2014-08-30

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 2A/?
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Bahasa! Male x Male
A/N: Saia bagi jadi dua part chap 2 nya, karena terlalu panjang xD tapi terlalu pendek untuk jadi 2 chapter. Part-2 nya saia post nanti malam atau besok (masih dalam tahap penyelesaian) xD

×÷~虎の瞳~÷×

“EEEEHH!!!”

Aku hanya menatap datar laki-laki kecil pirang itu seperti terkejut sambil menunjuk ke arahku. Nao sedikit telat datang hari ini, dia bilang ada sedikit urusan dan memintaku menggantikannya di konter hanya sampai dia datang nanti.

“Sejak kapan kau jadi bartender di sini? Mana Nao?” tanya Hiroto terlihat tak senang.

“Aku hanya menggantikannya untuk sementara, dia telat datang hari ini,” jawabku sambil melap meja konter.

“Aku baru tahu kau bekerja di sini.”

“Aku juga baru tahu kau suka datang kemari,” responku, masih sibuk membersihkan konter. Dan entah cuma perasaanku saja, sepertinya ada sepasang mata yang menatapku dengan cukup intens, dan aku tahu kenapa.

“Serius! Aku tidak tahu dia bekerja di sini, padahal aku suka tempat ini. Kalau kau tidak suka, kita bisa cari tempat lain!”

Aku mendelik Laki-laki raven yang berdiri di belakang Hiroto yang ternyata juga masih setia menatapku dengan sarkastiknya. Dua minggu yang lalu aku menumpahkan jus orange di atas kepalanya, bertemu denganku di waktu bersenang-senangnya seperti ini pasti hal yang menyebalkan untuknya, dan ya... sama halnya juga denganku. Tapi dia yang datang ke tempatku, bukan aku yang mendatanginya. Jadi kalau dia tidak suka, dia bisa pergi...

“Tidak apa-apa.”

Aku sedikit menaikan satu alisku. Dengan memilih untuk tidak pergi, apa dia merencanakan sesuatu? Ingin balas mempermalukanku misalnya? Dengan cara apakah? Ck! Terserahlah!
Aku kembali melanjutkan kegiatanku membersihkan konter.

“Oh, ok.” Hiroto mengambil posisi duduknya di bar stools yang kemudian disusul Amano. “Oi, kau yakin bisa meracik minuman?” Si pirang kecil itu mengerutkan dahinya tak yakin.

Aku menepuk-nepukan kedua tanganku mengakhiri acara bersih-bersihku dan kembali memfokuskan perhatianku pada dua orang tamu pertamaku malam ini, “aku tidak akan berdiri di sini kalau aku tidak bisa melakukannya,” jawabku berusaha sepercaya diri mungkin, meski sebenarnya aku hanya bisa meracik beberapa koktail klasik dan bir saja. Mungkin untuk selanjutnya, aku harus minta Nao untuk mengajariku lebih banyak lagi.

“Kalau begitu buatkan aku Mojito!”

Aku sedikit menghela nafas lega. Kupikir si kecil itu akan mengujiku dengan memesan minuman yang bahkan mungkin tak pernah kudengar namanya. Tapi syukurlah dia hanya memesan koktail klasik yang sudah sangat kukuasai peracikannya.

“Sebelum itu, boleh kulihat KTP-mu?”
“Apa?” Hiroto mengernyitkan dahinya.
“minimal usiamu harus 20 tahun untuk bisa menikmati minuman di sini.”
“Aku 20 tahun! Dan ini bukan pertama kalinya aku kemari !” si kecil sewot.
“Ho, kupikir kau anak SMP,” aku menggulir bola mataku, sedikit mengejek.
“Brengsek kau!”

Aku mengabaikan Hiroto dan beralih pada orang di sampingnya yang terlihat sedang menyalakan pematik untuk menyulut rokok di mulutnya, “tuan kalangan atas yang di sana?” tanyaku sambil menaikan satu alisku, sedikit menyindir. Kalau atasanku tahu aku bicara begitu pada tamu, dia bisa memotong gajiku.

“Bir,” jawabnya singkat sambil menarik rokok yang sudah terbakar dari mulutnya, “Vienna Lager.”

