2017-02-13



Selamat datang di bulan galau! Ya, bulan-bulan kedepan merupakan masa yang cukup pelik bagi jutaan teman-teman kita yang sedang duduk di bangku kelas 12. Pasalnya, beberapa bulan lagi mereka akan segera menghadapi Ujian Nasional. Lebih pentingnya lagi, mereka harus memutuskan “rantai kegalauan” mereka dengan segera menentukan kampus tujuan masing-masing.

Beriringan dengan internasionalisasi pendidikan dan banyaknya kesempatan beasiswa luar negeri, tak sedikit dari teman-teman kelas 12 yang mulai membidik universitas-universitas di ranah mancanegara sebagai tujuan. Walaupun program Sarjana di Perguruan Tinggi Negeri favorit masih menjadi target dominan, cukup signifikannya peningkatan tren studi S1 di luar negeri tidak bisa menjadi topik yang lepas dari bahasan.

Keinginan kuliah di luar dilandasi motivasi beragam: dari yang substansial hingga yang sangat superfisial seperti: (1) agar bisa sering jalan-jalan, (2) untuk mendapatkan prestis kuliah di luar negeri, atau mungkin (3) sekedar ingin “make most of their 20s” dengan merasakan pengalaman yang “berbeda”. Sayangnya, dorongan-dorongan tersebut kerap kali menyebabkan disorientasi disaat para pelajar harus berhadapan dengan realita kehidupan di luar yang tak selalu manis. Permasalahan akan menjadi semakin pelik ketika para pelajar ini TIDAK mendapatkan beasiswa namun tetap keras pendirian untuk tetap berangkat.

Lebihnya lagi, pola pikir para “oknum” ini menyumbang akan terbentuknya image kurang baik atas studi sarjana di luar negeri. Maka sangat disayangkan ketika para penerima beasiswa yang impian studi mancanegaranya benar-benar dilandasi tujuan substansial jadi “terciprat” frame buruk tersebut dan ikut terkena sentilan seperti “Udah lah S1 di sini saja dulu. Mending kamu ke luar negerinya untuk S2 dan S3 saja”. Alasan dibalik sentilan inilah yang akan menjadi topik bahasan dari artikel ini.

Penjelasan yang saya utarakan disini didasari pengalaman studi S1 Hubungan Internasional yang sedang saya tempuh di Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang. Sudah barang tentu bahwa apa yang sampaikan sangatlah subjektif. Maka dalam tulisan ini, saya tidak bertujuan untuk menarik kesimpulan bahwa “mengejar gelar sarjana luar negeri lebih baik dari dalam negeri” atau sebaliknya; melainkan saya akan lebih fokus memberikan gambaran-gambaran studi luar negeri dari pengalaman pribadi saya dan mempersilakan pembaca untuk menarik kesimpulan masing-masing. Berikut adalah poin-poin yang perlu diperhatikan tentang memilih S1 di luar negeri.

Mengasah kemampuan menulis dalam bahasa Inggris



Satu hal yang sangat sesalkan dari pendidikan dasar dan menengah (SD-SMA) di Indonesia adalah miskinnya budaya menulis. Apakah ini “budaya Asia” saya tidak tahu pasti, tapi saya merasa banyak teman-teman dari Tiongkok, Jepang, Vietnam dan negara Timur lainnya  juga mengeluhkan bahwa pelajaran mereka begitu teoritis dan ujian pun berkutat pada soal-soal pilihan ganda sehingga kemampuan menulis sangat jarang dilatih. Tentu terdapat poin plus dari budaya tersebut, semisal pelajar Asia relatif mampu lebih tajam dalam menghitung dan menghafal, namun lemahnya kemampuan menulis argumentatif para pelajar, terutama mereka dari Indonesia, sudah mencapai level yang mengkhawatirkan.

