2015-06-28

Ikhwanesia - Ketika album “Cinta Rasul” (CR) volume pertama dirilis pada 1999, secara mengejutkan terjadi perubahan fenomenal di dunia musik anak-anak Indonesia. Posisi album-album pop yang ketika itu merajai pasar musik Indonesia tergeser oleh album CR yang bergenre religi. Gema lagu-lagu shalawat Haddad Alwi & Sulis merambah sampai ke pelosok-pelosok Nusantara, dan berjuta-juta anak Muslim Indonesia menjadi akrab dan hafal semua lagu dalam album tersebut. Kaset, CD, dan VCD album CR saat itu terjual dalam jumlah jutaan keping ̶ suatu angka yang spektakuler untuk jenis album religi.

Klarifikasi, Benarkah Hadad Alwi Syi'ah?



Sampai dengan album CR volume 3, respon masyarakat Indonesia 100% positif. Tidak ada kritik ataupun protes dari elemen mana pun. Alih-alih protes, kami justru menerima ribuan surat dan telepon dari berbagai pelosok negeri yang intinya mengapresiasi dan mendukung. Bahkan tak sedikit di antara mereka mengungkapkan rasa terima kasih atas kehadiran lagu-lagu shalawat CR karena telah memberi manfaat yang besar bagi pendidikan anak-anak Indonesia. Beberapa kisah dalam surat itu bahkan membuat kami terharu, di antaranya adalah terjadinya perubahan sikap seorang anak yang asalnya keras dan tak mempedulikan orangtuanya, berubah menjadi anak yang hormat, taat, dan berbakti kepada keduanya. Ada pula yang mengaku terus terang bahwa salah satu lagu dalam album CR yang berjudul Al-I’tirof (Sebuah Pengakuan) telah menyebabkan dirinya bertobat dari perbuatan dosa dan maksiat yang dia lakukan.

Memasuki tahun keempat, mulailah muncul komentar dari segelintir orang yang mempertanyakan apakah shalawat yang dilantunkan dengan iringan musik itu dibolehkan dalam Islam atau tidak. Lantas keluar kritik bahwa sebagian lirik lagu-lagu Haddad Alwi diambil dari riwayat atau hadis yang dho’if (lemah). Beberapa waktu kemudian mulai ada komentar bahwa lagu-lagu Haddad Alwi berbau ajaran Syi’ah. Dan puncaknya, pada tahun 2011 keluar tuduhan langsung bahwa Haddad Alwi adalah penganut ajaran Syi’ah dan bahkan belakangan ̶ melalui beberapa situs internet dan spanduk-spanduk jalanan ̶ Haddad Alwi bersama beberapa orang tertentu dinisbatkan sebagai jaringan pendakwah ajaran Syi’ah. Sayangnya, semua pernyataan, penisbatan, dan tuduhan sepihak itu tanpa dilandasi fakta yang benar dan tidak mengacu pada etika Islami.

Saya tidak pernah ditanya langsung atau dimintai klarifikasi (tabayyun) oleh para penulis itu. Dan tanpa etika pula, di dunia internet tulisan-tulisan tersebut justru dicopy-paste oleh sebagian orang di blog-blog mereka maupun di media sosial lainnya (facebook, twitter, dsb). Sebagai korban, saya cuma bisa ber-istighfar sambil berdoa semoga Allah SWT mengampuni para penebar fitnah tersebut yang notabene adalah saudara-saudara saya sendiri. Saya bukan mengkhawatirkan hancurnya karir dan nama baik saya, karena saya percaya bahwa Allah SWT Mahakuasa atas segalanya. Jika Dia menghendaki saya berjaya, maka tidak seorang pun mampu membuat saya celaka. Sebaliknya, jika Allah menghendaki saya hancur, maka tak seorang pun mampu mencegahnya. Melalui tulisan ini saya ingin mengungkapkan kesedihan dan keprihatinan saya, bahwa di tengah kondisi umat Islam yang sedang tertekan, dimandulkan dan “dihabisi” oleh musuh-musuhnya, sebagian penganutnya justru asyik berperang antar-mazhab, doyan mengkafirkan sesama, saling caci, saling tuduh, bahkan saling bunuh antar-saudara.