Aku kembali merasakan kelegaan dalam hati, “pesanan kalian segera siap!” ucapku sebelum menuangkan bir dan meracik koktail sesuai dengan yang mereka minta. Tapi kemudian aku hampir menjatuhkan minuman di tanganku saat sedang berusaha pamer kemampuanku me-mixing koktail dengan gayaku sendiri. Bukan karena aku gugup atau karena Hiroto yang melihatku dengan tatapan tidak percaya. Tapi, selintas aku melihat sudut bibir Amano terkembang tipis saat dia menyeruput birnya sementara kedua matanya menatap kearahku.

Apa itu? Dia mengejekku?
Apa itu artinya dia bisa melakukannya lebih baik dariku?

“Berbeda dari racikan tangan Nao, tapi... lumayanlah,” Hiroto berkomentar setelah meneguk koktailnya. Aku mengucapkan 'thanks' dengan nada malas dan si kecil itu malah mengabaikanku. Aku lihat Hiroto mulai mengajak Amano ngobrol dan aku hanya kembali membersih-bersihkan meja konter dan botol minuman. Aku tidak bermaksud menguping, tapi yang aku tangkap dari obrolan mereka ternyata si kecil itu sudah berteman dengan Amano sejak dulu. Entah sejak kapan, tapi si pirang yang hobi pamer mobil itu sedang mengenang masa SMP-nya dengan orang di sampingnya itu saat tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki tua gemuk memasuki bar.

“Selamat datang!” sambutku berusaha seramah mungkin.

“Oh,” laki-laki tua itu sedikit tersenyum lalu duduk di bar stools,“aku baru melihatmu anak muda, apa kau baru di sini?” tanyanya.

“Tidak, aku hanya menggantikan temanku untuk sementara. Aku biasanya bekerja di belakang,” jawabku. Aku merasakan aura yang tidak menyenangkan dari tamu keduaku itu. Matanya terlihat seperti tua bangka yang mesum.

Laki-laki itu sedikit mengangguk, “baiklah, kalau begitu buatkan aku Vesper Martini!”

Oh! oh! Tidak bagus.
Nao tidak pernah mengajariku cara meracik koktail yang satu itu.

Aku menelan ludahku paksa, kalau aku mengatakan terus terang kalau aku tidak bisa membuatnya, apa tamu itu akan marah?
Nao brengsek cepatlah kau datang!

“Aa... Ano, sebentar lagi Nao akan datang, kalau anda bersedia menunggu—”

Laki-laki tua itu sedikit mengernyitkan dahinya, “kau tidak bisa?”

Aku mendelik Hiroto yang terkikik terlihat puas dengan ketidakberdayaanku di depan laki-laki tua itu, padahal sebelumnya aku begitu percaya diri di depan si pirang itu.

“Haha... baiklah, karena kau anak muda yang manis aku memaafkanmu.”
“Hah?”
“Ambilkan aku red wine!” suruhnya.
“Oh,” aku sedikit mengangguk dan segera menuangkan pesanannya.
Tunggu! Dia bilang aku manis? Selain mesum, apa dia juga tua bangka yang gay? Yuck!

Aku benar-benar merasa tidak nyaman saat laki-laki tua itu menatapku seperti sedang mengobservasi sesuatu. Aku berpura-pura menyibukan diriku melap botol-botol minuman dan saat tanpa sengaja aku melirik ke arah Hiroto dan Amano, aku lihat Amano melihat ke arah laki-laki tua itu dengan ekor matanya, dengan tatapan aneh. Sementara Hiroto asik berkicau di sampingnya. Dan saat Amano sadar aku melihat ke arahnya, kami sempat bertemu pandang namun dia segera kembali memfokuskan dirinya pada Hiroto yang sempat ia abaikan.

Kenapa orang itu?

“Hei anak muda, kau terlihat sangat atraktif, kau punya tampang dan penampilan yang sangat mendukung untuk jadi seorang idola, apa kau sadar?” Laki-laki tua itu tiba-tiba memulai.

“Huh? Idola?”

Oh, aku tahu aku ini keren dan sempat terpikir juga untuk jadi seorang model. Dan tua bangka saja tahu aku layak untuk jadi seorang idola haha... maksudku, kalau ada peluang, kenapa tidak?

“Apa kau berminat untuk jadi seorang aktor GAV?”

Hah?

BRUUUUUUFFTT!!

Aku refleks menoleh ke arah Amano yang tiba-tiba saja menyemburkan bir dari mulutnya.

