2015-03-21

Jujur saja, kali pertama saya menjejakkan kaki di luar Indonesia adalah ketika pesawat Garuda Indonesia yang membawa 40 orang penerima beasiswa  (commonly referred to as ‘scholars’) setanah air ke Singapura untuk studi tingkat Secondary School (SMP). Dari sejak tanggal kedatangan itu, tak terasa 7 tahun sudah berlalu, dan, mengutip ungkapan teman seangkatan, sekarang Singapura terasa lebih  seperti “rumah tetangga” daripada “luar negeri”. Selulusnya kami dari Junior College (setingkat SMA), sebagian teman-teman memilih untuk melanjutkan studi ke Eropa atau Amerika. Ada pula yang kuliah di Australia maupun negara-negara Asia lain seperti Korea. Beberapa memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Tak dapat dipungkiri, sempat terlintas dalam benak saya untuk melanjutkan studi ke manca negara (baca: di luar Singapura dan Indonesia). Namun, biaya yang relatif lebih tinggi dan terbatasnya beasiswa untuk jenjang S1 membuat saya mengurungkan niat dan memilih untuk masuk National University of Singapore (NUS), di mana saya dapat melanjutkan studi di bawah naungan beasiswa ASEAN Undergraduate Scholarship.

NUS – The Prestige

Predikat universitas berpenduduk Indonesia terbanyak di Singapura memang tidak dipegang NUS, namun universitas saya ini menyandang gelar universitas nomor 1 se-Asia berdasarkan QS World University Rankings.

Ini berarti kualitas pendidikan yang tinggi: profesor-profesor yang tak mengenal kata terlambat masuk kelas apalagi cuti mengajar (walaupun tetap selalu ada teman-teman yang mengeluh tentang gaya mengajar profesornya), laboratorium yang cukup lengkap isi dan variasinya, dan sarana belajar-mengajar yang lebih dari memadai.

Food Science and Technology Programme – Ga Cuma Makan Doang

Ketika mendaftar masuk NUS, saya cukup bingung memilih jurusan yang akan saya masuki. Setelah pertimbangan lanjut (melibatkan: a) browsing internet sampai keluar tabs kecil-kecil di layar komputer, b) konsultasi dengan orang tua, c) tanya-tanya senior, dan d) berdoa), saya memutuskan unuk mengambil program Food Science and Technology, atau lebih dikenal sebagai Teknologi Pangan di Indonesia.

Tiap kali saya menjawab “Teknologi Pangan” ketika ditanya mengenai jurusan, sambutan yang paling popular adalah, “Wah enak dong, banyak icip-icip makanan.” Dengan ini saya mau meluruskan miskonsepsi ini. Apakah ada kesempatan makan sebagai bagian dari pelajaran di NUS Food Science and Technology (FST)? Tentunya. Kami mempunyai 3 laboratorium untuk program undergraduate, 2 di antaranya adalah Food Processing Lab (isinya mencakup mixer dan oven ukuran besar serta deep freezer yang suhu dalamnya -40oC) dan Food Engineering Lab (isinya mencakup spray dryer seperti digunakan unk membuat susu bubuk dari susu cair). Di dalam 2 “food labs” (a.k.a. laboratorium makanan) ini, semua perangkat adalah Food-Grade, alias aman untuk digunakan untuk konsumsi makanan. Semester lalu, saya dan teman-teman sekelas membuat wine dan sauerkraut (semacam kimchi) sebagai bagian dari salah satu mata pelajaran kami. Terkadang ada pula studi/ riset mahasiswa-mahasiswa PhD yang melibatkan evaluasi rasa makanan (misalnya: green tea, salmon, cake tanpa telur) di mana mereka mengundang kalangan kampus untuk datang dan menjadi “kelinci percobaan” untuk mengetes produk-produk riset mereka.

