nina zatulini bugil – http://bokepindo.xyz/foto/ngentot-cewek-cantik-berjilbab-galeri-hiburan.html. Cinta, gadis indah yang sekarang sedang duduk di lobi salah satu hotel berbintang yang berada di sentra kota. Diantara gadis-gadis lain yang kebetulan ada disana, Cinta memang menonjol lebih mencolok. Parasnya yang indah natural pastilah membikin laki-laki tergoda untuk meliriknya. Termasuk sebagian laki-laki yang kebetulan juga berada disana. Tidak sedikit diantara lirikan tersebut sempat beradu dengan tatapan Cinta. dikala itu terjadi diantara mereka ada yang melempar senyuman, ada pula yang langsung tertunduk malu. Sebuah hal yang awam bagi Cinta, sehingga dia kelihatan tak terlalu terganggu karenanya.
Cinta mengalihkannya pandangan dari layar smart phone yang dibatasinya. Matanya melirik lagi ke arah laki-laki paruh baya yang duduk sebagian meter didepannya. Tatapan laki-laki itu masih ke arah yang sama seperti dikala tadi pertama kali dia memergokinya. Tatapan nanar ke arah kedua pahanya. Ekspresi ‘mupeng’ tergambar terang diwajahnya. Keberadaan sang istri disampingnya seakan dianggapnya tak ada.
“Ppfftt..”
Cerita Dewasa | Cinta merubah posisi duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Mengunakan tas dia menutup celah diantara rok jeans pendek yang dipakainya. Perhatiannya malahan kembali tertuju kepada sosmed yang tadi sempat teralihkan. Hakekatnya Cinta tidak keadaan sulit jika laki-laki paruh baya itu berharap menikmati apa yang ada dibalik roknya, asalkan ada kompensasi yang pantas. Kompensasi? Iya, kompensasi berupa uang.
Dibalik profesinya sebagai mahasiswi semester akhir, Cinta juga mempunyai profesi lain sebagai wanita penggilan kelas atas. Pekerjaan ini telah ia jalani cukup lama, hampir sejak awal dia mulai menyandang gelar sebagai mahasiswi. Sekiranya anda ingin saya membuka paha, maka kuraslah isi dompet anda. Itulah syarat yang diatur Cinta. Cinta tidaklah kebetulan berada di hotel berbintang itu.
Di hotel itu Cinta sedang menunggu laki-laki yang memiliki cukup modal untuk memenuhi persyaratannya. Entah apa yang mendasari dia menjalani profesi ini. Elemen ekonomi? Oh tentu tidak. Cinta bukanlah tergolong gadis yang berasal dari keluarga berkekurangan secara ekonomi. Faktor sosial? Jawabannya tidak juga. Cinta tidak berada dalam lingkungan yang memungkinkan untuk menjerumuskannya terhadap pekerjaan tersebut. Mungkin untuk alasannya, biarlah gadis cantik itu saja yang mengetahuinya sendiri.
Sebagian menit menunggu alhasil hp yang dipegangnya berbunyi. Cinta menekan tombol jawab.
“Halo”.
“Kamu dimana?”.
“Cinta udah di lobi nih Om”.
“Udah lama nunggu? Maaf tadi Om kejebak macet”.
“Gak apa-apa kok Om”, sahut Cinta.
“Kalo gitu kita ketemu di resepsionis aja, gimana?”.
“Oke Om”.
Cinta menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam ransel. Sebelum berdiri, sekali lagi Cinta melirik ke arah laki-laki dihadapannya. Masih dengan tatapan yang sama, masih dengan ekpresi yang sama. Dengan sengaja Cinta membuka sedikit lebar kedua paha saat mengembalikan silangan kakinya. Ia kembali membuka kedua pahanya ketika membenarkan posisi high heel yang diterapkannya. Cuma saja kali lebih lebar dari sebelumnya. Seluruh gerakan itu sengaja dia lakukan dengan pelan dan perlahan. Cinta tahu benar jikalau posisi kakinya dikala ini membuat apa yang semestinya tak tampak, menjadi terlihat.
Lirikan Cinta berubah menjadi tatapan tepat ketika laki-laki itu mengalihkan arah pandangannya. Kedua mata mereka beradu. Ekspresi laki-laki itu mendadak berubah tegang. Oke cukup, pikir Cinta. Diapitkan kembali kedua pahanya, lalu gadis indah itu berdiri. Laki-laki itu menonjol kian tegang dikala Cinta berjalan menuju ke arahnya dan melempar senyuman. Laki-laki itu menjadi salah tingkah karena perbuatan jahilnya ketahuan. Memandang Cinta yang tersenyum terhadap suaminya, si istri seketika melengos dan mencubit paha suaminya.
“Rasakan itu”, gumam Cinta dalam hati.
Cinta dengan santainya berjalan melewati pasangan tersebut. Sekilas gadis indah itu bisa mendengar sang istri menghardik suaminya. Guratan kepuasan terpancar di wajah Cinta. Paling tak disaat yang sama ia memperoleh pahala karena menghilangkan rasa penasaran laki-laki itu, sekaligus memberikan sedikit ‘pelajaran’ atas kenakalannya. Ia malah terus melanjutkan langkahnya menuju resepsionis.
“Cinta?”, tanya seorang laki-laki yang berpenampilan necis di depan meja resepsionis.
“Om Rudi?”.
“Wao terbukti benar kata teman Om, kamu indah sekali”.
“Terima kasih”, ucap Cinta singkat sambil tersenyum. Mungkin pujian seperti ini sudah terlalu sering dia dengar, sehingga bukanlah sesuatu yang luar awam untuk Cinta.
Laki-laki yang dipanggil Om Rudi itu berperawakan semampai. Agak menonjol pendek dibanding postur tubuh Cinta yang ketika itu menggunakan high heel. Beberapa helai rambutnya telah tampak memutih menonjolkan kematangan usia – bila tak boleh disebut tua. Belum lagi kerutan-kerutan di wajahnya menambah kesan ‘tua’ tersebut. Dari segi wajah, Om Rudi ini jauh dari yang dapat didefisikan sebagai ganteng. Berdasarkan kabar dari ‘klien’ langganan Cinta yang memberi tahu mereka, Om Rudi ini yakni seorang pengacara. Jika juga kelihatan dari setelan jas hitam yang diaplikasikannya ketika itu. Setelan itu terang nampak mahal. Tapi wajah dan penampilan bukanlah yang utama. Dimata Cinta yang utama adalah si ‘klien’ bisa memenuhi standar harga yang ditentukannya, itu saja.
“Kamu tunggu sejenak, biar Om nyelesaiin administrasinya dahulu”.
Cinta hanya mengangguk. “Silakan”
Sambil menunggu Om Rudi menyelesaikan urusannya, Cinta memperhatikan-lihat dan berjalan-jalan ke sekitar. Ada sepasang turis asing disampingnya menonjol sedang mengatasi pembayaran untuk check out. Dia mengambil brosur hotel yang disediakan di sudut meja resepsionis. Cinta berdecak terpukau dengan harga kamar hotel yang tertera di brosur. Om Rudi ini pastilah berdompet tebal hingga cakap mengajaknya ke hotel dengan tarif setinggi ini. Cinta terkesan.
“Oke sudah, yuk kita ke kamar”
Cinta meletakkan brosur itu kembali dan meniru langkah Om Rudi menuju lift. Tidak lama pintu lift terbuka. Keduanya kemudian masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong.
“Kau gak kuliah hari ini?”, tanya Om Rudi.
“Gak Om, Cinta udah gak kuliah tinggal nyusun”.
“Oh dikit lagi wisuda dong?”.
“Iya kalo lancar Om”.
“Telah bab berapa?”.
“Masih bab dua sih Om”.
