2014-09-17

Kadang wanita tidak menyadari betapa beruntungnya menjadi seorang perempuan. Yang banyak kita dengar dan baca dan lihat, bahwa banyak wanita baik itu tua ataupun muda merasa hidup ini penuh dilema dan perjuangan yang tiada habisnya.

Itu tidak salah, tetapi tidak 100% benar. Karena menjadi perempuan memiliki banyak keuntungan tersendiri yang jauh berbeda dibandingkan menjadi laki-laki. Ini bukanlah tulisan sebagai feminis, tetapi lebih kepada mensyukuri keberadaan kita yang dilahirkan menjadi seorang perempuan, yang hidup sebagai orang asia dan di tengah-tengah peradaban yang kadang tidak menentu arah perkembangannya.

Tentu saja dalam kehidupan terjadi banyak masalah, tetapi kita pun tau banyak cara untuk mengatasinya, sebagaimana hal yang kita selalu dengar dari orang tua, pembicara-pembicara khusus wanita, dan ahli-ahli lainnya.

Kenapa hal ini menjadi tulisan saya, bukan berarti saya sok tahu mengenai urusan para wanita sedunia, tetapi dari jumlah yang kecil itu selalu dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai seorang wanita yang lahir dari keluarga berkecukupan, kemudian mengalami badai di keluarga, dipulihkan dan kini menjadi seorang yang saya bisa katakana, sangat bersyukur dengan keberadaan saya. Terlepas dari segala urusan financial yang selalu mengitari segala aspek kehidupan kita sebagai manusia. SAYA BERSYUKUR DILAHIRKAN MENJADI WANITA di era metropolitan ini.

KENAPA ?

Ditilik dari kehidupan pribadi saya, sebagai seorang Tour Leader Group Ziarah ke Tanah  Perjanjian, memiliki bisnis kecil-kecilan sendiri, tetapi bukan ukuran seorang perempuan yang berhasil apabila dinilai dari usia yang tahun ini menginjak usia 37 tahun, belum menikah dan baru saja mengalami patah hati karena ditinggal calon suami. Apabila saya seorang yang menilai kehidupan berkeluarga harus menjadi acuan kesuksesan saya menjadi seorang perempuan, maka tentunya itu suatu kegagalan.

Tetapi tidak salah dengan pepatah yang mengatakan “Banyak jalan menuju Roma”, dalam hal ini, ditengah kesedihan yang melanda hati, pikiran dan perasaan dan tentunay sebagai orang asia timur rasa malu karena beberapa teman dekat sudah mengetahui rencana pernikahan ini, apabila kita sebagai seorang perempuan tidak KUAT mental, tentunya akan jatuh terpuruk dan dapat merubah kepribadian kita juga dari seorang yang ceria menjadi seorang pemurung.

Puji Tuhan, hal itu hanya menyentuh permukaan saya saja. Sebagai manusia normal merasakan kegalauan, tetapi karena dukungan keluarga dan teman-teman tentunya membangkitkan semangat hidup karena saya tidak dalam usia muda untuk hal perjodohan.

Blessings in disquise adalah pepatah yang sangat saya gemari. Karena bersyukur bahwa saya memiliki jaringan pertemanan yang sangat luas, dikarenakan pekerjaan saya, hubungan bisnis yang menjadi hubungan pertemenan bahkan kekeluargaan dimanapun saya berada, dan karena saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk ke daerah Timur Tengah dan Asia jauh dengan group-group ziarah ini, sehingga teman-teman saya pun ingin melihat saya bahagia.

Dalam kesedihan yang dalam itu, teman-teman saya di Palestina mengetahui kejadian ini, mereka pun memberikan saya hadiah tiket pulang-pergi Jakarta-Amman-Jakarta. Kemudian dengan bantuan teman-teman di Israel dengan mudah saya mendapatkan visa kunjungan dalam waktu sangat cepat. Ini adalah anugerah, yang hikmahnya adalah, bahwa Tuhan ingin menyenangkan anakNya dan bersyukur kepadaNya. Kadang pertolongan atau hadiah atau kesempatan itu datang dari orang yang tidak kita sangka-sangka. Semua itu karena digerakkan oleh Tuhan, dan tentunya juga kembali kepada diri kita masing-masing, apa yang kita buat baik dan berbuah baik.

PETUALANGAN MULAI

Maka pada tanggal 8 Juli 2010 pukul 10 malam, saya melaju ke Airport Soekarno Hatta, untuk terbang ke Amman (Jordan) melalui Doha (Qatar), karena penerbangan jam 0100 tanggal 9 Juli 2010. Apa yang menjadi kehendakNya pasti akan lancar. Pesawat malam ini fully booked, benar-benar penuh karena selain musim libur, banyak juga group-group tour maupun orang asing yang kembali pulang ke negaranya masing-masing di bulan liburan ini.

Lagi-lagi Tuhan beracara, setelah mendapat service yang baik ketika check in pesawat, walau jumlah miles keanggotaan saya belum memadai, saya difasilitasi mendapat posisi Standby Upgrade dari kelas ekonomi ke kelas Bisnis tanpa bayar. Senang? Tentu saja, walau dengna catatan, masih dalam posisi Standby hingga panggilan untuk masuk pesawat. Karena seorang diri saya juga memilih untuk mendapat kursi di jalur pinggir (aisle), untuk memudahkan saya apabila perlu ke toilet lebih sering. Karena ini penerbangan sedang 8 jam non-stop. Setelah menunggu dengan sabar, ternyata Tuhan memberikan jawaban tepat pada waktunya, saya mendapatkan upgrade ke kelas bisnis di Qatar Airways QR671 Oryx Class kursi 3J (aisle). Tentunya saya sudah melonjak kegirangan, karena pertama tiket pp hadiah, berangkat dengan kelas bisnis pula. Sungguh senang menjadi diri saya dan seorang perempuan.

Tidak disangka pula, teman duduk saya adalah seorang bisnis man dari Swedia yang apabila tidak mengenalkan dirinya terlebih dahulu, selama 8 jam penerbangan tersebut, saya bisa saja tidak berbicara dengannya. Karena ajaran dari kecil untuk tidak berbicara dengan orang sembarangan, terlebih karena posisi saya jauh dari rumah dan menuju Timur Tengah.

Sebagai perempuan Indonesia, untuk bepergian seorang diri ke daerah Timur Tengah untuk menghabiskan liburan dengan teman-teman di Tanah Perjanjian bisa dihitung dengan jari. Dan kini saya sedang berada di Doha International Airport di Negara Qatar untuk menunggu penerbangan selanjutnya menuju Amman di Jordania. Sebagai tambahan, dalam perjalanan sendiri ini terasa sekali serangan rasa kantuk dan bosan karena tiada teman bicara, tawa canda. Tetapi selama menunggu ini, maskapai ini tidak melupakan voucher makanan bagi yang menunggu lebih dari 3 jam, sehingga perut pun diperhatikan. Cukup intermezzo untuk membuang kejenuhan karena transit di airport seorang diri.

JORDANIA, AMMAN 9 JULI 2010

Tiba di Amman di Airport Queen Aliyah International Airport tepat pukul 1535. Penerbangan yang tepat waktu dan service di dalam pesawat yang sangat baik, apalagi selama 3 jam perjalanan tersebut saya bisa menonton film apa saja yang saya suka, karena system private video untuk setiap seat.