Tapi acara makan-makan hanyalah sebagian kecil dalam hidup saya sebagai mahasiswa FST. Kami juga harus berurusan dengan mikroba-mikroba, khususnya yang berkaitan dengan makanan, kimia makanan, dan mekanika dasar untuk memahami cara kerja proses-proses pembuatan makanan di pabrik dari kacamata fisika. Tak lupa, sesi laboratorium hampir selalu diikuti dengan penulisan laporan ilmiah, yang mana untuk menulisnya diperlukan keterampilan mencari, membaca, dan mencerna jurnal-jurnal ilmiah yang bersangkutan dengan topik tersebut. Untungnya, di zaman internet sekarang, NUS Library menyediakan fasilitas online journal database yang sangat ekstensif, sehingga pencarian bahan penulisan laporan dapat dilakukanh di mana saja ada koneksi internet, dan referensi silang antar jurnal pun menjadi lebih mudah.

Industrial Attachment alias Magang di Negeri Kanguru

Salah satu nilai plus NUS yang terutama adalah universitas membuka pintu lebar-lebar bagi mahasiswa untuk mendapat pengalaman di luar Singapura. Semester ini, say berkesempatan menjalani industrial attachment alias magang di Australia. Industrial attachment ini merupakan bagian wajib dari struktur program NUS FST, jadi memang Januari-Mei ini saya dan teman-teman seangkatan tersebar di perusahaan-perusahaan makanan dan tidak ke kampus. Sebagian besar dari teman-teman menjalankan internship atau magang mereka di Singapura, namun saya dan seorang teman berkesempatan melakukannya di Australia.

Seperti rekan-rekan lain sebutkan dalam artikel-artikel di Indonesia Mengglobal, kesempatan pergi ke luar negeri untuk pertukaran pelajar (exchange programme) selalu memberikan perspektif baru dalam kehidupan bermahasiswa dan di masa depan. Saya rasa, program magang di luar negeri pun begitu, jika tidak lebih demikian.

Perusahaan di mana saya magang sekarang adalah anak dari sebuah perusahaan Singapura, dikelola oleh warga Singapura, dan mempekerjakan orang-orang dari berbagai negara. Sejauh ini, saya telah bertemu teman dan supervisor sekantor dari Singapura, Indonesia, Malaysia, Taiwan, Australia, Selandia Baru, Samoa, Nepal, Afrika Selatan, sampai Polandia. Tiap-tiap dari mereka memiliki cara kerja yang unik, tentunya tak lepas dari latar belakang yang beragam. Sebagai seorang intern dari sebuah universitas, saya dan teman saya diharapkan dapat memberikan contoh yang baik kepada operator-operator pabrik, dan pada saat yang bersamaan selalu memiliki attitude haus akan pengetahuan dan pengalaman serta berpikiran terbuka.

Tidak seperti di kampus, di mana hal terpenting mungkin adalah teori dalam pembelajaran, di dunia kerja teori tidaklah berarti tanpa aplikasi, dan aplikasi serta problem-solving skills hanya dapat diperoleh dari observasi dan pengalaman. Mendapatkan kesempatan untuk terjun langsung di lapangan adalah sesuatu yang sangat berharga, terlebih menyadari bahwa sebagai anggota tim Quality Assurance, apa yang saya kerjakan memiliki kaitan langsung dengan keselamatan dan kepuasan konsumen.

NUS—Not as perfect as a dream, but neither it is a nightmare dressed as a day dream

NUS memang bukan universitas sempurna: dia tak lepas dari budaya ‘kiasu’-ism (alias over-kompetitif) ala Singapura, profesor tertentu gaya mengajarnya tidak cocok dengan murid tertentu, dan yang jelas tak ada musim gugur indah ala foto-foto dari unversitas di negara-negara 4 musim. Namun, NUS juga bukan universitas kacangan yang cuma menghisap uang mahasiswanya tanpa pelajaran dan fasilitas sepadan. Kalau ada sesuatu yang mungkin bisa ‘tip the scales’ alias membantu mengambil keputusan, mungkin ini dia: pemerintah Singapura menyediakan tuition grant (subsidi kuliah) untuk semua mahasiswa, sehingga mahasiswa asing pun rata-rata hanya membayar ~SGD 13,000 per tahun. Pastinya, biaya ini jauh dibawah uang yang harus dihamburkan untuk membayar uang sekolah di luar negeri misalnya di Amerika, Australia ataupun Erope. Bayarannya, ikatan kerja 3 tahun di perusahaan yang terdaftar di Singapura (tanpa memotong gaji). Tertarik?

Show more