Jujur, saya merasa sangat kaget ketika menjalani semester pertama saya di Jepang; dan poin di atas adalah alasan utamanya. Dosen-dosen saya, yang mayoritas latarbelakangnya adalah tradisi argumentatif milik liberal education di Barat, menuntut kami untuk mahir dalam menyusun tulisan secara ringkas dan koheren. Perbedaan kontras sering saya temui saat membandingkan makalah-makalah sarjana luar negeri dan dalam negeri. Dari segi halaman dan jumlah kata, pelajar Indonesia mampu menulis lebih banyak dari negara lain. Tetapi tulisan tersebut kerap “digemukkan” oleh konten-konten yang sebenarnya tidak relevan, terutama di bagian landasan teori. Referensi tulisan mereka pun sangat minim, karena sumber akademik dalam bahasa Indonesia hanya berkutat di lingkaran yang sama; sebaliknya, buku dan jurnal dalam bahasa Inggris sangatlah berlimpah —tak hanya dari negara Anglocluster seperti Amerika, Inggris dan Australia, tapi juga dari mancanegara— sehingga tulisan mahasiswa luar relatif lebih kaya akan catatan kaki dan kuat akan bukti.

Tajamnya kemampuan menulis argumentatif, terutama dalam bahasa Inggris, tentu selaras dengan skill yang dituntut disaat hendak melanjutkan S2 maupun S3, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada poin ini lah, menurut saya, lulusan S1 luar negeri akan diuntungkan karena mereka telah terbiasa dengan budaya menulis tersebut.

“Membentangkan cakrawala” bukan omong kosong



Ketika membaca artikel dan menonton video berkaitan dengan studi luar negeri, maka akan sangat sering terdengar ungkapan seperti “my life here has been such a milestone”, atau “studying abroad has broaden my horizon” maupun juga “I can now see the world as it really is”. Memang betul bahwa studi di luar membuat kita bisa hidup dengan teman-teman dari berbeda latar belakang budaya, hanya saja ekspresi ini begitu banyak diulang sehingga ia terasa bagaikan klise belaka: hiperbolis, idealis dan terlalu basa-basi.

Namun, pengalaman saya di Kyoto mengajarkan bahwa ungkapan ini tidak sepenuhnya omong kosong. Saya akan ambil contoh kecil berikut. Sejak SMP saya suka dengan Rusia: pada alamnya, alat militernya, dan juga bahasanya. Lalu, pada pesta Halloween yang diadakan asrama internasional saya di Kyoto, saya berkostum dengan koleksi baju ala Rusia yang saya punya dan ketika ditanya kenapa saya berbusana demikian, saya pun utarkan “I just somehow like Russia”. Tak saya duga, ternyata ada yang tampak tersinggung dengan ucapan saya dan ia menyatakan ketidaknyamanannya mendengar saya berkata demikian. “Just, please don’t say that in front of me,” utarnya. Ternyata ia berasal dari Georgia, negara tetangga yang memiliki konflik historis dengan Rusia.

Di luar contoh kecil, saya banyak sekali mendapatkan pengalaman yang membuat saya menjadi lebih peka dan banyak pertimbangan sebelum melakukan suatu tindakan. Ini menjadi lebih terasa saat teringat bahwa saya tinggal di Jepang, dimana pentingnya hubungan komunitas sangat ditekankan. Di kehidupan luar, saya merasa lebih banyak merasa daripada bicara. Titik beratnya adalah disaat kita bisa belajar menjadi minoritas: bagaiman kita menjaga prinsip-prinsip yang menjadi pegangan kita, namun bisa tetap membaur dengan khalayak luas. Di saat kita melatih untuk bisa lebih mawas sendiri, sebanarnya di waktu yang bersamaan kita juga tersadarkan bahwa betapa banyak hak dan kenikmatan yang kita ambil for granted di saat kita menjadi mayoritas selama di Indonesia; bahwa kita bisa benar-benar mengerti pentingnya menjaga kerukunan antara mayoritas-minoritas di negeri sendiri.

Lanjutan artikel ini akan dipublikasikan pada 23 Februari 2017.

Foto: koleksi pribadi penulis.

Show more