Karena visa Jordan sudah saya apply dari Jakarta dan berlaku dalam masa 6 bulan Multiple Entry, maka tidak perlu bersusah payah, langsung antri di loket imigrasi dan setelah selesai turun untuk mengambil bagasi. Disini saya dijemput oleh rekan kerja yang juga sahabat di Jordan, Ramez Marji. Karena ini perjalanan pribadi tanpa group tour, maka saya langsung dibawa berjalan-jalan sore di kota Amman, walaupun waktu sudah menunjukkan jam 430 sore, tetapi karena musim panas, maka cuaca masih terik dan matahari sangat terang. Kami menuju Amman Citadel, ternyata sedang banyak polisi berjaga-jaga, kita berpikir ada tamu VIP, ternyata mala mini akan diadakan konser oleh Il Divo dari Italia. Wah, sayangnya acara saya cukup padat, sehingga walau ingin menyaksikan konser yang digelar di bekas reruntuhan jaman romawi, tapi tidak menjadi pilihan, karena waktu satu malam di kota Amman ini perlu saya manfaatkan sebaik-baiknya sesuai tujuan semula. Untuk melihat beberapa situs di kota Amman yang jarang dikunjungi oleh turis dari Indonesia.

Saya dibawa ke reruntuhan istana jaman Romawi di area lembah bernama Iraq al Amir, daerah pedesaan dan di lembah ini banyak dipakai oleh keluarga-keluarga pedesaan di Jordan untuk piknik dan makan malam barbeque. Yang mana malam ini juga kami akan melakukannya.

Bila saya kembali ke sejarah daerah ini, lembah Jordan ini merupakan salah satu daerah yang sempat dihuni oleh bani Israel sebelum mereka keluar dan menuju Tanah Perjanjian, sembari Nabi Musa mengawasi pergerakan mereka dari atas Gunung Nebo. Ternyata saya menjejakkan kaki di area kuno yang tentunya jarang group tour biasa kunjungi.

Area lembah tempat orang-orang piknik barbeque ini cukup ramai oleh keluarga-keluarga dan banyak anak-anak bermain dekat kanal air di lembah Jordan ini. Sehingga kita memutuskan untuk naik ke atas bukit, yang tentunya tidak terlalu mudah dicapai oleh anak-anak kecil itu. Kami makan malam barbeque, dan hari masih cukup terang, sehingga saya pikir belum terlalu malam, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 830, baru matahari terbenam dan mulai gelap.

Kami selesaikan dan beberes lalu kembali menuju kota Amman. Tapi hari tidak berhenti hanya disitu, setelah saya check ini di hotel tengah kota yang saya pilih untuk perjalanan pribadi kali ini, setelah menyegarkan diri, kami lanjutkan untuk mencari kedai es krim di kota Amman. Pilihan jatuh ke kedai es krim Gusti, es krim italia, yang cukup ramai.  Ternyata orang Amman juga senang menghabiskan waktu malam di akhir minggu ini bersama anak-anak, kekasih maupun teman-teman mereka di kedai es krim. Bahkan saya juga melihat mobil plat dari Syria pun parkir untuk menikmati es krim dari kedai ini. Malam yang cukup berbeda dan menyenangkan.

Karena esok harus pagi-pagi untuk menuju  perbatasan Jordania – Israel di perbatasan Allenby, maka setelah lewat jam 1 malam, saya diantar ke hotel untuk beristirahat.

JORDANIA, AMMAN 10 JULI 2010

Pagi ini setelah sarapan jam 8 pagi, jam 830 saya diantar menuju perbatasan Jordania – Israel di perbatasan King Hussein-Allenby Bridge untuk cek paspor dan naik shuttle bus ke Negara Israel.

Ada dua counter imigrasi yang berbeda, yang dekat dengan parkir bus adalah untuk orang-orang Palestina, sementara untuk orang Negara lain seperti Asia, Eropa, Amerika di sebelah yang lainnya dekat dengan toko Duty Free. Setelah mengantri dan menunggu petugas yang kadang sangat lamban, baru kita diinformasikan bahwa paspor akan diberikan nanti pada saat kita sudah berada di dalam shuttle bus.

Sayangnya bus yang sudah lama parkir sudah terisi penuh, sehingga saya harus menunggu bus yang berikutnya, ternyata lebih dari 10 menit menunggu, walaupun banyak shuttle bus perbatasan yang lalu lalang tidak kunjung parkir di tempat saya menunggu  bersama beberapa turis asing lainnya. Kadang ada kemungkinan bisa bertemu rombongan Indonesia yang akan masuk atau keluar imigrasi ini, tetapi hari ini tiada satupun orang Indonesia kecuali saya. Bila saya pikirkan lagi, perjalanan yang saya lakukan ini harus benar-benar siap mental dan bahasa pun berperan penting, setidaknya bahasa inggris wajib kita kuasai. Karena bagaimanapun juga, saya melakukan perjalanan sendirian di area Timur Tengah, daerah Arabia.

Walaupun sudah sering melakukan hal ini bersama Group Tour, ini adalah kali yang ke 28, tetap saja kadang debaran jantung di dada ini masih terasa kencang, karena perbatasan itu tidak dapat diduga. Nyaris 1 jam 30 menit menunggu shuttle bus, sejak jam 9 pagi, baru bisa masuk dalam bus pada pukul 1130 siang. Lalu bus pun berjalan menuju perbatasan, setelah membayar biaya bus dan jumlah kopor yang dibawa + JD 7 + JD 0.25. Itupun setelah mendekati pintu perbatasan Israel dan setelah melalui pengecekan paspor pertama, penumpang harus turun satu persatu dan menunjukkan paspor dan wajah kita, lalu setelah bus di cek baru boleh kembali masuk ke bus. Di pintu kedua sebelum masuk gedung Imigrasi, ternyata kami harus menunggu aba-aba dari pihak Israel kapan bus kami boleh masuk.

ISRAEL, ALLENBY BRIDGE, 10 JULI 2010

Ada nyaris 1 jam di dalam bus, menunggu setiap tanda yang akan di berikan oleh pos jaga Israel. Akhirnya bus kami pun boleh masuk gedung Imigrasi, setelah aba-aba dari Security Israel, kami boleh turun dan mengambil kopor kami masing-masing. Dan proses antrian pun kembali dilakukan, karena sekarang saya sudah mulai mengantri di loket pemeriksaan paspor di Israel. Paspor dan kertas visa saya persiapkan, setelah ditilik dan ditempeli stiker oleh mereka, saya kembali mengantri ke area check kedua, scan tas tangan, karena koper besar sudah masuk lebih dulu ke bagian penerimaan dan pemeriksaan yang lain. Setelah lewat mesin scan, mulai mengantri untuk mendapat ijin cap visa masuk Israel. Disini tidak pernah dapat ditebak cepat atau lambat. Terlebih karena hari ini imigrasi Allenby sangat penuh orang-orang Palestina yang pulang melalui Jordan. Dan saya tidak melihat satu pun group Indonesia.

Tidak mudah untuk masuk Negara ini, dan di perbatasan mereka juga tidak berusaha untuk bersikap manis, karena semua dalam posisi siaga setiap detiknya. Antrian panjang pun harus dilalui, dan akhirnya giliran saya untuk memberikan paspor dan kertas visa saya untuk di cek dan sekaligus menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan secara jelas dan tidak grogi. Setelah pemeriksaan sekitar 10 menit, saya diminta menunggu panggilan dari tentara imigrasi. Pernah  saya menunggu seperti ini nyaris lebih dari 2 jam, tetapi Tuhan maha baik, saya menunggu dari jam 1330 dan berharap saya akan berada disini tidak lebih dari jam 2 karena terus terang, siang ini saya belum makan siang, dan mulai lapar dan terasa sedikit lemas, hanya ditemani sebungkus cemilan pretzel yang diberikan seorang kenalan dari Italia, Giorgio, yang kebetulan bekerja untuk sebuah organisasi kemanusiaan di Ramallah, Palestina teritori. Biasanya tidak lazim orang Indonesia datang sendirian tanpa group tour dan tentunya pengecekan akan dilakukan lebih intens terlebih karena saya hanya sendirian tidak dalam group tour. Tetapi dalam waktu 30 menit, nama saya dipanggil dan setelah menghadap, paspor saya dicap masuk dan mendapatkan ijin turis selama 7 hari, yang tertera pada kertas visa asli yang tentunya harus saya bawa bersama paspor sewaktu nanti keluar dari Israel.