Percakapan mereka terhenti saat pintu lift di depan mereka terbuka. Terkejutlah Cinta dikala memandang seorang laki-laki yang berdiri diluar lift. Laki-laki itu sepertinya hampir sebaya dengan Om Rudi. Saat itu dia menonjol sedang menggandeng seorang gadis. Tidak keok mengagetkan lagi merupakan sekiranya rupanya Om Rudi juga mengenal laki-laki paruh baya tersebut.
“Hei Ridwan, gila udah keluyuran aja lu jam segini”, sapa Om Rudi menyapa laki-laki itu sambil menepuk pundaknya.
“Eh Rud, lu sendiri ngapain disini?”
Om Rudi dan laki-laki itu berjabat tangan. Keduanya mengakak bak kenalan lama yang telah lama tak bersua. Dilain pihak Cinta kelihatan panik. Dia berupaya memalingkan wajahnya, meski dia tahu jika usahanya itu pastilah sia-sia belaka.
“Biasalah nyalurin ‘hobby’ hahaha”. Om Rudi melepaskan jabatan tangan mereka. “Cewek baru lagi nih? Hahaha”
“Rekomendasi temen, gak enak kalo gak dicoba hahaha”.
“Sama dong, gue juga habis nyoba anjuran temen”.
Detik dikala mata laki-laki itu menatap ke arahnya, ibarat petir di siang bolong bagi Cinta. Keduanya kelihatan terkejut, sungguh-sungguh terkejut. Laki-laki itu tampak kikuk sama halnya dengan yang dinikmati Cinta ketika itu. Keduanya ternyata memang saling mengetahui.
Laki-laki paruh baya itu merupakan Om Ridwansyah atau biasa ia panggil Om Ridwan. Om Ridwan adalah ayah dari Felisia, teman karibnya di kampus. Mereka telah bersahabat karib semenjak SMU. Bagus Cinta maupun Felisia telah saling mengetahui keluarga masing-masing dengan sangat dekat. Cinta telah terbiasa menginap di rumah Felisia, demikian pula sebaliknya. Jadi Om Ridwan bukanlah sosok yang asing dimata Cinta. Dimata Cinta, Om Ridwan yaitu sosok simpatik dan kebapakan. Jauh sekali dari kesan laki-laki mata keranjang yang menyukai mencicipi gadis-gadis muda. Sekarang dia bertemu Om Ridwan sedang menggandeng seorang gadis muda. Mungkin saja dia baru selesai menikmati kehangatan tubuh gadis yang sedang digandengnya itu.
Om Ridwan ::
Tidak kalah terkejutnya dengan Cinta, Om Ridwan juga berpikiran yang sama. Dimata Om Ridwan, Cinta ialah sosok gadis muda yang bagus dan cerdas. Memang dia dan puterinya kerap kali pergi menghabiskan malam di klub atau sekadar hang out, namun itu dievaluasinya masih ada pada batas-batas wajar. Hampir tidak ada secuil pun dalam pikirannya kalau Cinta merupakan seorang gadis yang bisa di-booking. Memang ia tidak dapat begitu saja menuduh Cinta demikian. Ia cukup tahu tabiat mesum rekannya, Rudi. Apakah Cinta salah satunya? Mungkin ini bukanlah dikala yang tepat untuk mencari tahu kebenarannya.
“Eh napa lu? Kayak gak pernah liat cewek cantik aja hahaha”, Om Rudi kembali menepuk pundak Om Ridwan.
Om Ridwan tersadar dari lamunannya. Sambil tergagap dia hanya menjawab singkat, “Gue musti buru-buru nih, gue musti balik lagi ke kantor”.
“Okelah, ntar kabar-kabar kalo ada ‘barang’ baru lagi hahaha”.
Om Ridwan cuma tersenyum kecil. Dengan wajah masih menampakkan kekikukan, cemas dan khawatir ia menggandeng gadis muda disebelahnya masuk ke dalam lift.
Cinta mengembuskan napas lega. Paling tak saat itu baik Om Ridwan ataupun dirinya tak saling membuka identitas, meski keduanya telah jelas tidak dapat mengelak. Keduanya tidak menduga akan berjumpa dalam situasi seperti ini. Untungnya mereka bisa kompak bersandiwara untuk berpura-pura tak saling mengetahui. Dalam hati Cinta terbersit rasa was-was jikalau sepatutnya bertemu lagi dengan Om Ridwan sesudah kejadian ini.
“Yuk..”, Cinta sedikit terkaget namun dengan kencang bisa mengusai diri. Dengan tersenyum, gadis cantik itu menerima rangkulan Om Ridwan dan berjalan menuju kamar.
Pasca masuk ke dalam kamar tak banyak yang bisa diceritakan. Seperti layaknya ‘klien’ berumur lainnya, Om Rudi tak sejago bicaranya dikala beradu diatas ranjang. Malah Cinta semestinya berupaya ekstra keras untuk membikin ‘senjata’ Om Rudi siap tempur. Untuk pelanggan berusia muda, mungkin hanya dengan membuka pakaian saja sudah cakap membikin mereka tegang. Namun untuk Om Rudi, malah kocokan dan kuluman dalam keadaan telanjang bulat ternyata tak mempan untuk membuatnya ereksi. Sampai akhirnya dikala ‘senjata’ itu berhasil dibangunkan, beberapa goyangan pinggul Cinta dengan pesat membuatnya ‘mati’ kembali.
“Gak apa-apa kok Om, mungkin Om lagi capek”. Hasilnya Cinta seharusnya membesarkan hati sang ‘klien’ dikala dia meminta ronde kedua, namun tak kunjung kapabel menjalankannya.
Cinta sampai seharusnya memberikan kocokan dan kuluman ekstra atas permintaan Om Rudi, melainkan semuanya sia-sia. Pemainan birahi itu bahkan berunjung dengan Cinta yang menonjol seperti seperti baby sitter yang sedang meneteki bayi besarnya. Bayi besar bernama Om Rudi.
“Om masih boleh kan nelpon kau lagi?”.
“Boleh dong Om, boleh banget”, sahut gadis indah itu begitu selesai mengaplikasikan t-shirt ketat contoh tanktopnya.
“Boleh Om minta cium?”.
Cinta tersenyum dan berjalan mendekati Om Rudi yang masih duduk telanjang di atas ranjang. Diciumnya bibir Om Rudi cukup lama, kemudian diakhiri dengan sapuan lidah. Cinta juga membiarkan sebentar Om Rudi meremas-remas payudaranya sebelum mereka berpisah. Untuk uang sebanyak yang diserahkan Om Rudi, hari ini termasuk kerja mudah baginya. Dengan uang sebanyak itu untuk sementara Cinta dapat melupakan pertemuannya dengan Om Ridwan. Tapi itu cuma untuk sementara.
Sebagian hari kemudian ::
Di sebuah kamar kosan elit, Cinta duduk lesehan di atas ranjang dan nampak serius di depan notebooknya. Ia tampak serius mengulir dan meng-klik mouse, sambil melihat laman yang bergantian muncul di layar. Sebagai seorang mahasiswi, Cinta termasuk dalam mahasiswi yang terampil. IPK-nya disetiap semester hampir tak pernah dibawah 3,0. Kesibukan lain diluar jam kampus, seperti organisasi mahasiswa, modeling, SPG dan lain-lain, seakan tidak mengganggu skor akademisnya. Malah demikian dengan aktifitasnya sebagai lady escort.
