia.

Dufan adalah taman bermain pertama di Indonesia, dan dia telah menjadi ikon hiburan jutaan warga negeri ini selama puluhan taun. Kalo lo ke luar negeri, trus ketemu sama anak rantau dari Jakarta, coba perdengarkan theme song Dufan atau Istana Boneka. Pasti matanya berkaca-kaca, kangen masa kecil dan kampung halaman.

Nah, rasa nostalgia ini nggak dimiliki oleh tempat hiburan lain di Indonesia. Rasa ‘nostalgia’ ini, mahal, lho. Nggak bisa dibeli. Dan pastinya, unsur ini yang bikin Dufan akan selalu ada di hati warga Indonesia. Aih, matiiik.

Show more