Betapa menyenangkan akhirnya bisa masuk Negara ini lagi dan memang resmi mendapat ijin masuk. Segera setelah itu, saya cari taxi yang sudah dipersiapkan untuk membawa saya ke kota Jerusalem, sebelumnya mampir untuk makan siang di Tepi Barat, kota Jericho. Santap siang di Restoran Temptation yang sangat memuaskan mata, lidah dan tentunya perut ini. Karena saya penggemar daging domba dan segala salad masakan Timur Tengah, santap siang seperti membalas kerinduan saya akan Tanah Perjanjian setelah selama nyaris 2 bulan tidak datang ke negeri ini.

Kerinduan yang membuncah dan tidak pernah surut selama 5 tahun terakhir ini bahkan setelah perpisahan yang harus saya alami, tetap tidak mengalahkan perasaan nyaman berada di negeri ini.

Sore hari setelah 2 jam melewatkan waktu santai dan makan siang di kota Jericho bersama teman-teman dari Jericho di Restoran milik Abu Raed, restoran yang paling terkenal dengan makanan ala timur tengah dan produk laut mati yang dijual di toko ini, saya meneruskan perjalanan dengan taxi ke kota Jerusalem.

Tiba di kota Jerusalem sekitar pukul 6 sore, hari masih terang karena musim panas, tiba di hotel kecil di tengah kota Jerusalem yang saya pilih sendiri melalui web site. Ada rasa sedikit janggal karena biasanya saya bersama group tinggal di hotel-hotel berbintang minimal bintang 3, tetapi kali ini saya tinggal di hotel kota yang biasa ditinggali oleh turis-turis eropa atau amerika atau turis lokal Israel sendiri. Daerah hotel ini berada di bagian barat kota Jerusalem, di area yahudi. Saya pilih hotel ini karena lokasi nya sangat dekat hanya tinggal berjalan kaki 2 blok ke pusat perbelanjaan malam ataupun resto dan kafe-kafe kecil di Ben Yehuda.

Menjelang malam jam 8 saya dijemput oleh teman yang juga selalu menjadi Guide untuk group tour saya, Moshe Salman, karena saya ingin menikmati dan berkunjung ke kota yang tidak pernah saya kunjungi bila sedang bersama group.

Makan malam bersama satu orang teman dari Jakarta yang kebetulan juga sedang mengawal group tour di Jerusalem, kami bertiga menuju kota Abu Gosh, kota orang Arab Israel yang sangat bersahabat. Makan malam masakan Lebanon, lagi-lagi daging domba, tetapi kali ini didampingi nasi biryani. Dengan dandanan kasual kaos dan celana pendek, saya menikmati makan malam ini bersama teman-teman.

Ternyata usai makan acara tidak berhenti disitu, tetapi diteruskan untuk bersantai dan minum kopi di Ben Yehuda. Tidak ada Starbucks melainkan yang terkenal adalah Aroma, tetapi kami menikmati kopi di café yang cukup sering saya datangi beberapa kali, Dolce Latte Cafe, dan sudah 2 kali saya merayakan acara Tahun Baru di café tersebut. Karena suasananya, dan penganannya yang lezat disana.

Lewat tengah malam, saya kembali ke hotel dan menikmati istirahat, sendirian di kota Jerusalem. Tapi karena suasana kamar yang sangat ramah dan seperti rumah sendiri, tidak terasa kalau malam ini berada jauh dari rumah dan keluarga.

ISRAEL, JERUSALEM-BETHLEHEM 11JULI 2010

Pagi ini, saya menikmati sarapan di restoran kecil bernama Rachela Restoran, yang memang bekerjasama dengan hotel tempat saya tinggal, 1 blok jalan kaki dari hotel. Usai sarapan, saya menunggu jemputan yang diatur oleh kawan saya dari kota Bethlehem. Karena mereka yang mensponsori tiket saya, maka tentunya satu hari ini pun saya sediakan untuk berada di Bethlehem.

Saya dijemput oleh Anas Jabr, anak muda yang bekerja pada Michael Canawati, pemilik Three Arches Store di Bethlehem, dia juga seorang pengemudi Ambulans Magen David Adom (Palang Merah Israel) di Jerusalem. Siang hari bekerja di toko di Bethlehem, malam hari di Palang Merah. Sangat terasa bahwa anak-anak muda di Israel ini, sudah terbiasa dengan bekerja sejak mereka lulus sekolah. Baik yang Yahudi modern maupun Arab Israel, mereka sebisa mungkin sudah mulai bekerja begitu selesai sekolah. Bahkan bila perlu, tetap melanjutkan kuliah bila dana memadai, atau masuk kuliah universitas terbuka bagi yang sudah bekerja, karena title pendidikan sangat penting bagi jenjang karir mereka.

Tiba di Bethlehem, melalui check point perbatasan Israel-Palestina (Tepi Barat), suasana biasa, tenang, dan dengan hanya menunjukkan bahwa saya membawa paspor , mobil kami meluncur masuk melewati pagar pembatas dua wilayah ini. Sampai di Three Arches Store, suasana masih sepi, karena bulan Juli ini, tidak terlalu banyak group tour, apalagi ini adalah hari Minggu, dimana kota Bethlehem yang banyak penduduk Arab Kristennya, juga sibuk di gereja untuk Misa pagi. Biasanya turis baru akan mulai berdatangan menjelang jam 12 siang.

Sementara saya datang bukan sebagai Tour Leader seperti biasanya, tetapi sebagai teman lama bahkan sudah seperti keluarga sendiri, yang kali ini berlibur di Israel. Tentunya sambil membawa pesanan buku tulisan saya “Langkahku di Israel”, yang selain dijual di Jakarta / Indonesia, juga dijual di beberapa toko tertentu di Tanah Perjanjian ini, salah satunya yang banyak melakukan penjualan adalah Three Arches Store ini.

Santap siang pun di restoran keluarga Canawati ini, Squares, yang terletak tepat didepan Gereja Kelahiran Yesus Kristus di Bethlehem. Di depannya adalah areal parkir gereja yang biasanya pada malam Natal maupun malam Tahun Baru setiap tahunnya akan penuh sesak dengan manusia dari segala bangsa, bahkan diliput oleh jaringan TV dunia.

Menikmati santap siang bersama keluarga ini, saya ditemani oleh Mike, ayahanda Mike – bapa Nikola Canawati, seorang pengusaha Bethlehem yang sekarang berdomisili di Amerika, tetapi masih sibuk berbisnis ke mancanegara. Dan saya beruntung bisa bertemu dan berbincang banyak dengan mereka dengan suasana santai karena saya hanya sendirian dalam perjalanan kali ini.

Tidak banyak yang tahu, bahkan turis-turis Indonesia, bahwa makanan yang disediakan di restoran ini bertaraf internasional, kami menikmati Caesar salad yang segar, chicken finger dengan saus yang khas, juga udang rebus yang sangat segar mengundang selera. Hidangan utama pun yang saya pilih adalah steak daging sapi dengan cara medium-well. Sungguh hidup ini nikmat. Sembari keluarga ini Mike dan Lilian, yang sangat fashionable, menikmati argila/hubly bubbly atau bagi orang Indonesia dikenal dengan sebutan shisha, serta 5 putra-putri mereka. Siang ini sungguh berbeda.