Khusus untuk ‘aktifitas’ yang satu ini, mungkin tak satupun dari teman Cinta yang akan pernah menyangkanya. Bekerja sebagai wanita panggilan kelas atas justru menguntungkan bagi Cinta. Mendapatkan ‘klien’ bermodal besar membuat Cinta menjadi banyak memiliki kenalan kelas atas. Dari politisi, akademisi, ahli regulasi, sampai jabatan berpangkat lainnya. Tidak jarang mereka menolong Cinta untuk hal-hal penting, dengan imbalan sebagian jam kehangatan diatas ranjang. Bagi Cinta, seks adalah kelemahan terbesar dari laki-laki jikalau bisa dimanfaatkan dengan baik.
Pekerjaan lady escort bagi Cinta memang menjadi salah satu cara untuk bergaul di kalangan elit. Tarif tinggi yang dipasang Cinta yaitu filter, sehingga tubuhnya tak sembarangan dijamah oleh laki-laki hidung belang dibawah standar. Begitu pula dengan laki-laki yang menjadi kekasihnya. Status kekasih tak serta merta membikin seorang laki-laki berhak menjamah tubuh moleknya. Cinta juga menerapkan standar yang tinggi untuk kekasih yang boleh menikmati kehangatan tubuhnya. Salah satu laki-laki yang mujur merupakan Rido, kekasihnya ketika ini.
“Serius benar-benar? Lagi bikin apa?”.
Rido keluar dari kamar mandi dengan cuma terbalut handuk.
“Nih lagi iseng browsing sambil nunggu kau mandi”.
“Hayo pasti browsing website porno ya? Hehehe”.
Rido naik ke atas ranjang. Laki-laki muda itu lalu memeluk Cinta dari belakang dan mendaratkan ciuman di pipi kekasihnya.
“Nikmat aja, emang kamu!”, Cinta tersenyum.
Rido memalingkan wajah Cinta, kemudian bibir mereka beradu. Sambil melumat bibir lembut itu, tangan Rido bergerak masuk ke dalam kaos yang digunakan kekasihnya. Dibalik kaos itu Rido bisa dengan bebas menikmati segala kelembutan kulit tubuh Cinta. Tak ada bra maupun celana dalam yang menghalanginya. Beberapa dikala yang lalu Rido telah dua kali menikmati kehangatan tubuh Cinta, melainkan baginya itu tak akan pernah cukup. Cinta tahu itu, sehingga selama Rido masih ada di kamar kosnya dia merasa tak ada gunanya mengaplikasikan baju dalam.
“Katanya berharap buru-buru meeting?”.
“Ah, mereka bisa nunggu”.
Cinta tak menolak saat Rido merebahkan tubuhnya di ranjang.
“Yakin dapat nunggu?”.
Rido mengangguk. Ciuman malah kembali mendarat di bibir Cinta.
Ujung pakaian t-shirt Cinta terangkat dan handuk Rido terlepas. Lenguhan panjang keluar dari mulut Cinta ketika batang tegang Rido menjelang dirinya. Lenguhan itu kian panjang saat Rido mulai menggerakkan pinggulnya. “AAHH..!!”.
Kocokan Rido itu mendadak berhenti dikala terdengar suara nada hand phone. Bunyi telpon pintar miliknya dan milik Cinta berbunyi berbarengan. Keduanya saling melihat. Ekspresi kesal Rido disambut senyuman oleh Cinta. Batang alat kelamin Rido seakan ikut menjerit kesal karena sepatutnya terlepas dari jepitan lubang hangat milik Cinta. Cinta dan Rido beranjak turun dari ranjang dan mengambil ponsel masing-masing.
Cinta memandang nomor tidak terdaftar di layar ponselnya. Mungkin ‘klien’ baru, pikir Cinta. Awalnya dia ingin me-reject panggilan tersebut, namun kemudian membatalkannya.
Ditekannya tombol jawab. “Halo”.
“Cinta?”, terdengar bunyi laki-laki.
“Iya dengan siapa aku bicara?”.
“Bila Om Ridwan”.
Cinta terkaget mendengar nama itu. Sekilas ia melirik ke arah Rido dan melihat laki-laki itu juga sedang sibuk dengan lawan bicaranya. Bayangan kejadian di hotel mendadak timbul dikepalanya. Insting kewanitaannya lantas bereaksi jika ini bukanlah sekedar telepon menanyakan isu. Hal ini dikarenakan, nomor telepon pintar ini hanya dia gunakan untuk menerima booking-an. Tidak mungkin Om Ridwan mendapatkan nomor ini dari Felisia. Ia sama sekali tak pernah memberitahukan nomor ini selain terhadap pelanggannya. Dalam hati dia mencoba berdaya upaya positif kepada ayah dari teman karibnya ini.
“Oh ada apa Om?”.
“Kamu kini jarang main ke rumah, lagi sibuk ya?”.
“Hhmm.. Iya Om, Cinta lagi sibuk nyusun skripsi jadi gak sempet main kesana”. Cinta sedikit berbisik, kemudian berjalan menjauhi kekasihnya.
“Iya nih, Feli juga lagi sibuk tuntunan terus”.
“Gitu deh Om, soalnya pembimbing Cinta agak sedikit killer orangnya”.
“Memang siapa pembimbing kamu?”.
“Pak Burhan Om”.
“Oh Pak Burhan, Om ketahui baik tuh sama ia nanti Om bantu deh biar kamu dapat cepet tuntunannya”.
Sebagai salah satu pejabat negara di Kementerian Pendidikan, Om Ridwan memang mempunyai banyak kenalan dikalangan pimpinan universitas di Indonesia. Cinta tahu benar hal itu. Tapi sebagai gadis yang sudah makan asam garam, ia tahu pembicaraan ini pastilah basa-basi belaka. Pembicaraan permulaan menuju ke sebuah pembicaraan inti. Kembali dia mencoba untuk berpikiran positif dengan Om Ridwan, tapi itu sepertinya sulit. Semenjak pertemuan mereka di hotel sebagian hari lalu, pengukuran Cinta terhadap Om Ridwan telah berubah.
“Wah makasi lo Om”, Cinta berupaya akan kata-katanya terdengar bersuka ria.
“Ya namun Om juga semestinya tahu judul dan kerangka skripsi yang kamu susun, biar Om dapat jelasin ke temen Om itu”.
“Terus gimana dong Om?”.
“Kau ada waktu gak hari ini? Nanti kau bawa skripsi kamu ntar Om baca dahulu deh sekilas…”.
Sejenak Om Ridwan membisu. Terdengar desah napas panjang sebelum laki-laki itu melanjutkan kata-katanya.
“…Om juga sekaligus mau ngomongin kejadian di hotel beberapa hari lalu”.
Oh Maha alhasil dirinya semestinya menghadapi pembicaraan perihal kejadian itu, Cinta membatin. Ucapan terakhir Om Ridwan membuatnya sedikit ragu. Haruskah dia menerima ajakan Om Ridwan ini. Sekilas dipandangnya jam di dinding hampir menampakkan pukul 1 siang. Sebentar Cinta berdaya upaya. Tak ada salahnya ia bertemu dengan Om Ridwan untuk sekadar ngobrol. Dia sendiri sudah cukup tersiksa jika kejadian itu tidak lantas terselesaikan. Apalagi Om Ridwan sekalian menawarkan bantuan tentang skripsinya. Om Ridwan sendiri bukanlah orang sembarangan dibidang akademisi. Laki-laki paruh baya itu bergelar doktor alumni dari salah satu universitas di luar negeri. Apalagi sekiranya memang benar Om Ridwan kenal dengan pembimbingnya, itu berarti profit baginya.
“Boleh deh Om, Cinta juga gak ada acara kok”.
“Oke kalo gitu kita ketemu di mall *** aja gimana?”.
“Aduh kejauhan Om, rame lagi, gimana kalo resto *** aja?”.
“Gak dilema, kali gitu Om tunggu jam 6 Oke?”.
“Oke..”.