Berkaitan dengan issue tentang pribadi Haddad Alwi itu, sebenarnya saya tak berminat mengklarifikasinya. Saya bukanlah tipe orang yang suka berdebat atau bersilat lidah, apalagi dalam hal yang saya anggap tidak penting, seperti perdebatan masalah mazhab dan khilafiah (beda pendapat). Selama ini saya memilih diam dalam kasus itu sambil terus beraktifitas seperti biasa: merilis album baru, menghadiri undangan dari berbagai lembaga dan organisasi di banyak kota dan daerah di seluruh tanah air. Tapi beberapa kawan dan kolega kerja saya menyarankan, bahkan setengah mendesak, agar saya memberikan respon atas tulisan-tulisan fitnah yang sudah merebak luas seperti kanker itu.

Menuruti saran dan desakan itu, saya buatlah tulisan ini dengan niat semata-mata demi mencegah sebagian saudara saya dari perbuatan ghibah; agar aktifitas, perbincangan, dan tulisan mereka di media massa (termasuk media sosial) lebih mengarah kepada hal-hal yang bermanfaat untuk kepentingan umat. Sungguh, tulisan ini bukan sebuah pengakuan atau pembelaan diri karena saya sama sekali tidak merasa bersalah dan tidak merasa berbuat kerusakan apa pun. Setelah menulis ini, saya tidak akan melakukan klarifikasi lagi. Bagi mereka yang membaca tulisan ini lalu merasa lega dan menganggap persoalan tentang saya sudah selesai, maka saya ucapkan alhamdulillah. Tapi bagi mereka yang masih mempersoalkan diri saya dan memperpanjang issue ini, maka saya hanya akan berucap “Salam atas kalian” sambil berharap semoga suatu saat mereka berhenti dari perbuatan sia-sia itu.

Inilah otobiografi ringkas saya, agar pembaca punya bahan untuk memahami pribadi seorang Haddad Alwi sebagaimana adanya. Saya dilahirkan dari keluarga Ahlussunnah dan dibesarkan di lingkungan Ahlussunnah. Saya mengecap pendidikan agama dari lingkungan NU dan Muhammadiyah, dan bergaul dengan berbagai komunitas lain seperti Al-Irsyad, Persis, dan sebagainya. Setelah SMA, semasa kuliah, saya berinteraksi dengan lebih banyak lagi golongan, termasuk orang-orang yang bermazhab Syi’ah. Saya belajar Islam dari banyak guru dengan latar belakang yang berbeda-beda. Untuk melengkapi pengetahuan agama, saya membaca bermacam buku dan menyerap informasi dari berbagai kalangan.

Oleh sebab itu, pemikiran dan cara pandang saya terhadap keberagamaan tidak pernah statis, melainkan terus bergerak dinamis hingga saat ini. Hanya satu yang tak pernah berubah pada diri seorang Haddad Alwi (sejak kecil hingga detik ini), yaitu kesukaan dan kecintaan saya kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan shalawat Nabi. Di masa remaja saya sering didaulat untuk membaca tilawah Al-Qur’an atau melantunkan shalawat Nabi dalam banyak kesempatan, karena suara saya dianggap bagus oleh sebagian orang ̶ saya syukuri hal itu hingga kini, karena itulah yang barangkali telah mengantarkan saya kemudian menjadi seorang penyanyi religi dan berkarir di belantika musik Indonesia.