“Tora, kau tidak apa-apa?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”

Kenapa dia? Apa dia sedang mengejekku karena baru saja ditawari untuk jadi aktor... APA?! GAV?!

“Aku adalah produser di production house xxx.” Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku kemejanya dan menaruhnya di atas meja konter. “Percayalah, Kau akan mendapatkan bayaran yang sangat tinggi untuk satu kali berperan dalam filmku. Plus, kau punya wajah tipe uke yang selama ini kucari-cari.” Ucapnya tertawa aneh.

Uke gundulmu!
Sebesar apapun bayarannya, aku tidak akan tergiur kalau aku harus mempertontonkan adegan vulgar dengan sesama jenis. Membayangkannya saja sudah membuat perutku mual.

“Maaf, tapi aku hanya tertarik pada wanita,” jawabku, berusaha tersenyum.

“Haha... Kau tidak harus seorang gay untuk menjadi aktorku.”

“Maaf, tapi aku tidak tertarik,” ucapku tegas, berusaha mengakhiri pembicaraan tidak menyenangkan itu. Aku lihat Hiroto masih asik terkikik mentertawakanku. Brengsek!

Dan aku bersyukur karena tidak lama kemudian Nao datang saat tua bangka itu terus berusaha membujukku, mengiming-imingi dengan penghasilan yang kuakui luar biasa tapi tetap saja aku tidak tertarik. Dan dengan tiba-nya Nao, membuatku bisa melarikan diri dari tua bangka itu.

“Aku tidak tahu kalau kau dan Hiroto satu universitas. Padahal dia cukup sering kemari,” Nao duduk di sebuah bangku, mengistirahatkan dirinya setelah menutup bar dan membersihkan konter. Sementara aku belum selesai dengan aktivitasku mencuci gelas-gelas.

“Aku tidak akrab dengannya, kami berbeda jurusan tapi sepertinya dia mengenalku lewat reputasi playboyku.”

Ya, aku terkenal dengan julukan itu. Meski aku tidak dengan sengaja ingin membuat orang mengenalku seperti itu. Aku hanya menjadi diriku sendiri, apa adanya. Dan apa adanya diriku ternyata memang seperti itu.

“Oh ya, thanks untuk malam ini Takashi,” Nao memasukan sesuatu ke dalam saku celana jeansku kemudian menepuk-nepuknya sambil tersenyum. Aku sedikit mengernyitkan dahi sambil segera merogoh saku jeansku dan aku mendapatkan sejumlah uang di tanganku dari sana.

“Malam ini aku dapat uang tip yang cukup lumayan,” katanya sambil mengedipkan satu matanya.
“O..oh, thanks,” aku menepuk satu lengan Nao dengan tangan basahku dan kelihatannya dia tidak suka itu. Ya, seorang bartender kadang mendapatkan uang tip dari tamunya sebagai penghasilan tambahan karena kami para pekerja di bar hanya mendapatkan upah minimum. Dan Nao kadang membagi penghasilan uang tipnya padaku jika pendapatannya cukup besar. “Eh? tidakkah ini terlalu besar untukku?” tanyaku setelah benar-benar tahu berapa besar jumlah uang di tanganku. Itu hampir 3x lipat dari biasanya Nao memberiku.

“Teman Hiroto, eh siapa? Tora? Dia memberikan uang tip yang cukup besar. Dan yang melayaninya kan kau, jadi itu milikmu!”

He?

“Aku terkejut karena ... padahal baru pertama kalinya dia datang kemari.”

Aku sedikit menggulir bola mataku malas.
Pasti orang satu itu cuma ingin pamer.

“Hiroto bilang dia juga kuliah di universitas yang sama.”
“Ya,” jawabku malas sambil melap tanganku dengan handuk kecil kemudian membereskan gelas-gelas yang baru selesai kucuci.
“Kau mengenalnya?”
“Dia mahasiswa baru yang cukup terkenal di kampusku. Sebelumnya dia tinggal di Inggris.”
“Hmm... kulihat wajahnya memang seperti wajah campuran, mungkin ayah atau ibunya orang Inggris?”
Aku menoleh pada Nao, sedikit berpikir, “Entahlah,” aku sedikit mengangkat kedua bahuku.
“Kenapa dia pindah kuliah di sini? Bukankah seharusnya di Inggris lebih bagus?”
“Aku tidak tahu,” aku kembali mengangkat kedua bahuku, tak perduli.
“Apa kau memperhatikan? Kupikir dia punya mata yang unik.”
Aku melirik Nao, “kau seperti tertarik dengannya?”
“Hei, hei! Dia sudah memberiku uang tip yang besar haha...”