Cinta mematikan ponselnya. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan mengamati Rido telah hampir selesai menerapkan kembali pakaiannya. Cinta berjalan mendekati kekasihnya tersebut.
“Udah ditunggu?”.
“Iya, sorry musti buru-buru”.
“Gak apa-apa”, Cinta tersenyum.
Rido ialah seorang pengusaha muda. Direktur di sebuah perusahaan ekspor impor milik orang tuanya. Mereka telah berpacaran hampir setahun lebih. Selain faktor lahiriah dan materi, Cinta juga melihat Rido sosok yang bertanggung jawab sebagai calon suami. Rido tak menginggalkannya sesudah dua tiga kali menyetubuhinya seperti kekasih-kekasihnya yang lain. Rido malah tidak segan mengelurkan uang banyak guna memenuhi segala keperluan hidup Cinta. Laki-laki inilah yang menjadi penyebab selama beberapa bulan ini dia tak lagi mendapatkan booking-an. Sebagai gadis lazim, dalam hati Cinta ingin Rido merupakan pangeran rupawan berkuda putih yang selama ini dicarinya.
“Siapa yang nelpon?”.
“I-itu hanya dari saudara mama nanyain nomor telpon papa”. Cinta berbohong.
“Oh gitu, ya udah saya berangkat dahulu kalo gitu”.
Cinta mengangguk. Mereka berciuman.
“Gak nganterin sampai kendaraan beroda empat nih?”.
Cinta tersenyum. “Boleh aja, kalo kamu gak keadaan sulit aku turun ke bawah gak pake celana terus gak pake daleman”.
“Hehehe ya udah gak usah aja kalo gitu”.
Cinta tahu apabila Rido kerap cemburu dengan laki-laki lain yang menatap tubuhnya. Termasuk juga kepada sebagian laki-laki yang berada di kosan tersebut.
“Oke bye”.
“Bye”.
Kembali mereka berciuman. Cinta memandangi Rido sampai laki-laki itu menghilang di tangga. Kemudian ia menutup pintu kamar kosnya. Berjalan menuju ranjang, mematikan notebook dan beranjak ke kamar mandi. Ia ada janji yang sepatutnya dipenuhi petang itu.
Cinta turun dari taxi dan berjalan masuk ke dalam resto. Dia disapa oleh pegawai berpakaian semi formal dan Cinta tersenyum kearahnya. Sesampainya didalam, ia menyapu pandangannya ke sekeliling resto. Ternyata malam itu suasana cukup ramai, tidak seperti hari-hari biasa. Akibatnya Cinta melihat seorang laki-laki yang melambai ke arahnya. Laki-laki itu duduk di pojokan. Laki-laki itu ialah Om Ridwan. Cinta bahkan berjalan kearahnya.
“Udah lama Om?”.
Om Ridwan berdiri. “Gak kok baru aja, duduk Ta”.
“Maaf Cinta telat”.
“Gak apa-apa”.
Keduanya kemudian duduk. “Kau berharap makan apa?”.
“Cinta udah makan Om, makasi”.
“Kalo gitu kita minum aja deh, kau ingin apa?”.
Cinta mengambil daftar menu dan sebentar mencermatinya.
“Jus wortel campur tomat aja Om”.
“Hhmm.. healty life?”, Om Ridwan tersenyum.
Cinta membalas senyuman itu. “Ya gitu deh Om”.
Om Ridwan kemudian melambaikan tangan memanggil pelayan untuk mendekat. Tak lama pelayan itu selesai mencatat pesanan mereka berdua.
“So.. mana skripsi kau?”.
Cinta kemudian mengeluarkan notebook dari dalam tas. Meletakkannya diatas meja dan menyalakannya.
“Jikalau Om..”, Cinta memutar komputer jinjing tersebut sehingga dapat dilihat oleh Om Ridwan.
Sebentar Om Ridwan tenggelam membaca secara serius skripsi tersebut. Cinta sendiri cuma mengamati kearah Om Ridwan. Terbersit rasa terpukau dalam diri Cinta memandang sosok laki-laki paruh baya itu. Untuk laki-laki berusia diatas kepala lima Om Ridwan mungkin tidaklah tampan, namun berkarisma. Tubuhnya yang sedikit berisi justru membikin karakter kebapakannya kelihatan terang. Rambutnya yang mulai jarang dan sedikit memutih, menonjolkan sekiranya ia yaitu sosok yang intelektual. Paling tak kesan itulah yang timbul dikala memperhatikan sosok Om Ridwan, kecuali sosok lain yang baru dikenal Cinta sebagian hari yang lalu tentunya.
“Bila telah bagus kok, malah baik banget”, ucapan Om Ridwan menyadarkan lamunan Cinta.
“Serius Om?”.
“Kamu itu kecuali cantik rupanya juga cerdas ya”.
“Ah Om bisa aja”. Cinta tersipu.
“Kalau seperti ini sih, Om bakal gampang ngomong ke temen Om, gak perlu waktu lama deh kau buat lulus Ta”.
“Aduh itu mau banget Om, Cinta kan ingin lanjut studi ke luar negeri kayak Om”.
“Bener?”.
“Beneran Om..”, Cinta terdengar termotivasi.
“Nah kalo gitu ntar Om tolong juga deh nyariin beasiswa”.
“Wah.. serius Om? Makasi…”, kali ini Cinta semakin termotivasi.
“Sama-sama”, Om Ridwan tersenyum.
Kemudian beberapa ketika ekspresi wajah laki-laki itu berubah serius. Keduanya membisu dan tampak kikuk. Beruntung suasana berubah saat pelayan datang membawa pesanan. Itu pun tidak lama, sebab setelah pelayan pergi suasana kembali seperti semula. Om Ridwan berdehem. Kebisuan malahan pecah. “Oya, soal kejadian di hotel ***”. Laki-laki itu terdiam sejenak. Menatap tajam ke arah Cinta. Ekspresi wajah gadis indah itu kelihatan berubah tegang.
“Kita sudah sama-sama dewasa Ta, jadi Om bakal cerita terus jelas saja…”.
Om Ridwan kemudian bercerita panjang lebar tentang kebiasannya bermain wanita dan gadis-gadis muda. Dia mengaku bahwa ia terpaksa mencari pelarian karena Verayanti – istrinya, telah kian jarang memiliki waktu untuk melaksanakan keharusannya sebagai istri. Masuk nalar bagi Cinta sebab dilihatnya Tante Vera – begitu biasa Cinta memanggilnya, memang menonjol lebih sibuk di luar rumah. Tante Vera lebih mengutamakan bisnis berliannya daripada mengurusi keluarga. Itu sebabnya Felisia juga menjadi sedikit agak bebas dan liar dalam bergaul. Akibat pertemuan tak diduga itu ternyata bagus Om Ridwan maupun Cinta, nampaknya sama-sama ketakutan jikalau rahasia mereka terungkap. Cinta takut profesinya sebagai lady escort didengar orang tuanya.
Om Ridwan pun dilain pihak, takut bila adat istiadatnya bermain perempuan tersebar akan merusak nama baiknya dan mempengaruhi rumah tangganya. Keduanya kini sepertinya ada di dalam posisi yang sama. Sama-sama mengenal rahasia pribadi satu sama lain. Sama-sama ingin rahasia itu konsisten menjadi rahasia. Rahasia penting yang bisa mempengaruhi kehidupan masing-masing.
“Oke itu seluruh cerita Om…”, sebut Om Ridwan sebagai penutup ceritanya.
Cinta tak tahu wajib berkomentar apa. Dia sendiri di hotel itu juga melakukan hal yang sama seperti dilaksanakan oleh Om Ridwan. Tentunya dia tak bisa menyalahkan ayah sahabatnya itu. Lama tak mendengar komentar dari Cinta, akhirnya Om Ridwan malah melanjutkan kata-katanya. “…Dan soal kau, Om telah dengar lantas dari Om Rudi”.