Pada kesempatan ini saya tegaskan, bahwa profesi dan aktifitas Haddad Alwi tidak ada urusannya dengan mazhab apa pun. Dalam setiap penampilan saya di depan publik selama 15 tahun berkarir di dunia musik religi, tak sekali pun saya pernah berdakwah tentang mazhab tertentu. Saya tidak tertarik berdakwah mazhab Syi’ah, bahkan kepada istri dan anak-anak saya sekalipun. Sejujurnya saya merasa bukanlah orang yang ahli dan kompeten di bidang agama, apalagi dalam urusan perbedaan mazhab. Berulang kali saya tegaskan di depan massa bahwa saya bukanlah ustadz, bukan kiayi, bukan pula guru. Di atas panggung, saya juga lebih memilih tidak disebut sebagai artis. Kenapa? Karena saya tak mau ada “jarak” dengan saudara saya, dengan orang-orang yang menikmati lagu-lagu saya, dan dengan hadirin yang menonton tampilan saya serta mendengarkan tuturan hikmah sekadar yang bisa saya sampaikan.

Itulah sebabnya selama ini saya tak pernah punya hambatan tampil di depan massa dari kelompok atau golongan mana pun. Saya sering bershalawat di depan massa NU, Muhammadiyah, di hadapan tokoh-tokoh Persis, Al-Irsyad, dan sebagainya. Saya juga sering diundang dalam acara-acara yang diadakan oleh partai-partai politik seperti Golkar, PAN, PKS, PKB, dan lain-lain. Saya bahkan pernah beberapa kali bershalawat di hadapan para pemuka agama non-Islam (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu). Saya shalat berjamaah di masjid mana saja ketika sedang bepergian ke luar kota, dan berusaha keras untuk bisa rutin shalat 5 waktu di masjid di lingkungan tempat saya tinggal jika tidak sedang bepergian. It is no problem, at all!

Dalam beragama, saya bukan tergolong orang yang berpegang pada sikap fanatisme penuh terhadap mazhab tertentu. Semua ajaran yang saya pandang baik akan saya lakukan meskipun ajaran itu bersumber dari berbagai mazhab yang berbeda. Saya juga berupaya menghindari sikap ashobiyah (yaitu semangat fanatisme golongan, kelompok, partai, atau mazhab sambil mengedepankan kepentingannya sendiri dan melupakan kepentingan yang jauh lebih besar). Ashobiyah itu sebenarnya perilaku jahiliyah, dan Rasulullah saw sangat membenci dan berupaya membuang jauh-jauh tradisi jahiliyah tersebut, sebab ashobiyah itu cenderung membelenggu akal sehat dan menjadi biang perpecahan dan perselisihan di antara kaum Muslimin.

Bagi umat Islam yang hidup di zaman Rasulullah saw, pasti mudah mencari jalan penyelesaian atas perselisihan yang terjadi. Mereka hanya perlu datang dan bertanya kepada Rasulullah, lalu beliau menjawab, dan akhirnya selesai sudah persoalannya. Namun kita yang hidup 15 abad setelah Rasulullah saw hanya bisa memahami ajaran Islam dari Al-Qur’an yang pasti otentik tapi multi-tafsir, plus ribuan riwayat yang diwarnai perbedaan bahkan sebagian bertentangan. Karena itulah muncul beberapa ulama yang akhirnya menjadi imam-imam mazhab.

Nah, Haddad Alwi tidak mau dibelenggu oleh satu mazhab tertentu. Di dalam keadaan seperti ini, kalau kita tidak cermat menggunakan akal sehat dan nurani, siapa yang menjamin praktek keberagamaan kita adalah benar 100%? Faktanya, tidak satu pun di antara para imam mazhab pernah mengeluarkan ucapan jaminan kebenaran itu. Menurut saya, saat ini kita sedang dalam suasana fitnah (guncangan). Lihatlah maraknya perselisihan ummat beberapa tahun belakangan ini di kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan akhirnya di Asia tenggara termasuk Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, ketulusan dan kebersihan hati seraya memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT adalah jalan yang terbaik.