Kenyang dengan santap siang, saya diantar oleh Lilian kembali ke toko Three Arches, tetapi hari di Bethlehem ini belum usai, karena kira-kira 2 jam dari sekarang, tepatnya jam 5 sore, saya harus sudah berada di Gereja Kelahiran, karena keponakan Mike, anak dari Maher, yang baru berusia 1 tahun akan dibaptis selam secara Gereja Yunani Orthodox yang mereka anut. Karena ini merupakan kejadian penting dan saya belum pernah melihat acara ini, sangat menarik untuk dihadiri.

Sementara di toko masih terlihat beberapa bus turis yang datang dan berbelanja, walau tidak seramai hari biasa. 15 menit sebelum jam 5 sore, saya dan bapa Nikola Canawati dan cucunya Nikola Canawati Jr, anak dari Mike, meluncur dengan mobil ke Gereja Kelahiran. Tentunya disini saya dikenal banyak orang lokal, karena nyaris sebulan sekali datang ke Israel membawa group tour. Di dalam gereja yang saya kenal benar sejarahnya, kami langsung menuju area Gereja Yunani Orthodox yang terletak di tengah gereja bagian kepala, tepat diatas Gua Kelahiran Yesus. Rupanya ini adalah acara khusus keluarga Canawati. Saya duduk dan mulailah berdatangan sanak family Canawati. Dan saya lihat betapa modern gaya berpakaian mereka, beberapa wanita keluarga ini bahkan mengenakan blus off-shoulder dan perhiasan-perhiasan yang terlihat chic. Anak-anak pun juga berkeliaran, sungguh cantik dan rupawan wajah-wajah mereka. Saya sangat mudah dikenali berbeda, karena saat itu, hanya saya sendirian yang bukan orang Palestina. Tetapi mereka pun cukup ramah, dan tante dari ibunda sang bayi Giorgio Canawati, mengajak saya untuk duduk lebih ke depan, untuk melihat upacara pembaptisan bayi ini.

Bukan Angelica bila datang tanpa membawa kamera digitalnya. Selain mengikuti tata cara ibadah mereka, yang tentunya dilakukan dalam bahasa Arab dan saya sama sekali tidak mengerti, tetapi saya cukup menikmatinya. Ketika bayi Giorgio sudah siap digendong oleh Pendeta Utama, disitu terlihat bejana air perunggu yang lumayan besar terisi penuh air, lalu setelah nyanyian dan doa, dengan gerakan yang sangat cepat, bayi Giorgio yang dipegangi dengan cara khusus oleh Pendeta Utama, diselamkan mulai dari kepala ke kaki sebanyak 3 kali (dalam nama Allah, Bapa dan Roh Kudus) dan dengan gerakan yang sangat cepat hanya beberapa detik, tetapi bayi itu sudah basah sekujur tubuhnya. Setelah selesai, tentunya dengan tangisan yang cukup keras, bayi tersebut diberikan kepada neneknya.

Waaaah, saya sungguh sangat shock melihat upacara ini. Dan saya perhatikan yang dari awal menggendong bukanlah ibunya, tetapi nenek dari pihak ibu dan kakek dari pihak ayah. Tentunya sebagai seorang ibu, akan menitikkan airmata ketika melihat 3 x selaman tersebut. Saya sendiri cukup terkejut, terlebih karena ini pengalaman saya pertama kali melihat upacara ini.  Tetapi sudah sah baptisan ini, lalu diteruskan dengan penyalaaan lilin dan doa penutupan. Upacara tidak terlalu lama, kemudian kami pun beranjak menuju Restoran Crystal, juga milik keluarga ini, untuk merayakan acara tadi. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, tetapi karena musim panas, suasana masih sangat terang benderang seperti siang hari jam 3 sore. Tidak terasa ternyata sudah waktunya untuk santap malam. Yang tentunya saya nikmati di perayaan ini bersama keluarga besar Canawati.

Lagi-lagi hanya saya sendiri seorang Asia (Indonesia) yang berada ditengah-tengah keluarga besar Palestina ini. Tetapi saya cukup nyaman, karena kenal dengan keluarga ini sudah cukup lama, kira-kira 4 tahun. Saya duduk di meja bersama Lilian, Mike, bapa Nikola, dan beberapa sanak keluarga mereka yang tentunya semua berbicara dalam bahasa Arab. Kadang saya mengerti satu dua patah kata, walaupun lebih banyak menggunakan bahasa Inggris dengan Lilian. Berbagai jenis salad dihidangkan dimeja dan segar-segar sekali, khumus yang khas dan roti pita yang sudah dipotong-potong segitiga, juga beberapa minuman, seperti soft drink, arak, whiskey. Untuk keluarga Arab Kristen, minuman adalah hal biasa di perayaan mereka. Hidangan utama berupa nasi kebuli dan daging domba yang dibungkus alumunium dan terasa bumbunya meresap dan sangat empuk.

Hari minggu ini saya betul-betul menikmati suatu perayaan makanan. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, karena harus kembali ke Jerusalem, saya pun bergegas pamitan dan menuju mobil yang dikemudikan Anas Jabr untuk kembali ke hotel saya di Jerusalem. Ada kejadian yang cukup menggelitik di pesta ini, karena saya duduk bersebelahan dengan sepupu Maher, seorang anak muda bernama George yang juga seorang atlit bola basket tim Bethlehem, nyaris beberapa orang-orang tua yang menyalami tua-tua di meja kami, mengira saya adalah pasangan George, saya mengerti ini setelah Lilian menerjemahkan ucapan mereka. Wah, kehilangan di Indonesia, malah berbuah di Tanah Perjanjian.

Malam ini jam 9 malam, seluruh orang di negeri inipun juga turut gegap gempita untuk menonton pertandingan bola Piala Dunia yang malam ini adalah final antara Spanyol dan Belanda. Sehingga tentunya saya juga menerima undangan untuk nonton bersama mereka di Bethlehem, tetapi karena saya juga sudah ada janji dengan teman Israel saya di Jerusalem, saya pun kembali kesana. Tiba di hotel kira-kira 30 menit karena melalui perbatasan Bethlehem malam ini tidaklah terlalu rumit seperti biasa, hanya dilihat bahwa Anas membawa kartu identitas bahwa dia mempunyai ijin untuk keluar masuk Israel-Palestina, dan saya juga membawa paspor saya, mobil pun meluncur ke pemeriksaan yang berikutnya, disertai senyuman, kami pun menuju hotel saya di pusat kota Jerusalem.

Sepanjang perjalanan, mobil-mobil maupun orang-orang yang berjalan kaki membawa atribut bendera Spanyol maupun Belanda. Sedangkan Anas sendiri menjagokan Spanyol. Sementara saya, yang memang tidak terlalu menggilai bola, jadi ikut merasakan gegap gempita ini dan memilih Spanyol.

Tidak berapa lama sesudah tiba di hotel, saya bergegas bersiap-siap karena seharian penuh di Bethlehem, saya merasa perlu untuk berganti baju dan menyegarkan diri sebelum acara nonton bersama sambil menikmati kopi di café di kota Jerusalem. Sebelum teman saya, Carmel, tiba di hotel, saya sempat berbincang banyak dengan receptionist hotel saya, Miki. Kami berbincang banyak mengenai Indonesia, pekerjaan saya, dan bagaimana dia yang baru saja menyelesaikan tugas Wajib Militer di bagian Medik dan apa yang akan dia lakukan setelah pekerjaan ini. Rupanya menjelang akhir tahun nanti, tepatnya Oktober, Miki akan melanjutkan sekolah, karena setiap anak muda di Israel yang telah menyelesaikan Wajib Militernya selama 2-3 tahun, biasanya akan melanjutkan sekolah ke universitas untuk mendapat gelar akademik demi menunjang karir mereka.