Cinta tersentak. Apakah itu berarti Om Ridwan sudah mengetahui tentang pekerjaan sampingannya? Cinta membatin.
“…Ia cerita semuanya tapi Om gak bilang kalo Om itu kenal sama kau. Nomor telepon yang tadi Om telpon juga Om dapet dari Om Rudi…”.
Detik itu juga Cinta merasa sekiranya langit sudah ambrol diatas dirinya. Laki-laki yang begitu ia hormati dan telah dia anggap ayah kedua baginya, sekarang sudah mengetahui rahasia terbesarnya. Untuk sebagian dikala, kembali baik Cinta ataupun Om Ridwan tidak mengeluarkan kata-kata. Hanya bunyi-suara pengunjung kafe yang terdengar riuh disekitar mereka.
Sesudah hening sebagian dikala lalu Cinta berkata terbata-bata, “Bantu jangan kasi tau orang tua Cinta Om…”.
“Oh tidak, tentu saja tidak”, Om Ridwan langsung menanggapi. “Dan Om juga meminta kau jangan bilang ke Tante Vera”.
Cinta cuma mengangguk. Kini kartu AS mereka berdua sudah saling terbuka. Keduanya pun lalu saling berjanji untuk saling menutup mulut dan tak akan membuka rahasia masing-masing. Tetapi rupanya masalahnya tak sesederhana itu, ketika Om Ridwan melanjutkan kembali kata-katanya.
“Ta, Om telah dengar cerita Om Rudi dan juga cerita ia seputar sahabatnya yang pernah, maaf, mem-booking kamu…”. Om Ridwan nampak ragu melanjutkan kata-katanya, namun walhasil laki-laki paruh baya itu melanjutkannya. “…Om juga pengen booking kamu”.
“Om…!”, ekspresi wajah Cinta bertambah tegang. “…Ja-jadi seluruh kebaikan yang Om tawarin tadi cuma karena ini?”.
“Bu-bukan gitu Ta, bukan.. Segala yang tadi Om tawarin itu adalah tulus sebab kamu yaitu teman baik anak Om, itu gak akan berubah walau kau menolak sekalipun…”, Om Ridwan menelan ludah.
“Anggap saja sekarang ini Om yakni orang lain yang gak kau kenal…”.
“Seandainya Cinta menolak, segala tawaran itu masih tetap berlaku?”.
Om Ridwan mengangguk.
“Sekiranya Cinta menolak, Om bakal cerita semua rahasia ke orang tua Cinta?”.
Om Ridwan menggelengkan kepala. “Kini ini Om adalah pelanggan kau dan kau sepenuhnya berhak menentukan apakah mendapatkan atau menolak tawaran Om”.
Cinta terdiam sejenak untuk berpikir. Om Ridwan bahkan terlihat tegang menunggu jawaban gadis indah itu. Setelah lama dalam kebisuan Cinta pun menjawab, “Namun gak murah lo Om”.
“Sebutin saja harganya…”.
“Cinta gak berharap nerima uang Om”.
“Loh terus?”, Om Ridwan terheran.
“Udah lama Cinta pengen punya Tablet PC *** baru, Om bisa beliin?”.
Om Ridwan tersenyum lebar. “Kalo hanya itu sih sekarang juga Om bisa beliin kamu”.
Cinta kaget jikalau Om Ridwan akan menyuarakan kemampuan. Barang yang disebutkan Cinta tadi harganya begitu tinggi. Ia hakekatnya mau Om Ridwan akan berdaya upaya dua kali untuk menyanggupinya. Dengan demikian relasi gelap yang mungkin akan terjadi diantara mereka dapat dihindari. Rupanya Cinta salah memprediksi. Uang sebesar itu rupanya tak menjadi keadaan sulit besar untuk Om Ridwan. Jadi sekarang bola panas kembali berada di pihak Cinta.
“Oke minum dahulu jusmu, ntar kita mampir ke *** biar kamu pilih sendiri yang kamu ingin”, Om Ridwan menyebut salah satu mall khusus barang-barang elektronik terbesar di kota itu.
Cinta cuma dapat berdasarkan. Paling tidak selama perjalanan nanti dia masih dapat berdaya upaya. Berdaya apakah dirinya cukup gila untuk menjalin sebuah afffair. Sebuah kekerabatan gelap dengan ayah dari teman baiknya sendiri.
Tak lama mereka berdua telah berpindah dari resto ke mall yang mereka tuju. Disana Om Ridwan dengan loyal menemani Cinta berjalan dari satu counter ke counter lainnya. Cinta terus berupaya mengulur waktu. Sengaja Cinta berdiskusi cukup lama dengan sales penjaga counter-counter yang disusupinya. Kembali ia berharap Om Ridwan akan bosan dan tersulut emosinya. Dengan demikian kemungkinan laki-laki paruh baya itu akan ilfil kepada dirinya. Tapi sekali lagi, sangkaan Cinta salah. Om Ridwan terlihat begitu hening mencontoh semua keinginannya. Tidak ada ekspresi bosan maupun kesal yang muncul di wajah Om Ridwan, sebagaimana yang dia harapkan.
“Bila aja deh Om…”, Cinta akibatnya menyerah dan menunjuk sebuah tablet PC berukuran 10 inchi merk familiar.
“Yakin? Gak mau liat-liat yang lain lagi?”.
Cinta menggelengkan kepalanya. “Boleh ya Om?”.
Gadis cantik itu melemparkan senyuman, walaupun jauh di dalam ia sedang gelisah. Bila merupakan keinginan terakhir Cinta. Ia tahu harga tablet PC itu ialah yang paling mahal di kelasnya. Kemauan Cinta semoga kali ini bisa membuat Om Ridwan mundur dan membatalkan niatnya. Ternyata kembali Cinta salah. Om Ridwan mengangguk. Habis telah kekuatan dan upaya Cinta. Mungkin kekerabatan gelap ini memang harus ditakdirkan terjadi, Cinta membatin.
“Ntar ya Om bayar dulu”, Om Ridwan kemudian berdiri dan menuju kasir.
“Makasi ya Om”, Cinta hanya bisa melempar senyuman.
Sebagian dikala kemudian Om Ridwan dan Cinta meninggalkan counter hp itu. Tak lama setelahnya mereka berdua sudah berada di dalam mobil dan meninggalkan parkiran.
“Gimana telah dicoba segala fiturnya?”.
Dibelakang kemudi Om Ridwan melirik ke arah Cinta yang kelihatan sibuk mengutak-atik ‘mainan’ barunya.
“Masih belum ngerti sih Om, melainkan mirip-mirip kok sama versi lamanya”.
“Udah seneng? Hehehe”.
“Udah Om, makasi sekali lagi”.
“Kalo gitu kasi cium dahulu dong hehehe”.
Cinta mau mengelak dari permintaan itu, tapi ia tahu sekarang semuanya telah terlambat. Dia malahan mendekat dan mencium pipi Om Ridwan.
“Loh kok pipi sih? Bibir dong…”.
“Ih Om genit…”, Cinta menyubit pundak laki-laki paruh baya itu.
“Ayo dong, mana ciumnya”, nada bunyi Om Ridwan terdengar memelas.
“Kan Om masih nyetir, kalo nabrak gimana?”.
“Kalo cium bibir di kasur boleh dong?”.
“Hhhmm… gimana ya?”, sebut Cinta ragu.
Sementara Cinta nampak berpikir, tangan kiri Om Ridwan mulai bergerak menuju paha sang gadis. Tangan Om Ridwan sedikit kesulitan merasakan mulusnya paha tersebut akibat terhalang tebalnya kain jeans. Cinta membiarkan saja tangan Om Ridwan mengeksplorasi pahanya. Gadis indah itu tahu kalau Om Ridwan sekarang memiliki hak untuk melakukannya. Dia sudah mengeluarkan uang dengan nominal yang begitu besar, sehingga tentunya ia menginginkan balasan yang setimpal untuk itu.