Lalu apa mazhabnya Haddad Alwi?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu saya sampaikan dulu bahwa siapa pun yang sudah berikrar laa ilaaha illallaah, muhammadan rasuulullaah (tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah), maka dia tidak boleh dikafirkan. Kalau dia menyempurnakan diri dengan melaksanakan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Makkah jika mampu, maka kita sebut dia sebagai Muslim seutuhnya, tidak peduli apa mazhabnya. Menurut saya, mazhab itu bukanlah agama karena istilah mazhab tidak dikenal di zaman Rasulullah dan para sahabat. Issue mazhab baru ada ratusan tahun setelah Rasulullah wafat.

Jadi mazhab itu bagi saya sekadar “kendaraan”. Ibarat sebuah perjalanan, kadang orang merasa lebih nyaman berkendara dengan mobil (mobil pun banyak jenisnya). Ada yang memilih bersepeda motor karena alasan lebih praktis dan mudah menghindari kemacetan di jalan raya. Ada pula yang memilih naik sepeda ontel karena alasan lebih baik untuk kesehatan badan. Alhasil, apa pun kendaraannya, bahkan yang memilih tanpa kendaraan alias jalan kaki pun, pada akhirnya mereka akan sampai di tujuan.

Kembali kepada pertanyaan di atas, maka saya tegaskan bahwa Haddad Alwi adalah seorang Muslim bermazhab Cinta ̶ cinta Allah, cinta Rasulullah, cinta umatnya Rasulullah, cinta sesama manusia, dan cinta semua makhluk Allah. Inilah mazhabnya kaum Muslimin terdahulu, mazhabnya keluarga Nabi, dan mazhabnya para sahabat Nabi. Adapun aliran yang dianut Haddad Alwi adalah aliran Persatuan: bahwasanya setiap yang mengaku umat Rasulullah wajib bersatu dalam bingkai la ilaha illallah muhammadan rasulullah, bukan dalam bingkai mazhab A, B, C, atau lainnya; bukan dalam bingkai aliran A, B, C, atau lainnya. Inilah aliran yang dianut oleh kaum Muslimin terdahulu, aliran yang dianut keluarga dan para sahabat Nabi.

Dalam hal persatuan ini, tentu saja maksud saya bukan agar seluruh Muslimin lebur dalam satu mazhab tertentu. Sama sekali tidak, karena hal itu memang sesuatu yang mustahil terjadi sampai kapan pun. Tetapi saya mengharapkan setiap Muslim tidak menganggap Muslim lain yang berbeda mazhab atau aliran sebagai kafir, musuh, dan harus diperangi atau dibasmi. Sebaliknya, jika sudah dalam satu iman, maka setiap Muslim seharusnya berhati legowo, menghormati, dan toleran terhadap Muslim lain yang berbeda mazhab atau aliran. Beda kendaraan aja kok ribut! Saya jadi teringat kalimat yang sering diucapankan Gus Dur (semoga Allah merahmati beliau): “Gitu aja kok repot!”

Dalam hal perbedaan mazhab, marilah kita melihat dan mencermati fakta yang ada dengan pikiran yang jernih dan hati yang bersih.

Saya sarankan masing-masing kita mempelajari lebih dalam lagi apa itu Ahlussunnah (yang biasa dinisbatkan kepada Mazhab Maliki, Hanafi, Hambali, dan Syafi’i) dan apa itu Syi’ah ̶ tentunya dari sumbernya yang otentik dan tidak dilandasi rasa keberpihakan. Dengan pengetahuan yang baik dan benar tentang semua mazhab tersebut, saya yakin kita pasti akan sampai pada kesimpulan yang lebih benar dan lebih adil, jauh dari prasangka dan kebencian. Menurut saya, orang yang bermazhab Ahlussunnah maupun yang bermazhab Syi’ah mempunyai kesempatan yang sama untuk memasuki surga-Nya Allah yang seluas langit dan bumi.