Teman saya tiba, lalu kami keluar mencari café yang masih bisa cukup enak untuk mendapat posisi nonton dan minum kopi sambil menyaksikan pertandingan final ini. Wah, ternyata setiap café yang ada sudah ramai dengan orang-orang yang sudah lebih dulu duduk. Seperti di setiap Negara manapun ketika menyaksikan Piala Dunia, kami harus berkeliling sebelum menemukan café yang lumayan, walaupun, jarak pandang ke layar televisi tidak begitu baik. Sambil duduk dan menikmati Coklat Belgia panas, dan bir, kami menonton pertandingan ini. Tetapi di café ini, tidak terlalu nyaman, akhirnya kami memutuskan untuk pindah dan mencari café lain di area Ben Yehuda ini yang lebih nyaman. Setelah berkeliling lagi, akhirnya ada satu café yang tidak terlalu ramai, tetapi layar televisinya cukup terang, hingga karena pertandingan masih posisi 0-0, kami pun duduk sambil menikmati Ice Lemon Mint yang segar dan segelas bir Goldstar khas Israel.

Pertandingan berakhir dengan 1-0 di pihak Spanyol… yeeeiii… walau bukan penggila bola, tapi senang juga melihat pilihan saya menang dan menjadi Juara Dunia. Waktu pun menunjukkan menjelang tengah malam, karena hari yang panjang yang cukup melelahkan, saya pun diantar kembali ke hotel. Karena esok masih banyak acara yang menanti.

ISRAEL, JERUSALEM 12 JULI 2010

Santap pagi hari ini di restoran Rachela, menikmati salad, tuna, cornflakes dan susu segar, ditutup dengan teh panas yang nikmat. Lalu berjalan-jalan sebentar di pusat perbelanjaan Ben Yehuda dengan hanya mengenakan atasan putih santai dan celana pendek, yang biasanya tidak pernah saya kenakan ketika bersama group tour. Kebetulan area belakang hotel saya, adalah pusat perbelanjaan Ben Yehuda, seperti area Pasar Baru di Jakarta, tetapi lebih nyaman dan santai, dan lebih terasa eropa. Selain orang-orang Israel sendiri yang sudah memulai hari ini dengan bekerja di toko-toko, maupun kantor yang terletak tidak jauh, juga beberapa pekerja orang Philipina yang bekerja sebagai perawat orang-orang tua Israel. Saya yang juga terlihat sebagai orang Asia, sempat mengundang tanda tanya di mata mereka, walaupun sapaan ramah, Boker Tov (selamat pagi), sering dilontarkan ke arah saya.

Usai jalan-jalan pagi, saya kembali ke hotel dan menanti teman yang juga Guide Lokal yang selalu bekerjasama dengan saya, Moshe Salman. Siang ini dia akan mengajak saya berkeliling sebentar ditengah hari sibuknya dengan kantor pajak (Tembok Ratapan yang baru), bagaimanapun juga sebagai warga Negara yang baik, harus membayar pajak pendapatan pribadi, seperti yang sudah dilakukan di Indonesia di tahun-tahun terakhir ini.

Bersamanya saya mengunjungi beberapa Lokal Guide yang sedang beristirahat di sebuah kantor yang penuh dengan buku-buku untuk dijual kepada turis Tanah Perjanjian dalam berbagai bahasa. Selain berbicara dengan bahasa Ibrani patah-patah, diselingi bahasa Inggris apabila saya kehabisa kata-kata. Cuaca hari ini sungguh panas, tepatnya jam 12 siang, sekitar 42 derajat Celcius. Siang ini pun saya tidak pernah lepas dari topi lebar dan kacamata hitam bila sedang berada diluar ruangan. Setelah berbincang-bincang dengan teman-teman Lokal Guide, saya diajak Moshe untuk makan siang (agak telat) Shwarma daging domba yang nikmat, di toko kecil di daerah Talpiyot. Dari sana, kami menuju Sinagoga tempat ibadah orang Yahudi yang merupakan tempat ibadah Moshe sekeluarga, karena hari itu dia harus membantu Rabbi tua dari sinagoga tersebut, yang tidak lain adalah ayahnya sendiri, Saba (opa) Mordechai Salman. Daerah ini tidak jauh dari Talpiyot dan German Colony, hanya saja saya lupa nama jalannya. Beberapa jalan perumahan memang terlihat mirip satu sama lain.

Dan kali ini saya diperbolehkan masuk ke dalam sinagoga tersebut. Yang saya tahu bila sedang melakukan ibadah, bagian laki-laki dan perempuan dipisahkan. Sembari Moshe berbincang serius dengan sang Rabbi yang sudah berusia 90 tahun, tetapi masih terlihat sehat, walau berjalan dengan tongkatnya, saya sibuk melihat-lihat ruangan kosong sinagoga dan memotret. Ternyata sinagoga ini bukanlah sinagoga kuno yang memberlalukan pemisahan jemaat laki-laki dan perempuan, sang Rabbi yang melihat saya sibuk berfoto dari bagian luar ruangan menyarankan saya masuk untuk mengambil foto sinagoga ini. Bahkan, atas ijinnya pula, saya mendapat kesempatan melihat di bagian tembok kayu dekat altar yang berada ditengah, ada pintu lemari yang diukir dengan gambar Menorah, dan setelah digeser ternyata merupakan tempat penyimpanan Kitab Taurah yang berada dalam wadah gulungan yang berwarna-warni dan indah, tidak hanya satu, tetapi sepertinya tersimpan lebih dari 7 gulungan besar. Dihiasi beberapa syal warna-warni yang merupakan pemberian dari jemaat, dan gulungan ini bernilai puluhan ribu US Dollar, sehingga harus ditempatkan dalam lemari dengan gembok yang sangat kokoh. Bahkan salah satu wadah tersebut dibuka oleh Moshe, setelah mengenakan Kippa dikepalanya, karena setiap orang Yahudi yang akan membuka gulungan Kitab Taurah harus mengenakan Kippa dikepalanya (Kippa = penutup puncak kepala, yang diatur sejak zaman Musa). Gulungan kitab tersebut ditulis dikulit domba yang sangat apik berwarna putih, saya sempat berpikir bahwa itu adalah kertas yang sangat tebal. Cara membacanya pun menggunakan “jari” tongkat yang berbentuk jari kaki, karena bila tidak ada alat bantu tersebut, tentunya pembacaan bisa berantakan.

Dari Sinagoga, kami beranjak menuju Lembah Salib yang berada di Jerusalem. Di lembah ini terdapat biara besar Yunani Orthodox, karena lembah ini merupakan tempat dimana kayu salib yang digunakan untuk menyalibkan Yesus, maupun orang-orang dijaman Yesus diambil. Karena terbiasa melihat pohon-pohon zaitun yang berada di perkebunan, pertanian dan Taman Gethsemane, banyak orang Kristen yang tidak mengerti bagaimana bisa pohon zaitun yang tidak mencapai 2 meter tingginya itu digunakan sebagai kayu salib. Ternyata sesuai dengan penglihatan saya, daerah yang juga bisa dibilang hutan pohon zaitun di daerah pinggir kota Jerusalem ini, terdapat banyak pohon zaitun yang tingginya lebih dari 3 meter. Bagi saya, ini adalah pengetahuan baru, mengenai proses penyaliban Yesus, bagaimana caranya jaman itu penyaliban dilakukan dan posisi orang yang disalib (akan dijabarkan lebih jelas dibuku saya terbitan terbaru). Tidak salah saya memilih Moshe Salman, karena walaupun dia seorang Yahudi, tetapi pengertiannya akan Alkitab sangat jelas dan akurat disesuaikan setiap kata yang tertulisa didalam Alkitab. Dengan kata lain, sebagai seorang Tour Leader rombongan ziarah Kristen, saya berguru banyak dengannya dan ini penting bagi saya, karena saya menginginkan pengetahuan yang terbaik bagi jemaat.