“Hayo gimana?”.
“Boleh deh Om”.
“Cium bibir aja atau boleh cium-cium yang lain?”.
Cinta tersenyum. “Cium yang lain-lain juga boleh kok Om”.
“Nah gitu dong hahaha”, sekarang giliran Om Ridwan yang ngakak sumringah.
Singkat cerita kesepakatan malah tercapai. Om Ridwan bahkan membawa Cinta ke sebuah bungalow yang berada di dekat pantai. Sebuah bungalow yang lazim ia datangi bersama gadis-gadis muda lainnya. Memasuki mendekati tujuan, Cinta yang semenjak semula kelihatan tegang kini terlihat kian tegang. Jantungnya berdetak dengan kencang. Bagaimanapun laki-laki yang sebentar lagi akan merasakan tubuhnya ini merupakan ayah kandung dari temannya sendiri. Meski mereka tidak mempunyai kekerabatan darah, namun konsisten saja segala ini terasa salah.
Dilain pihak, Om Ridwan juga menikmati ketegangan yang sama. Hanya saja bedanya, ketegangan yang dialami laki-laki itu lebih menjurus ke arah birahi. Di dalam dirinya bergolak gairah yang telah bergolak dasyat. Dalam otaknya telah terbayang bagaimana tubuh telanjang Cinta akan berguncang-guncang dibawah tubuhnya. Terbayang pula bagaimana hangat dan lembutnya tubuh Cinta dikala nanti bersentuhan dengan tubuhnya. Guna mengurangi rasa tegangnya, dia pura-pura sibuk menyetir mobil dan berkonsentasi pada jalan dihadapannya.
“Oke telah sampai”.
Bungalow yang mereka tuju itu menonjol begitu indah di malam hari. Hembusan angin laut dan temaram lampu-lampu kafe dipinggir pantai menambah kesan elegan. Om Ridwan keluar, kemudian menjemput Cinta turun dari kendaraan beroda empat. Mereka kemudian berjalan menuju ke sebuah gedung berukuran lebih besar dari bangunan lain yang ada disana. Terdapat tulisan ‘office’ di depan pintu. Begitu masuk mereka segera disambut ramah oleh seorang laki-laki dari belakang front desk.
“Kau duluan aja masuk, ruangan kita ada dibelakang, biar Om bicara sama pengelolanya dahulu”, Om Ridwan berkata sambil menyerahkan sebuah kunci.
Cinta mengangguk dan berjalan keluar dari gedung tersebut. Dia berjalan ke belakang gedung dan memperhatikan sebuah bungalow kosong. Nomor yang ada dipintu sama dengan yang tertera di kunci. Tak lama ia bahkan sudah berada didalamnya. Cinta menyalakan lampu. Suasana di dalam kamar tidak kalah indahnya dengan suasana di luar. Terdapat sebuah springbed besar komplit dengan dua buah meja kecil di sisi kanan dan kirinya. Lampu tidur kecil berada di atas kedua meja tersebut. Terdapat pula sebuah Kaca berukuran 21 inchi dengan sebuah sofa didepannya, sebuah AC dan sebuah meja rias. Kecuali itu kamar tersebut juga dilengkapi dengan sebuah kamar mandi dalam. Diletakkannya ransel notebook dan tas jinjing di meja kecil dipinggir ranjang.
Selesai menyapu pandangan ke penjuru ruangan, Cinta mengambil remote Layar dan duduk di atas sofa. Dia menyalakan TV, kemudian mengganti channel beberapa kali sampai timbul sebuah tayangan konser musik. Tak lama Om Ridwan timbul dari balik pintu.
“Suka dengan suasananya?”.
“Menyukai Om”.
Om Ridwan kemudian duduk disamping Cinta, diatas tatakan tangan sofa.
“Nonton apa?”.
“Jika tayangan ulang konser musik yang semalem”.
Tangan Om Ridwan bergerak membelai rambut panjang Cinta.
“Kamu indah sekali Ta”.
“Ah Om bisa aja”. Cinta tersipu.
Mulailah keluar kehandalan Om Ridwan dalam merayu wanita. Pelan-pelan Cinta sanggup dibuatnya terlepas dari ketegangan dan berlahan suasana malah menjadi lebih relax. Om Ridwan kini sudah berpindah duduk di samping Cinta. Sedangkan selangkangannya telah berontak, agaknya Om Ridwan masih dapat menjaga emosinya. Dia agaknya tak ingin terburu-buru dalam merasakan tak ciptaan Tuhan yang ada disampingnya.
“Kau ingin minum? Om pesenin ya?”.
“Gak usah Om, tadi kan udah minum”.
Tangan Om Ridwan yang tadi membelai rambut, kini berlahan turun melingkar di pinggang Cinta. Dalam hati Cinta terkagum dengan kesabaran yang dimiliki Om Ridwan. Hakekatnya ia sudah menyadari seandainya selangkangan Om Ridwan sudah menggunung, malah sejak mereka berada di mall. Seandainya laki-laki lain mungkin telah sejak tadi menerkam dan melempar tubuhnya ke ranjang, namun tidak dengan Om Ridwan. Laki-laki itu terlihat tetapi membangun suasana santai, sedangkan ia tahu apabila semuanya pasti akan berakhir di ranjang.
Kala terdengar komentar Om Ridwan mengenai acara yang ada di layar Layar. Komentar itu kerap disambut tawa oleh Cinta. Tawa Cinta yang genit dan manja bak jinak-jinak merpati semakin membangkitkan birahi Om Ridwan. Laki-laki itu lalu mendaratkan ciuman di pipi dan leher Cinta, sehingga membikin gadis indah itu bergelinjang.
“Om ada rokok?”, pinta gadis cantik itu.
Permintaan ini menghentikan gerakan remasan tangan Om Ridwan. Tangan itu kini berada di payudara kanan Cinta. Terbukti Cinta masih tampak belum cukup siap untuk indah affair ini.
“Oh kamu ngerokok?”.
“Adakalanya sih Om, kalo lagi tegang…”.
Om Ridwan tersenyum. Agaknya ia mengawali dengan maksud yang kamu gadis tersebut.
“Iya ada, sini biar Om yang pasangin”.
Om Ridwan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, berikut koreknya. Laki-laki itu mengeluarkan satu batang dari dalam bungkus. Sesudah membakarnya, Om Ridwan tidak seketika menyerahkannya terhadap Cinta.
“Mana, katanya berharap pasangin buat Cinta?”.
“Sejenak, sebelum ngerokok bibirnya Om musti cium dahulu…”.
Menutup kalimatnya Om Ridwan langsung menyerobot bibir Cinta. sedetik kemudian ciuman itu berubah menjadi ciuman penuh nafsu. Diizinkan saja ciuman tersebut oleh Cinta. Hanya saja setelah itu ia menggigit bibirnya malu-malu manja. Om Ridwan malahan memasang rokok tersebut dimulut Cinta dan asap malah mulai mengepul.
“Kamu masih tegang ya?”.
Cinta mengangguk dengan ekspresi wajah polos.
“Kok sama ya Om juga tegang, cuma kalo Om tegangnya disini hehehe”. Om Ridwan bahkan Cinta sambil menunjuk ke arah selangkangannya.
Mendengar itu Cinta malahan balik malahan. “Masa udah tegang? Kan belum diapa-apain Om?”, cuma dengan nada genit.
“Iya abis menarik hati yang itu kan agak sedikit jahil dan menarik hati hehehe”.