Saya juga percaya bahwa orang-orang yang baik dari kalangan NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, Salafi dan Wahabiy kelak akan saling bertemu di surga, insya Allah. Syaratnya cuma satu, yaitu hati yang bersih, karena di akhirat nanti tidak berguna lagi harta-benda dan anak-anak kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan qolbun salim, hati yang bersih (QS Asy-Syu’aro’ 88-89), yaitu hati yang tawadhu’, yang tidak sombong, tidak merasa paling benar, dan tidak membenci siapa pun.

Memang harus diakui, bahwa dalam setiap mazhab ̶ baik dari kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah ̶ ada sebagian di antara mereka yang berbuat di luar prinsip mazhabnya sendiri. Terhadap oknum-oknum tersebut, jelas kita harus bertindak tegas. Saya tidak setuju dengan oknum Ahlussunnah yang gemar mengkafirkan Syi’ah, sebagaimana saya juga tidak setuju (bahkan tersinggung) dengan oknum Syi’ah yang suka menghina istri dan sahabat Nabi.

Pada dasarnya musuh kita bukanlah orang yang berbeda mazhab atau aliran, bahkan bukan pula orang yang berbeda agama. Kita tidak boleh membenci apa yang tidak kita ketahui dengan pasti. Musuh kita bukan orang Syiah atau Sunnah, bukan pula orang Nasrani, Hindu, Budha, ataupun Konghucu. Musuh kita yang sebenarnya adalah mereka yang bertindak zalim. Siapa pun yang melakukan kezaliman, maka dia menjadi musuh kita, meskipun dia kerabat kita sendiri, atau dia seagama, sealiran, dan semazhab dengan kita. Sebaliknya, orang yang tidak berbuat kezaliman tidak boleh kita musuhi meskipun dia berbeda agama, berbeda mazhab, atau berbeda aliran dengan kita. Bangsa Israel menjadi musuh kita lantaran mereka berbuat zalim terhadap orang-orang Palestina dan kaum Muslimin, bukan karena mereka adalah bangsaYahudi. Artinya, jika Israel menghentikan semua tindak kezalimannya, maka mereka tidak lagi menjadi musuh kita.

Sebagai penutup, saya ingin menjelaskan 2 poin yang kiranya akan mengakhiri tulisan saya ini.

Pertama, menyangkut lagu saya berjudul Ya Thoibah yang belakangan dikatakan oleh orang-orang tertentu sebagai lagunya Syi’ah karena liriknya bersifat ghuluw (berlebihan) dalam memuji Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ya, saya katakan “oleh orang-orang tertentu” karena faktanya hanya sebagian kecil (bukan sebagian besar) orang yang berpendapat begitu. Perlu saya luruskan di sini, bahwa lagu Ya Thoibah bukan ciptaan Haddad Alwi, liriknya pun bukan ciptaan Haddad Alwi. (Catatan: semua lirik lagu Haddad Alwi yang berbahasa Arab bukan ciptaannya sendiri).

Dalam bahasa Arab, Ya Thoibah bisa berarti “Wahai Sang Penawar”, tetapi istilah Thoibah juga digunakan untuk nama lain kota Madinah, sehingga Ya Thoibah bisa juga berarti “Wahai Madinah”. Memang ada beberapa versi lirik lagu Ya Thoibah, meskipun bagian reffainnya sama. Adapun lirik yang saya bawakan itu ciptaan orang Ahlussunnah asal Timur Tengah. Saya hanya menyanyikan ulang lagu itu dengan aransemen musik yang baru agar lebih cocok dengan selera masyarakat Indonesia. Saya tidak mengubah lirik aslinya, melainkan hanya memotong 2 bait bagian depannya dengan alasan agar tidak terlalu panjang.