Dengan terik matahari yang cukup membakar, dan setelah berkeliling melihat pohon-pohon zaitun tersebut yang sudah berusia ratusan tahun, akhirnya kami kembali ke hotel saya. Tentunya karena Moshe pun harus pergi ke tempat lain, sementara saya pun sudah memiliki agenda jalan-jalan berikutnya yang akan saya lakukan bersama teman saya, Carmel, sore ini di kota tua.

Kira-kira jam 5 sore, setelah saya tiba di hotel dan Moshe beranjak pergi, saya bersiap menuju toko es krim Aldo dan coklat Max Brenner favorit saya yang hanya 1 blok jauhnya dari hotel Jerusalem Inn. Menikmati es krim di sore hari yang terik ini, lalu akhirnya kita putuskan untuk berjalan kaki menuju kota tua ke bagian Yahudi, karena teman saya ini ingin ke Tembok Ratapan (Kotel). Kebetulan teman saya ini bukan orang Jerusalem, tetapi dari kota lain di utara di daerah Danau Galilea, sehingga yang menjadi Guide kali ini adalah saya. Kami berjalan melalui area pemukiman Yahudi, sempat berfoto di museum Penjara Bawah Tanah, yang baru kali ini saya temukan bila berjalan kaki seperti ini, lalu menuju arah Kota Tua ke Gerbang Jaffa, yang juga bagian dari area Kristen. Cukup jauh juga jalan kaki sore ini, akhirnya tiba di Gerbang Jaffa, lalu masuk ke lorong-lorong kota tua dibagian sudut Kristen. Terus berjalan kedalam menuju bagian Yahudi, karena dari situ kami akan masuk menuju Tembok Ratapan. Sebetulnya jalan yang kami lalui ini belum pernah saya lalui, tetapi setibanya di bagian dalam areal Yahudi, saya mulai mengenali lokasi ini, karena pernah satu-dua kali ke lokasi ini, tempat yang ada pilar-pilar kuno zaman pasar besar zaman Yesus, dan ada lukisan besar mengenai keramaian pasar zaman itu. Naik ke atas, ke pelataran yang ternyata daerah orang Yahudi yang juga disana terdapat banyak café dan hotel-hotel kecil. Di pelataran ini, banyak turis tua-muda yang bersantai sambil menikmati kopi / teh sore hari. Dengan berbekal air mineral, kami meneruskan jalan kaki kami. Melewati bagian yang dulunya tembok-tembok rumah kokoh yang terbakar jaman penghancuran Kota Jerusalem masa Titus di tahun 70M.

Akhirnya perjalanan kami tiba di bagian atas luar Tembok Ratapan, disitu terdapat monument Menorah warna emas yang dijadikan obyek foto turis lokal maupun luar, lalu kami pun turun masuk ke pelataran Tembok Ratapan, setelah melalui pemeriksaan sekuriti. Disini memang dibedakan, yang masuk ke daerah Tembok Ratapan hanyalah orang Yahudi dan turis Kristen ataupun pelancong Eropa. Tetapi untuk pelancong muslim, mereka ada pintu lain menuju ke pelataran Dome of the Rock dan mesjid Aqsa. Sambil melihat-melihat Tembok Ratapan dari jauh dan berfoto bersama, dan ternyata hari itu sedang ramai, karena ada bus berisikan anak-anak Israel yang cacat dari lahir merayakan kedatangan mereka di Tembok Ratapan untuk bernyanyi dan berdoa. Tidak terlalu lama kami disini, lalu kami mulai berjalan lagi untuk kembali ke Gerbang Jaffa. Kami putuskan melalui jalan yang sama, karena bila melalui jalan lain, tentunya akan melalui area Muslim atau Armenia, dan tidak akan melalui Gerbang Jaffa, tetapi bisa jadi keluar di gerbang yang lainnya, misalnya Gerbang Bunga atau Gerbang Baru dan itu terlalu jauh. Apalagi sore ini adalah jalan-jalan santai di kota tua.

Keluar dari kota tua, kami melewati area mall Gerbang Jaffa yang cukup modern, dengan butik-butik terkenal mulai dari Mango, Fox, Aroma café, Crocs, Topman dan berakhir di ujung hotel Mamilla, hotel yang sekarang termahal di kota Jerusalem sebelum King David Hotel. Sedianya kami akan menikmati kopi di area ini, tetapi karena belum cukup sore, akhirnya kami putuskan terus berjalan menuju Aroma café di Ben Yehuda tidak jauh dari hotel. Nah, disini saya akhirnya melihat café Coffee Bean. Hanya satu di Ben Yehuda. Selain itu penikmat kopi di Israel ini hanya lebih mengenal Aroma café. Disini juga merupakan café favorit saya, selain ice chocolatenya yang nikmat dan selalu ditemani sepotong coklat khas Aroma, saya memesan Salmon sandwich untuk santap malam kali ini. Santap malam yang lebih metropolitan kali ini.

Akhirnya malam pun tiba, dan saya pulang kembali ke hotel, karena hari ini cukup menguras tenaga, setelah berjalan berkilo-kilo meter jauhnya. Ini yang disebut Walking Tour ala Yehuda style, biasanya dilakukan oleh turis-turis Eropa maupun lokal. Jarang orang Indonesia mau melakukan ini, dan saya cukup senang melakukannya karena jadi lebih mengenal kota ini.

ISRAEL, JERUSALEM, 13 JULI 2010

Pagi hari dimulai rutin dengan bangun tidur yang tidak terlalu pagi, sarapan pagi di Rachela Restaurant, lalu menjelang santap siang, saya menuju American Colony Hotel, memenuhi undangan agency yang menyediakan visa Israel saya. Sempat terpikir untuk berjalan kaki, tetapi karena kondisi kaki yang cukup pegal karena kemarin berjalan terlalu banyak, akhirnya saya pake taxi menuju hotel ini. Ini adalah salah satu hotel bersejarah yang dibangun oleh Komunitas Amerika yang menetap di kota Jerusalem. Hotel yang cukup mahal permalam minimal USD300 hingga ribuan USD, karena mereka menyediakan suite dan penthouse. Hotel yang sangat elegan dan cozy, sejuk dan biasanya tamu-tamu hotel ini adalah bintang-bintang terkenal Amerika maupun orang-orang tua Amerika yang berlibur disini. Saya dan teman saya, Wissam, menikmati santap siang di taman hotel ini, karena memang coffee shop hotel ini adalah sebuah taman ditengah-tengah hotel. Baru disini, akhirnya saya menemukan Pork Bacon, mungkin karena tamu-tamu mereka lebih banyak orang Amerika. Karena peraturan kosher (halal) Yahudi tidak memperbolehkan daging babi untuk dimakan. Hanya segelintir restoran cina di Israel maupun hotel seperti ini yang bisa menghidangkan daging babi.