Aku sedikit memajukan bibir bawahku mengejek Nao sambil mengambil tas gendongku, mengeluarkan baju ganti yang akan kupakai untuk pulang sementara Nao terlihat masih asik mengistirahatkan dirinya.

“Ngomong-ngomong soal matanya... Dulu aku punya teman dengan mata yang sama seperti miliknya,” gumamku tiba-tiba.
“Benarkah? Lalu dimana dia sekarang?” tanya Nao.
“Dia temanku di panti asuhan ketika di Koriyama dulu,” Nao sudah tahu aku pernah tinggal di panti asuhan sejak kecil. Aku sudah cukup banyak cerita padanya tentang kehidupanku, aku cukup terbuka padanya . “Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya sejak dia diadopsi sepasang suami istri kaya raya. Dia juga sama sekali tidak pernah memberi kabar lagi ke panti asuhan sejak terakhir aku bertemu dengannya.”
“Dia teman baikmu?”
“Tidak, tapi... keluarga yang mengadopsinya bermarga Amano sama seperti si Tora itu. Tapi nama temanku Shinji dan... mata mereka, kupikir benar-benar mirip,” aku sedikit menghela nafas mendudukan diriku lemah di bangku di samping Nao dengan baju ganti di tanganku.

“Apa kau berpikir kalau Tora mungkin temanmu?” Nao menoleh kearahku dengan satu alis terangkat.
“Mungkin... iya, mungkin juga tidak,” jawabku malas.
“Tapi kemungkinan itu bisa saja terjadi.”
Aku sedikit mengangguk lemah,“ya, aku sudah tanya langsung padanya.”
“Sudah kau tanyakan? Bagaimana?” tanya Nao terlihat penasaran.
“Dia sama sekali tidak mengenalku ataupun ingat tentang Sumire, maksudku... mungkin dia memang bukan Shinji? Tapi jika memang seandainya dia benar Shinji, berarti dia memang sengaja tidak ingin mengenalku lagi,” aku sedikit tersenyum hambar, “ya, aku kalangan rendah sih.”
Nao terlihat sedikit prihatin, “apa kau tidak berpikir... mungkin dia kehilangan ingatannya atau apa? haha .. .” Aku menoleh pada Nao, sedikit terkejut dengan apa yang baru kudengar, “kau bilang dia sama sekali tidak memberimu kabar selama ini. Kau tidak tahu kan apa yang terjadi dengannya selama kalian tidak saling bertemu,” Nao mengangkat kedua bahunya.

Aku tidak pernah terpikirkan sampai ke situ. Mungkin... itu memang bisa saja terjadi. Dan jika memang benar dia kehilangan ingatannya, lantas aku mau apa? Berusaha membuat dia ingat kembali? Untuk apa? Supaya kami bisa saling bernostalgia tentang masa lalu?

Ck! Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kuinginkan. Tapi aku tetap penasaran. Setidaknya dia harus mengingat Sumire dan Naomi-san.

×÷~虎の瞳~÷×

“Saga, aku ingin kau!”

Aku menatap perempuan yang sudah berdiri di depan bangkuku kemudian menoleh pada Shou di sampingku yang hanya mengangkat kedua bahunya kemudian dia berdiri dari bangkunya dan beranjak keluar, meninggalkan hanya aku dan perempuan itu yang tersisa di dalam kelas.

Momomiya Hana.

Dia teman satu jurusanku yang terlihat menaruh hati padaku sudah sejak lama. Aku hanya sadar, dia selalu memperhatikanku. Tanpa sengaja aku sering memergokinya melihat ke arahku baik itu saat dalam kelas atau dimanapun. Kupikir tidak ada salahnya mencoba menjalin hubungan dengannya. Dia perempuan yang cukup manis meski tidak secantik dan sepopuler Risa.