Dalam wawancara dengan wartawan televisi, saya pernah membeberkan terus terang bahwa lirik lengkap lagu Ya Tahoibah itu berisi pujian untuk Rasulullah, Sayyidina Abubakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, Sayyidina Ali, serta Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Ketika wartawan itu menanyakan mengapa yang saya pilih adalah 2 bait yang terakhir, bukan 2 bait yang pertama, maka saya jawab bahwa nama Nabi Muhammad, Abubakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan sudah dikenal luas di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sedangkan Hasan dan Husein, dua orang cucu Rasulullah yang disebut oleh beliau sebagai “pemimpin para pemuda surga”, masih jarang dikenal oleh kebanyakan Muslim di Indonesia.

Adakah saya bersalah atau berdosa karena mengenalkan Ali bin Abi Thalib dan kedua putranya yang juga cucu-cucu yang sangat dipuji dan dicintai oleh Rasulullah? Jika memotong 2 bait pertama itu dianggap sebuah kesalahan, maka saya memohon maaf kepada masyarakat Muslim Indonesia. Pada album Ramadhan 1435 H mendatang saya akan membayar kesalahan itu dengan membawakan lagu yang liriknya adalah 2 bait pertama yang saya potong itu, insya Allah.

Adapun pujian untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikatakan ghuluw (berlebihan) dalam lagu Ya Thoibah, maka saya menduga hal itu berangkat dari kekurangpahaman orang-orang tertentu. Saya katakan demikian karena dalam sastra Arab ungkapan semacam itu adalah hal yang biasa. Dalam sastra Arab, seringkali ada kata atau frase yang harus dimaknai secara majazi (kiasan), dan saya pikir dalam bahasa lain pun ada kasus semacam itu. Jadi frase minkumu mashdarul-mawaahib (darimu sumber keutamaan) mesti dimaknai secara majazi, bahwa yang dimaksud kalimat itu adalah “Sayyidina Ali bin Abi Thalib memiliki begitu banyak keutamaan; saking banyaknya sampai seakan menjadi sumber keutamaan.” What’s wrong? Kasus semacam ini ada di hampir semua buku maulid seperti Maulid Syariful Anam, Maulid Ad-Diba'i, Maulid Al-A'zab, Maulid Barzanji, Maulid Simtudduror, Maulid Ad-Dia'ullami.

Dalam buku-buku maulid itu, ada kalimat-kalimat yang dianggap ghuluw (berlebihan) oleh sebagian orang, salah satunya adalah ketika Rasulullah saw disebut sebagai nuurun fauqo nuurin (cahaya di atas cahaya). Kalimat ini dianggap menyamai sifat yang selayaknya hanya milik Allah SWT seperti tersebut dalam Al-Quran surat An-Nur ayat 35 (nuurun ‘alaa nuurin = cahaya yang melingkupi cahaya). Memang, jika kalimat-kalimat sastra itu harus dimaknai secara tekstual saja, maka saya pastikan beratus-ratus karya sastra terkemuka, termasuk semua buku Maulid Nabi yang sudah berusia berabad-abad itu, begitu pula lagu-lagu shalawat yang telah mewarnai dunia musik kita, akan hilang dari peredaran dan sirna dari pendengaran kaum Muslimin. (Tampaknya inilah yang dinginkan sebagian kalangan tertentu).

Kedua, berkaitan dengan kehadiran saya di lokasi pengungsian komunitas Syi’ah di kota Sampang, Madura. Saya tegaskan bahwa saya diundang oleh panitia relawan yang mengurusi para pengungsi Syi’ah itu untuk bershalawat dan menghibur anak-anak dan orangtua mereka yang mengalami trauma dan tekanan psikologis ̶ sebagian di antara mereka bahkan mengalami stress berat. Karena saya tidak menganggap orang Syi’ah itu kafir (sampai kapan pun saya tidak akan mengkafirkan Syi’ah), maka tidak ada alasan bagi saya untuk menolak undangan itu. Jangankan orang Syi’ah, andaikata saya diundang oleh komunitas Nasrani, Hindu, Budha, atau Konghucu untuk hal semacam itu, maka dengan alasan kemanusiaan saya akan hadir juga.