Usai santap siang, saya bersiap menunggu Guide saya, Moshe Salman. Rencananya siang ini jam 2 kami akan menuju kota Latrun, agak keluar kota Jerusalem untuk mengunjungi Mini Israel. Tunggu punya tunggu, karena kondisi jalanan macet dan kesibukan Moshe dan juga jadwal sore ini saya harus berada di Bethlehem untuk santap malam, akhirnya acara ke Latrun saya batalkan. Dan saya menuju hotel Mount Zion di Hebron Street untuk menanti jemputan oleh Anas Jabr, yang sudah dipesan Maher Canawati untuk menjemput saya sore ini jam 4-5 sore. Karena saya punya waktu, akhirnya saya menikmati ice coffee milk di hotel mahal ini. Mount Zion hotel ini terletak di tebing lembah Kidron, hotel yang juga memiliki sejarah jaman Inggris berkuasa di Jerusalem. Dahulunya merupakan rumah sakit, yang akhirnya diubah menjadi hotel. November 2009 saya pernah menginap disini bersama seorang teman wanita saya. Hotel ini juga sangat nyaman dan harganya lumayan, tetapi tidak semahal American Colony Hotel. Sembari menanti jemputan, saya sibuk memotret dari jendela lobby lounge, yang pemandangannya melihat Menara Raja Daud, lembah Kidron, gua-gua Hakel Dama dan Gereja Dormitorio Abbey di bukit Zion.

Hari ini rasanya kemacetan lalu lintas lebih dari hari-hari sebelumnya, maka Anas baru tiba jam 5 lewat. Saya segera menyeberang jalan, dan naik ke mobil Caravel milik Mike, masuk ke kota Bethlehem. Saya sudah ditunggu oleh Maher, karena Mike berpesan agar Maher memperhatikan saya selama saya tinggal di Israel. Bukan kebetulan karena undangan dan tiket pulang pergi saya peroleh dari keluarga ini. Karena turis juga sudah selesai dalam kunjungannya ke toko Three Arches ini, kami pun bergegas menuju restorannya, kali ini The Tent, yang terletak bersebelahan dengan Crystal. Bila restoran Crystal lebih luas dan lebih banyak diperuntukkan untuk group besar atau bila ada perayaan-perayaan, The Tent lebih kecil dan lebih terasa suasana Timur Tengah, karena lokasinya yang terbuka seperti duduk di balkon yang panjang, sambil memandang Bethlehem dari atas gedung, dan bisa menikmati sunset maupun bulan purnama di malam hari, sungguh pemandangan dan suasana yang sangat cantik. Disini saya tidak hanya berdua, tetapi Maher juga mengundang stafnya, yaitu Christy, Susi Balqies dan tentunya Anas untuk bersantap malam bersama saya. Dan karena Maher harus menghadiri rapat bisnis di Ramallah, dengan berat hati dia meninggalkan saya, dan kami mengucapkan kata sampai jumpa lagi bulan depan. Ditemani anak-anak muda Bethlehem, Christy, Susi dan Anas, kami memesan dan bersantap dengan santai, hidangan khas Bethlehem, salad, daging bakar dan roti pita. Usai makan, jam 1930, kami bergegas pulang ke rumah dan saya harus kembali ke kota Jerusalem.

Hanya saja kali ini agak berbeda cara keluar dari kota Bethlehem, Anas menurunkan saya di bagian penjalan kaki / turis untuk masuk ke lorong pemeriksaan perbatasan Palestina teritori-Israel, yang dijaga oleh tentara Israel. Agak enggan sebetulnya melalui jalan ini, terlebih saya lupa karena angin malam ini agak dingin, dan saya hanya mengenakan kaos putih dan celana pendek selutut. Saya berpikir hanya saya sendirian, saya sempat tersesat dibagian dalam lorong pemeriksaan, karena ada 3 pintu, tetapi tidak jelas mana yang bisa dilalui, sambil mencari-cari ternyata pintu ketiga sebelah dalam yang bisa dilalui. Lorong ini dibatasi tembok-tembok dan pintu-pintu besi yang hanya bisa dibuka bila lampu berwarna hijau menyala karena dikontrol dari ruang control tentara Israel disebelah dalam. Scan barang pun dilalui, tiba di pemeriksaan paspor, tanpa kesulitan dan disertai senyuman saya berhasil keluar dari penjagaan, sementara tentara wanita yang sedang berjaga di pos sedang mengecek surat ijin warga Palestina yang akan masuk wilayah Israel. Tiba di luar, hari sudah menjelang gelap, dan Anas belum Nampak karena dia mengambil jalan lain lewat Beit Jalla. Angin cukup kencang malam ini, membuat saya cukup kedinginan di tengah-tengah perbatasan sendirian berdiri. Beberapa kali mobil-mobil Palestina melewati saya dan melihat saya yang sedang berdiri sendirian di pojok perbatasan. Sungguh pemandangan yang tidak nyaman. 15 menit kemudian yang terasa sangat lama, Anas pun tiba. Tetapi karena dia sedang banyak tugas, akhirnya saya minta agar saya diturunkan di Mount Zion Hotel dan dari sana saya mencari taxi untuk kembali ke Ben Yehuda. Agak lama mendapat taxi dan hari sudah gelap menjelang pukul 9 malam. Di Ben Yehuda saya turun, tepatnya di King George Street, berjalan kaki sendirian, sembari mampir ke sebuat toko souvenir, King David, karena teman saya di Jakarta memesan cincin khas Israel yang memang dia beli di toko ini beberapa hari yang lalu ketika dia bersama groupnya. Tetapi hari masih belum usai, saya menelpon teman saya Carmel, dan kami pun menikmati kopi di Aroma café mala mini. Sekaligus saya beritahukan supaya besok dia bisa menemani saya bersantai di Laut Mati dan berkunjung ke Mini Israel di sore hari.

ISRAEL, JERUSALEM-JERICHO-LATRUN 14JULI2010

Usai sarapan pagi di Rachela Restaurant, dan Carmel datang dengan membawa perlengkapannya untuk ke Laut Mati, lalu kami menunggu jemputan yang hari ini disediakan oleh teman saya Walid di Jericho. Saudaranya, Amir, seorang supir taxi Jerusalem yang ramah, datang menjemput kami jam 11 kurang. Kami langsung menuju Laut Mati ke pantai Kalia. Pantai ini biasanya menjadi tempat turis mancanegara untuk menikmati mengapung dan lumpur Laut Mati. Saya pun demikian, sambil berharap tidak bertemu dengan group besar dari Indonesia, karena saya akan menikmati Laut Mati sambil berbikini ria. Ternyata hari ini turis dari Korea, Mexico dan Rusia yang mendominasi pantai Kalia. Karena memang sudah siap dengan dari hotel, kami pun tanpa persiapan terlalu repot mulai bersantai di pantai. Sembari mengoleskan Sunscreen supaya terik matahari di daerah terendah di dunia ini (-417) tidak terlalu membakar dan menghitamkan kulit.

Turun ke Laut Mati yang kadar garamnya lebih dari 28%, saya lupa membawa sandal jepit saya, akhirnya tertatih-tatih karena kepanasan segera masuk ke air. Baiknya adalah air Laut Mati kali ini tidak hangat, walaupun cuaca diluar cukup panas dengan temperature 47 derajat celcius. Bisa dibilang cuaca hari ini lumayan enak daripada 2 hari yang lalu. Kami bermain lumpur dan mengapung dengan santai tanpa beban. Juga berjemur di tepi pantai sambil menunggu lumpur mengering di sekujur tubuh dan wajah. Setelah kering, saya kembali membasuh diri sambil mengapung dan membersihkan lumpur-lumpur yang menempel ditubuh dan wajah saya. Setelah cukup bersih dan cukup lama berada di air, kami mengakhiri nya dengan mandi di air pancuran yang ada di tepi pantai. Karena ini adalah air tawar yang biasa digunakan untuk membasuh diri, agar tubuh bersih dan suhu kembali normal. Berendam di Laut Mati juga tidak boleh terlalu lama, karena kadar garam yang tinggi bisa menyerap cairan tubuh. Maka disarankan untuk menyediakan air mineral besar untuk persediaan minum setelah selesai mengapung.