Sebenarnya aku sudah cukup lama berhubungan dekat dengannya, bahkan jauh sebelum aku putus dengan Risa... err Yukari dan Fubuki. Aku memang sudah memprediksikan hubunganku dengan mereka memang tidak akan bertahan lama. Tapi bicara kenyataan, kupikir hubunganku dengan Risa adalah yang paling lama diantara yang lainnya. Karena dia cewek yang cukup populer di universitas ini, banyak orang yang mengatakan kalau kami serasi dan entahlah, aku merasa sedikit nyaman dengan itu.

“Pikiranmu tidak bersamaku kan?” Hana mengernyitkan dahinya menatapku. Oh, benar. Bahkan aku tidak sadar kapan dia duduk di lahunanku. “Saga~” dia mencubit perutku membuatku sedikit cengir.

“Benar, karena diriku yang bersamamu, bukan pikiranku.” Aku sedikit tertawa kecil.
“Tapi aku ingin pikiranmu juga bersamaku,” Hana merengut.
“Hm... baiklah, kalau begitu bagaimana kalau pikiranku bersamamu tapi diriku tidak?”
Hana mengernyitkan dahinya, “Apa maksudmu? Bagaimana itu? Aku tidak mau! Aku ingin dua-duanya!”
“Haha...” Aku tertawa sementara Hana sedikit mengembungkan kedua pipinya seperti anak kecil. Dan kemudian dia melingkarkan kedua tangannya di leherku, membuat wajah kami hanya berjarak beberapa senti saja.

“Cium aku!” pintanya.
Aku tersenyum, melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya, “dengan senang hati.” Ucapku sesaat sebelum meraih bibirnya dengan bibirku.

Hana bukanlah cewek yang hebat dalam hal berciuman, aku pernah mengencani beberapa cewek yang skill(?)nya jauh dari cewek satu ini, dan Risa adalah salah satu dari mereka. Tapi aku menikmatinya saat Hana berusaha mengimbangiku tapi tetap saja dia masih terlalu mentah jika melawanku.

“SAGA!!”

Aku sontak membuka mataku dan sesi ciuman panasku dengan Hana pun harus berakhir karena mendengar suara bentakan yang bagitu familiar di telingaku. Hana segera turun dari lahunanku, terlihat sangat terkejut melihat Risa sudah berdiri di depan kelas dengan wajah yang memerah karena... dia marah?

Ngomong-ngomong, sedang apa dia di sini?

Risa dengan cepat menghampiriku, oh tidak! Dia menghampiri Hana dan menjambak rambut panjang perempuanku itu.

“Risa, apa yang kau lakukan?” Aku berusaha menghentikannya menganiyaya Hana namun dia malah berbalik menamparku. Untuk apa itu?

“Brengsek! KAU BENAR-BENAR BRENGSEK!!” Dia hendak mencakar wajahku tapi aku menghentikannya sebelum kedua tangannya mencapai wajahku.
“ADA APA DENGANMU?” Aku sedikit membentaknya. “Apa yang kulakukan?”
“KAU BERCUMBU DENGAN PEREMPUAN ITU!!” Dia balas membentak, terlihat geram.
“Ya, dan apa masalahmu? Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi,” aku sedikit mengernyitkan dahi, “terserah apa yang mau kulakukan, itu tidak ada hubungannya denganmu!”

“KAU—” Risa terlihat mengepal kedua tangannya begitu kuat, berusaha menahan amarah, “Kau akan menyesal !” ucapnya geram sesaat sebelum beranjak meninggalkanku dan Hana yang kebingungan.

“Kau tidak apa-apa?” Aku menoleh pada Hana di sampingku.
“Aku tidak apa-apa,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
“Lucu?”
“He?”

Aku tersenyum menggelengkan kepalaku menjawab kebingungan perempuan di sampingku.

Lucu. Ya.

Kupikir Risa memutuskan hubungan denganku karena memang dia sudah tidak tertarik denganku. Maksudku... Dia memutuskan hubungan denganku hanya karena aku menolak berhubungan sex dengannya. Tapi melihat bagaimana reaksinya baru saja... mungkin pemikiranku salah? Lalu apa maksudnya dia nempel-nempel pada Amano? Apa hanya ingin membuatku cemburu?

Itu lebih lucu.