Di hadapan para pengungsi Sampang itu saya hanya memberikan penghiburan dengan mengajak mereka melantunkan shalawat Nabi sambil menenangkan hati mereka agar kuat secara mental dalam menghadapi musibah atau cobaan itu. Saya juga memberikan nasihat agar mereka menghapus kebencian dan memaafkan semua orang yang berlaku aniaya terhadap mereka. Dalam kesempatan itu saya sama sekali tidak berbicara tentang mazhab, dan memang kehadiran saya itu tidak ada kaitannya dengan mazhab.

Lalu di mana letak kesalahan saya?

Saya menduga ada sebagian golongan umat Islam saat ini yang memegang prinsip-prinsip sebagai berikut:

• Syi’ah itu sudah pasti kafir.

• Siapa yang tidak mau mengkafirkan Syi’ah berarti dia adalah Syi’ah.

• Siapa yang bergaul dan berbaikan dengan orang Syi’ah, maka dia adalah Syi’ah.

• Siapa yang memuji tokoh-tokoh yang biasa dipuji oleh orang Syi’ah, maka dia termasuk golongan Syi’ah.

• Siapa yang memiliki kerabat Syi’ah, maka dia layak dianggap sebagai Syi’ah juga.

Kalau kita amati lebih cermat, stigmatisasi semacam ini ada kemiripannya dengan kasus PKI di masa Orde Baru. Di zaman itu, sedikit saja kita bersentuhan dengan orang atau atribut yang berbau PKI, maka serta-merta kita akan dicap sebagai PKI, lalu dicarikan alasan untuk dipenjarakan atau bahkan dibunuh tanpa diadili.

Saya sedih, ngeri, dan jijik membaca dan melihat tayangan media yang mempertontonkan tindak kebrutalan dan kebiadaban orang-orang yang mengaku Islam. Dengan menyebut asma Allah mereka saling membunuh, memotong kepala, dan mencabik-cabik jasad. Siapa yang mereka teladani? Apakah perbuatan semacam itu dapat dinisbatkan kepada Islam? Mengapa agama suci ini dirusak dengan karakter-karakter manusia yang keras, kasar, intoleran, tak kenal ampun, pemarah, pendendam, kejam, bengis, dan bernafsu untuk menghabisi orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka?

Klarifikasi, Benarkah Hadad Alwi Syi'ah?

Kita adalah pemeluk sebuah agama yang dari segi namanya saja (Islam) berakar dari kata salama (kedamaian; keselamatan). Tuhan kita adalah Allah, Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, Mahasabar, dan Maha Pemaaf; yang kemurkaan dan azab-Nya pun bukan berlandaskan kekejaman atau kezaliman, melainkan disebabkan kasih-sayang-Nya jua. Nabi kita adalah Muhammad, insan paling mulia, kekasih Allah; seorang manusia yang kita dapati tak pernah berbohong, tak pernah bertindak zalim, tak pernah mencela, tak pernah menghina, lembut bertutur kata, rendah hati, pemaaf, penyabar, dan menyandang sederet kemuliaan akhlak lainnya. Tidakkah seharusnya kita menjadi Muslim yang selalu berkaca dengan fakta-fakta tersebut di atas?

Sebaiknya kita sudahi hingar-bingar ini. Mari kita kembali kepada jati-diri Muslim yang sejati, menghiasi agama Islam dengan menjadi pribadi yang lembut dan senantiasa menebarkan kedamaian. Saya, Haddad Alwi, mencintai seluruh kaum Muslimin tanpa memandang perbedaan bangsa, suku, mazhab, aliran atau partai mereka. Dengan rendah hati saya maklumkan: inilah Haddad Alwi sesuai apa adanya. Biarkan saya seperti ini. Kalau prinsip yang saya pegang ini adalah benar, maka sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Allah semata-mata. Tetapi jika prinsip yang saya pegang ini salah, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang terpendam di hati insani; semoga Dia berkenan mengampuni. Klarifikasi, Benarkah Hadad Alwi Syi'ah?

Show more