“Ih ‘itu’ Om juga rupanya juga senakal Om ya hehe”.
Cinta menyandarkan kepalanya di dada Om Ridwan.
“Sini Om pijitin biar tegangnya bagian”. Laki-laki itu menegakkan tubuh Cinta.
Tubuh Cinta diposisikan duduk membelakangi dirinya. Jari-jari tangan Om Ridwan bergerak lincah dipundak Cinta. Pijatan itu terasa lembut bandel kuat. Desahan pelan keluar dari mulut Cinta, peka jika ia merasakan pijatan tersebut.
“Udah enakan?”. Pertanyaan ini dijawab Cinta denggan anggukan.
“Om berharap?”. Cinta membalikkan badan dan menyodorkan rokok yang dipegangnya.
Om Ridwan menerimanya dan menghisapnya. Lalu dikembalikannya lagi terhadap Cinta. Sambil menikmati hisapan rokok secara bergantian, keduanya kembali bersenda gurau. Pijatan Om Ridwan cukup membantu menenangkan ketegangan diaturnya-dikuasainya tubuh Cinta. Melihat Cinta sudah kembali santai, Om Ridwan pun terlihat mulai berani melancarkan serangannya lagi.
“Pakaiannya jadi basah gini nih, Om bukain ya biar gak kusut?”, katanya menawarkan.
Berlahan jari-jari tangan itu mulai bergerak melepas kancing pakaian Cinta. Tidak ada penolakan. Sudah tak ada lagi rasa canggung dalam diri Cinta. Gadis indah itu mulai terhanyut dalam suasana yang dibangun oleh Om Ridwan. Dalam benaknya sekarang, Om Ridwan ialah salah satu ‘klien’ yang patut dilayaninya. Dengan gaya acuh tidak acuh sibuk mengisap rokoknya, dia membiarkan tangan Om Ridwan terus yaitu. Dia sendiri malahan menolong dengan menegakkan duduknya bekerja kemejanya bisa diloloskan. Dalam sekejap penutup tubuh atas Cinta kini cuma menyisakan bra saja.
“Wow, naughty colour!”, mengasyikan Om Ridwan saat mengamati bra warna merah menyala yang dipakai Cinta.
Cinta tersenyum. Dia ketika tadi memilih satu set baju dalam yang baik. Semestinya disyukuri, karena membuka pakaian tidak ada dalam rencananya saat akan berjumpa Om Ridwan.
“Om suka?”.
“Banget! Hehehe”.
Cinta yang memang sudah terbiasa telanjang di depan lelaki, tampak santai. Jika ialah kali pertama tubuh menarik hati atasnya diperhatikan Om Ridwan, namun Cinta sama sekali tak tampak canggung. Melainkan saat tangan Om Ridwan hendak melanjutkan untuk membuka resleting depan celana jeans-nya, barulah Cinta kelihatan menggelinjang manja.
“Ngg.. masak Cinta telanjang sendiri sih Om? Om juga buka dulu dong memperhatikan?”.
“Iya, iya, Om juga buka pakaian Om..”.
Lantas Om Ridwan berdiri dan mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Sementara itu Cinta masih duduk di sofa pakaiannya. Gerakan Om Ridwan berhenti dikala cuma celana dalam yang tersisa ditubuhnya. Ia pun kembali beralih hendak meneruskan usahanya melepas celana jeans Cinta.
“Ntar dulu Om, Cinta matiin rokoknya dulu”.
Cinta bergeser. Ditekannya batang rokok itu ke asbak diatas meja. Setelahnya Cinta menolong Om Ridwan dengan mengangkat pun, sampai hasilnya celana itu terlepas dari tubuhnya. Kini keduanya sama-sama hanya menyisakan pakaian dalam mereka sebagai penutup tubuh terakhir. Om Ridwan kembali duduk di sofa dan dengan lembut dia menarik Cinta bersandar di dadanya. Di situ ia mulai dengan mengecup pipi sambil mengusap-usap pinggang Cinta. Tangannya lalu bergerak meremas lembut masing-masing pangkal bawah payudara si gadis yang masih tertutup bra.
“Cinta kurus ya Om?”, tanya Cinta sekadar menghilangkan salah tingkah sebab payudaranya mulai digerayangi Om Ridwan.
“Ah nggak, kamu malah bodimu bagus sekali Ta”, jawab Om Ridwan memuji Cinta apa adanya karena memang lekuk tubuh gadis itu begitu menggiurkan.
“Melainkan pasti Om senengnya sama yang montok kan? Kongkritnya waktu ini Cinta liat di hotel ceweknya montok banget..”.
“Iya tetapi toketnya gak sepadet kamu. Om kan menyukai toket yang padet biar enak diremes, kayak toket kau ini..”, rayu
Om Ridwan sambil kali ini mencoba untuk membuka pengait bra Cinta yang kebetulan kamu di menarik hati depan.
“Om sih enak ngerayu. Tiap-tiap belum ngeliat namun udah bilang padet aja”.
“Makanya sekarang Om liat, terus Om rasain hehehe”.
Kaitan bra terakhir Cinta berhasil dilepas Om Ridwan. Sepotong baju dalam itu pun berhasil dilolosi. Cinta cuma pasrah membiarkan branya terlepas. Gadis indah itu juga tampak pasrah membiarkan kedua payudara telanjangnya yang membulat kenyal itu mulai diremas tangan Om Ridwan.
“Biar Om pun, 34 B kan?”.
“Ih hebat, bener Om”.
Keduanya tertawa. Om Ridwan melanjutkan remasan tangannya.
“Persis seperti yang Om bayangin selama ini”.
“Maksud Om?”.
“Udah lama Om merhatiin juga ngebayangin kalo toket kau ini pasti cepat banget”.
“Emangnya Om mulai kapan merhatiinnya?”.
“Dari mulai kamu dateng ke rumah sama Feli Om udah ngakak sama kecantikan kamu Ta, cuma gak mungkin dong Om jelas-terangan.
Ia kali ngeliat rasanya gemes sama kau..”. Om Ridwana berkata begitu sambil memilin puting payudara di tangannya membuat si gadis lagi-lagi menggelinjang manja.
“Aaa.. gemes ingin diapain Om?”.
“Gemes mau peluk-pelukin Cinta kayak gini, cium-ciumin kayak gini, remes-remesin kayak gini.. sshmm..”, jawab Om
Ridwan dengan kau membikin sistem ia mendekap, mengecup pipi dan meremas payudara Cinta.
“Ih si Om.. Terusnya apalagi?”.
“Terusnya yang terakhir ‘ini’ nya.. Apa sih ini namanya?”, tanya Om Ridwan pun. Sementara tangan kanannya turun ke selangkangan Cinta, langsung meremas bukit sistem yang nampak samar dari balik celana dalam.
“Jika namanya memek Om”, jawab Cinta.
Gadis itu menoleh kesamping lalu menggigit pelan bibir Om Ridwan. Bahasa Cinta yang cenderung vulgar membuat Om Ridwan seketika organ intim wanita mendengarnya.
“Iya, sekiranya memek Cinta ini dimasukin punya Om, boleh kan?”.
Cinta pun Om Ridwan. “Dimasukin apa Om..?”.
“Jika, apa ya namanya?”, tanya Om Ridwan lagi. Dia menjalankannya sambil membawa tangan Cinta terhadap gundukan dibalik celana dalamnya.
“Aaa.. ini namanya kontol Om”. Seluruh Cinta dengan nada genit.
“Oh kalo gitu kontol Om ingin masuk ke memek Cinta, boleh? Hehehe”
“Kalo dimasukin kontol dapat bahaya loh Om, ntar kalo Cinta hamil gimana?”, Cinta bergaya polos, melainkan disaat yang sama tangannya malah meremas-remas gundukan besar itu.