×÷~虎の瞳~÷×

“Saat pulang kemarin Watanabe Risa menanyakanmu.”
Aku melirik Shou yang berjalan di sampingku. Tidak sengaja kami bertemu di pintu masuk, kupikir tidak ada salahnya masuk kelas bareng dengannya, “oh, jadi kau...” aku mendelik.
“Apa aku melakukan kesalahan?” tanyanya inosen.
“Ya, kau mengacaukan sesiku bersama Hana,” jawabku malas.
“Oh. Aku tidak peka,” Shou menganggukan kepalanya.

Dia bahkan tidak minta maaf.
Aku ingin menjitak orang satu ini!

“Memang, apa yang dia lakukan?”
“Dia ngamuk saat melihatku bersama Hana,” aku sedikit menghela nafas, “lagipula untuk apa juga dia menemuiku lagi? Padahal dia selalu sinis padaku sejak kami putus,” aku kembali menoleh pada si kaca mata, “kau pasti berpikir, mungkin dia masih mengharapkanku, ya kan?” aku menaik-turunkan alisku dengan iseng.
“Itu pikiranmu!” Shou berwajah datar.
“Tapi siapapun pasti akan berpikiran begitu kan?”
“Aku tidak.”
“Baiklah, siapapun kecuali kau—”

Tiba-tiba aku melihat makhluk pirang kecil berjalan melewatiku dan juga Shou. Dan mendadak aku merasakan sebuah dorongan untuk menarik tas gendongnya. Dan aku melakukannya, membuat si kecil itu kebingungan.

“Mau apa kau .... Calon aktor GAV?” Hiroto mengernyitkan dahinya.
Kalau saja aku sedang tidak ada maunya, kutonjok dia. Tapi tahan! Aku butuh sedikit informasi darinya.

“Aa... aku tidak akan minta uang atau apapun yang akan menyusahkanmu, ok? Aku hanya butuh jawaban! suaramu! ingatanmu! kejujuranmu!”
“Bicara apa dia?” Hiroto menunjukku, bertanya pada Shou.
“Abaikan dia!” Shou melengos meninggalkanku dan si pirang kecil itu.

Ok, aku sendiri tidak tahu apa yang kubicarakan.

Dan oh! aku melihat si kaca mata itu mengedipkan satu matanya ke arah Hiroto sebelum dia pergi. Aku sedikit merinding melihat orang dengan kepribadian sepertinya melakukan itu.

“Kau berteman dengan Amano sejak?”
Hiroto mengernyitkan dahinya cukup lama, terlihat bingung, “aku pernah satu kelas dengannya ketika SMP.”

Oh, bagus.

“Kenapa kau bertanya?”

Abaikan! Aku hanya butuh jawabannya untuk pertanyaanku yang satu ini, setelah itu aku tidak berniat berhubungan dengannya lagi. “Apa kau pernah dengar Amano pernah kecelakaan atau ada sesuatu besar yang menghantam kepalanya sampai dia kehilangan ingatannya?”

Aku penasaran dengan itu.

“Tidak.”
“Benarka—”

Tunggu! Mulut Hiroto tidak bergerak sama sekali, dan suara barusan bukanlah suaranya.

“Aku tidak hilang ingatan, aku tidak pernah kecelakaan dan tidak pernah ada sesuatu besar yang menghantam kepalaku.”

Aku sedikit menelan ludahku paksa. Mengikuti kemana arah mata Hiroto menatap, dan aku menemukan laki-laki raven itu sudah berdiri di belakangku.

“O-oh, ok...” aku sedikit menganggukan kepalaku lemah dan segera beranjak dari sana dengan langkah cepat untuk melarikan diri. Memalukan sekali aku ketahuan menanyakan tentangnya pada temannya, seakan-akan aku adalah seorang penguntit.

Namun sialnya dia berhasil menarik hoodie jaketku membuatku mengurungkan niatku sejenak untuk melarikan diri.

“Apa kau begitu penasaran denganku?”
“Tidak, hanya saja... kau tahu, kau mengingatkanku pada teman lamaku.”
“Kalau aku teman lamamu, lantas kau mau apa?”

Aku mau apa? Aku juga tidak tahu.

“Aku akan memberimu sedikit pelajaran karena tidak pernah memberi Naomi-san kabar dan melupakan Sumire dan semua orang di sana.”
“Memberiku pelajaran?” Dia sedikit menyunggingkan senyuman sinis dan aku tidak suka itu. “Benar, aku Shinji.”

Eh?!
APA??!!