Setelah berganti pakaian, kami kembali ke mobil, tapi kali ini saya harus meninggalkan teman saya di tempat peristirahatan Almog diluar kota Jericho, karena Carmel adalah orang Yahudi Israel yang tentu saja terikat peraturan tidak boleh masuk ke wilayah Palestina karena hukum yang ditaati kedua belah pihak. Sedangkan saya diantarkan Amir, masuk ke kota Jericho untuk memenuhi undangan santap siang khas padang pasir, yaitu daging domba bakar dan chicken wing khas Temptation Restaurant yang tiada duanya. Saya teringat pernah membawa teman saya yang memiliki restoran di Jakarta, dan sekembalinya dia menerapkan menu ini di restorannya, tapi terus terang saja, tetap berbeda dan tidak ada yang bisa mengalahkan kelezatan hidangan di Jericho ini. Tidak terlalu lama saya menikmati makan siang dari Walid ini, lalu bergegas kembali ke Almog untuk menjemput Carmel, karena tujuan berikutnya adalah kami akan ke Latrun, ke Mini Israel.

Latrun adalah kota kecil yang dipenuhi padang rumput bersebrangan dengan padang rumput Ayalon. Disini zaman Yosua bin Nun pengganti Musa, dikisahkan perang yang dahsyat antara bangsa Israel dengan bangsa Filistin. Hari itu terjadi mujizat, matahari dan bulan sama-sama muncul dan hari tidaklah menjadi gelap, sehingga perang berlangsung  selama 2 hari penuh dan Israel memperoleh kemenangannya. Di padang Latrun ini, kira-kira 35 km dari kota Jerusalem dan 35 km dari kota Tel Aviv, Mini Israel terletak. Sudah sejak lama saya ingin masuk ke Mini Israel ini (harga tiket USD25 per orang), karena disitu kita bisa melihat miniature kota dan bangunan seluruh Israel dari utara hingga selatan. Lagi-lagi karena pertemanan yang luas, Carmel berbicara dengan bekas Bosnya di Yardenit, Galilea, Sergio, yang juga mengenal saya, kami pun masuk tanpa membayar uang tiket. Memang tidak seluas Taman Mini milik Indonesia, tetapi lebih kepada Madurodam mini di Belanda. Sungguh indah dan kami pun menyusuri setiap maket dan saya banyak memotret, sekaligus mengingat-ngingat dimana gedung atau bukit ini. Bahkan Carmel berkomentar, bahwa saya lebih mengenal kota-kota Israel daripada dia, seharusnya dia belajar banyak dari saya. Sungguh pujian yang tulus.

Lagi-lagi hanya turis lokal, Rusia dan Mexico yang saya temui di tempat ini. Kami juga sempat bermain simulator mobil balap yang ada di tengah-tengah taman. Walaupun tidak semewah Universal Studio di Singapore, tetapi permainan ini merupakan intermezzo yang cukup menyenangkan.

Setelah puas, kami pun kembali ke kota Jerusalem. Dan ini adalah santap malam terakhir saya di kota ini, karena esok pagi, saya sudah harus keluar perbatasan ke Jordania untuk penerbangan pulang ke Indonesia.

Tetapi malam tidak berhenti disitu saja, saya dan Carmel mencari restoran yang cukup enak n unik dan ternyata kami menemukannya di sudut Ben Yehuda yang tidak terlalu ramai, Alice. Restoran Italia dengan standard kosher Yahudi yang cukup nyaman dan nikmat. Karena tidak terlalu lapar, kami memesan 1 set menu yang bisa dibagi dua. Dan ternyata pilihan tidak salah, karena porsi menu ini cukup lengkap dan banyak untuk dimakan berdua, mulai dari salad, roti, hidangan utama spaghetti dan minuman lemonada. Walau sempat sebelum kami bersantap malam, justru kami sudah menikmati ice yogurt yang seperti Sour Sally dan semacamnya di Jakarta. Hanya dengan NIS21 mendapat satu gelas ice yogurt dengan topping sesuka hati (all). Walau lebih asam rasanya dibandingkan yang di Jakarta.

Sempat bekas kekasih saya yang juga orang Israel 4 tahun yang lalu, Ze’ev, menelpon menanyakan kabar saya dan bila saya ingin bertemu dengannya. Tetapi hari sudah larut sehingga saya menolak ajakannya.

Tiada pertemuan tanpa perpisahan, dan satu minggu di Israel tanpa group ini sungguh terasa lain, dan menorehkan pengalaman yang lain daripada yang lain. Malam ini pun saya mulai mengepak koper saya supaya pagi-pagi tidak terlalu tergesa-gesa.

ISRAEL, ALLENBY BRIDGE, 15 JULI 2010

Kira-kira jam 11 setelah sarapan terakhir di Rachela Restaurant, saya menyelesaikan administrasi hotel dan bersiap-siap menunggu dijemput oleh Moshe Salman untuk menuju perbatasan Allenby untuk menyeberang ke Negara Jordan, ke kota Amman. Meninggalkan hotel yang sudah selama 5 malam ini cukup membuat saya betah tinggal di Jerusalem, nyaris saja lupa untuk pulang.

Perjalanan kira-kira 45 menit ke perbatasan, sebelum jam 12 siang, kami sudah tiba di Imigrasi Allenby. Ditemani Moshe untuk membayar Border Tax sebesar USD50, di Allenby ini agak mahal pajaknya, tetapi lebih ringkas karena tidak perlu susah payah mendorong koper kita, karena ada porter-porter muda yang sigap untuk membantu turis memasukkan koper ke dalam Shuttle Bus maupun bus turis group.

Karena hanya sendirian, saya harus menunggu Shuttle Bus berikutnya dari Jordan, karena saya sudah tertinggal bus sebelumnya dan yang ada hanyalah bus khusus orang Palestina. Tentunya kita sebagai turis asing dibedakan dalam hal Shuttle Bus. Sambil menunggu, beberapa porter muda Yahudi Israel, mengajak saya berbincang-bincang, sungguh anak-anak muda yang bersemangat. Kebetulan mereka baru saja lulus sekolah dan sebelum masuk Wajib Militer di usia 18, mereka pun bekerja sebagai porter di perbatasan ini. Wajah-wajah mereka yang ramah dan tentunya cukup ganteng apalagi ketika mereka tahu saya yang dari Indonesia ini bisa berbicara bahasa Ibrani, makin senanglah mereka. Bahkan pertanyaan saya sudah menikah atau belum pun terlontarkan, karena satu anak muda menaruh hati pada saya. Anak muda bernama Ido yang tentunya masih sangat muda. Kami berbincang banyak, hingga Shuttle Bus khusus turis yang harus membawa saya ke Negara tetangga siap berangkat.

JORDANIA, QUEEN ALLIYAH 15JULI 2010

Proses kepulangan yang tidak terlalu rumit seperti ketika masuk ke Israel. Kira-kira jam 1350 saya pun sudah tiba di Airport Queen Alliyah International di kota Amman. Kali ini saya dijemput oleh travel agent langganan saya karena dari perbatasan Allenby-King Hussein ke kota Amman cukup jauh, dan sebagai perempuan seorang diri, lebih baik pergi diantar oleh perusahaan yang sudah kita kenal, daripada mengambil taxi sembarangan. Bagaimanapun kita selalu harus waspada disetiap langkah.

Akhirnya tanpa kerumitan berarti, check in di airport QAIA dan setelah beres, masuk ruang tunggu untuk penerbangan menuju Doha, Qatar dengan Qatar Airways.

Aaaaah, rasa rindu akan Tanah Perjanjian ini tidaklah juga berkurang, dengan berjalannya waktu dan kesempatan dan karunia dari Tuhan lah yang akan terus membawa saya kembali ke Tanah Perjanjian itu, walau orangtua dan sanak saudara berada di Indonesia.

Hatiku tertambat di Tanah Perjanjian sejak dulu hingga sekarang….

Show more