Tunggu! Benarkah? Laki-laki dengan kesempurnaan di hadapanku ini sungguh benar-benar Shinji? Si cengeng dan culun itu?
Aku mungkin berpikir kalau dia mungkin Shinji, tapi tetap saja 'dia benar-benar Shinji' itu masih sulit kuterima.

“Kau benar -benar Shinji?” tanyaku untuk lebih meyakinkan lagi.
“Ya. Lalu, kau ingin memberiku pelajaran dengan cara apa?” tanyanya sambil menaikan satu alisnya, terdengar menantang.

Aku sedikit menghela nafas. Tetap saja sulit untuk kuterima.

“Pertama, aku ingin mendengar alasanmu kenapa kau berpura-pura tidak mengenalku,” aku menatap kedua mata ganas itu berharap dia memberikan alasan yang masuk akal dan setidaknya enak untuk kudengar.

“Karena aku memang tidak ingin mengenalmu.”

Oh.

“Aku tidak pernah berharap kau muncul lagi dalam kehidupanku.”

Entah kenapa aku merasa dadaku seperti mengkerut mendengar jawabannya.
Aku tahu mungkin dia memang membenciku, tapi ... sebenci itukah?
Atau itu karena dia sudah punya segalanya? Seperti yang dia bilang, dia tidak ingin berhubungan dengan kalangan rendah.
Ya, Aku adalah kalangan rendah.

“Aku mengerti jika kau membenciku. Tapi apa salah Naomi-san? Kenapa kau tidak pernah memberinya kabar sama sekali? Dia selalu mengkhawatirkanmu.”

Dulu aku selalu dibuat iri olehnya. Aku masih ingat ketika Naomi-san membawanya, tepat satu tahun sebelum akhirnya kedua suami istri kaya itu mengadopsinya. Dia selalu mendapatkan perhatian lebih dari Naomi-san karena kecengengan dan kelemahan tubuhnya itu. Padahal aku lebih dulu, aku lebih lama berada di panti asuhan jauh sebelum dia. Tapi Naomi-san selalu lebih memprioritaskannya daripada yang lain.

“Naomi-san pernah berusaha menghubungi keluargamu tapi ibu angkatmu bilang kau tidak ingin bicara dengannya sampai akhirnya Naomi-san kehilangan kontak dengan keluargamu.”

“Aku hidup di saat ini, dan aku tidak suka membicarakan masa lalu. Kalian hanyalah bagian dari masa lalu yang kubenci.”
“Apa?!” Aku tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dia akan sangat menyakiti Naomi-san jika saja Naomi-san mendengarnya. “Apa karena kau sudah punya segalanya sekarang? Apa kau takut semua orang tahu kalau kau anak angkat keluargamu? Bahwa dulu kau orang yang patut untuk dikasihani? Sangat jauh dari keadaan sekarang?”

“Jika aku bilang ya, apa kau akan berhenti menjadi stalkerku?”

Aku mengepal kedua tanganku kuat-kuat. Rasanya gatal ingin kulayangkan ke wajah sok-nya itu. Tapi aku menahannya. Aku tidak ingin membuang-buang tenagaku. Itu adalah hidupnya, dia mau bagaimana dan mengapakan hidupnya, bukanlah urusanku. Kenapa aku harus perduli? Jika memang dia tidak ingin mengenalku, maka aku juga hanya perlu tidak mengenalnya. Aku tidak akan rugi menjalani hidupku dengan tidak mengenalnya.

“Ok, aku sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku. Terimakasih atas waktunya. Anggap saja kita tidak pernah saling bicara. Aku tidak akan pernah mengganggumu lagi.”

Dengan itu aku mengakhiri pembicaraanku dengan Shin— Amano. Mengabaikan ekspresi aneh yang ditunjukan wajah Hiroto, aku beranjak dari sana.

Naomi-san, kau bilang tidak mungkin Shinji tumbuh menjadi orang yang sok dan sombong. Tapi kenyataannya begitu.
Dan aku menyesal merasa bersalah karena selalu berbohong padanya.

“Takashi, kau punya bibir yang kecil seperti perempuan.”

“Dan kau punya mata yang aneh seperti alien!”

“Kenapa kau selalu mengejek mataku? Padahal aku memujimu.”

“Kau memang gaijin!”

Aku juga memujimu.... Bodoh!

×÷~To.Be.Continued~÷×

Show more