“Jangan ambil bahayanya dong, ambil enaknya aja. Om kan ingin sedia kondom”.
“Tapinya sakit gak ya? Abis keliatannya gede banget sih Om”. Cinta terus malah birahi Om Ridwan.
Sementara tangan kiri Cinta terus meremasi selangkangan laki-laki itu. Dalam benaknya, Cinta berusaha membayangkan seberapa besar ‘benda’ tersebut.
“Gak dong, kalo udah dimasukin malahan enak. Yuk kita pindah ke menarik hati tidur?”.
Om Ridwan kemudian membopong Cinta pindah ke menarik hati tidur. Agaknya permainan cinta terlarang ini akan memasuki babak nikmat. Cinta memasrahkan diri dikala tubuhnya mulai tempat, dicium dan menjelang gemas oleh Om Ridwan. Semua ketika ini semakin menaikan birahi nafsunya.
“Oohhh… Aaahh…”.
Cinta memang diraba digauli laki-laki yang sudah berumur seperti Om Ridwan. Laki-laki berumur bukan cuma lebih pengalaman, melainkan juga lebih teliti saat mengecap tubuh perempuan. Apalagi gadis muda seperti dirinya. Ia jengkal tubuh Cinta menjadi basah oleh liur Om Ridwan. Getaran hebat menerjang hampir sudah tetapi dikontrolnya ditubuhnya. Cinta terus mendesah-desah diserbu ketika bernafsu yang bertubi-tubi di sekujur tubuhnya.
“Om…sshh.. ssshhh..”. Rancauan mulai terdengar keluar dari mulut Cinta.
“Ahahhhh.. gellii Omm.. Sshh.. iihh..”.
Rancauan Cinta itu kian memancing birahi Om Ridwan segera menjadi. Om Ridwan menonjol seperti laki-laki ingusan yang baru kali ini bergelut dengan seorang gadis. Ia menonjol begitu merasakan dan tidak terburu-buru untuk mengecapi sepuas-puasnya tubuh mulus nan cantik tersebut. Dari semula saja dia sudah bertekat untuk melupakan bagaimana status hubungannya dengan Cinta, apalagi sesudah dilanda nafsu tinggi seperti ini. Kini gadis teman dari sudah ini begitu hebat setelah gairahnya, sehingga membuatnya melupakan semua-galanya.
“Geli banget Om ooohhh…”.
Sekarang celana dalam Cinta telah diloloskan oleh Om Ridwan. Tubuh telanjang Cinta bahkan telah rata mendapatkan telah jilatan rakus lidah Om Ridwan. Mulut dan lidah Om Ridwan kelihatan sibuk berpindah-pindah menyedot dan menjilati diantara kedua bukit kenyal milik sang gadis indah. Terbukti kuluman mulutnya berada di puting kanan, karenanya tangan kanan Om Ridwan meremas-remas payudara kiri, demikian sebaliknya.
“Srruupp.. sruuupp..”, suara decakan terdengar saat dengan rakus Om Ridwan menikmati kedua payudara padat itu.
Sementara Cinta bergelinjang diatas ranjang. “Oohhh Om.. Terus Om…”.
Sedotan dan jilatan Om Ridwan turun maka perut rata Cinta. Turun lagi menuju pusar, hingga di dikala kewanitaan si gadis. Laki-laki itu membuka lebar kedua kaki Cinta. Ternyata Cinta rajin merawat dikala kewanitaannya. Bulu-bulu hitam yang ada disana kelihatan tercukur rapi. Bau sistem khas gadis muda membikin Om Ridwan begitu bernafsu melahapnya. Seperti anjing kelaparan dia menyosor, menjilat dan menyedot celah saat itu.
Keduanya tak peduli lagi dengan masalah kesopanan. Om Ridwan seakan lupa jikalau teman si kecil gadisnya yang persoalan sopan datang ke rumahnya, kini sedang menjambak-jambak rambutnya. Itu dikerjakan Cinta terdorong naluri akibat rasa buah hati yang melanda sekujur tubuhnya.
“Ssshh.. aahhh.. gelii.. Omm..”.
Om Ridwan tidak mempedulikan rancauan Cinta.
“Srruupp.. sruuupp.. ssruupp..”, cuma itu yang terdengar di antara kedua paha Cinta yang kian terbuka lebar.
Apalagi ketika cairan kewanitaan mulai mengalir keluar dengan derasnya. Memperhatikan itu Om Ridwan langsung giat menyedot-nyedot cairan tersebut. Permainan lidahnya yang liar juga menambah yang basah menjadi semakin basah. Rasa canggung yang semula ada, sekarang sepertinya komponen entah kemana.
“Omm.. Ssshh.. aahhh.. aaahhh.. “, desahan Cinta berubah menjadi lenguhan.
Dia kepala gadis indah itu menengadah ke langit-langit kamar dalam situasi terpejam. Guna memberikan sedikit waktu cara gadis itu beristirahat, Om Ridwan menghentikan jilatannya. Dia beranjak, lalu berjongkok di atas tubuh telanjang Cinta.
“Sepong kontol Om dong Ta”.
Cinta mengangkat tubuhnya. Mereka berganti posisi di ranjang. Cinta indah ujung celana dalam Om Ridwan dan menariknya turun. Gadis itu bergidik. Perut Om Ridwan yang tambun seakan hendak berlomba mengacung dengan penisnya. Menurut mitos, vagina laki-laki bertubuh tambun akan memiliki penis yang kecil. Untuk dikala ini agaknya mitos tersebut tak berlaku. Terbukti bersimpuh di depannya, Cinta baru secara jelas memandang ukuran penis Om Ridwan. Ukurannya besar, amat besar.
Mengamati keraguan di wajah Cinta, laki-laki itu nampak heran.
“Kau Ta?”.
“Gede banget Om”, sahut Cinta pelan.
Masih dengan sedikit keraguan, Cinta menggenggamnya dan mulai mengocok. Om Ridwan tersenyum bangga mendengar hal ini.
“Kau udah ada pacar Ta?”.
“Udah Om”.
“Gede mana punya Om sama punya pacar kau?”.
Cinta tahu benar bagaimana mesti menjawab pertanyaan seperti ini. Sebagai penyedia jasa, dia harus mau memuji ‘milik’ pelanggannya. Itu telah prinsip dagang, padahal untuk itu dia kerap kali wajib berbohong. Tapi untuk kali ini dia sepertinya tidak perlu berbohong.
“Punya Om dong”.
“Hehehe kalo gitu dikulum dong…”.
Cinta menurut. Ia menunduk dan memasukkan penis itu ke dalam mulutnya. Dikulumnya batang milik laki-laki yang hampir seumuran dengan ayahnya tersebut. Dengan telaten Cinta mengulum, menjilati dan balik mengulum batang besar itu. Selain besar, rupanya penis itu cukup panjang. Ternyata mengulumnya, Cinta bisa menikmati ujung penis itu hingga ketika tenggorokannya. Sesekali Cinta menyelingi dengan jilatan di lubang kencing dan juga buah zakarnya. Om Ridwan terlihat santai merasakan pelayanan yang meraba teman sudah itu.
“Udah.. udah ntar Om keburu keluar, gak sempet nyicipin memekmu”.
Om Ridwan menghentikan kuluman Cinta. Keduanya kembali berganti posisi. Kini Cinta yang terlentang di ranjang. Om Ridwan menekuk kedua kaki Cinta dan membukanya. Dengan posisi ini, sistem sang gadis menjadi terpampang tanpa halangan. Masih nampak basah dan licin. Dijilatinya dua jari tangannya, lalu dimasukkannya jari tersebut ke dalam memek si gadis. Dikocoknya lubang basah itu dengan jari berprofesi dibatasinya-dibatasinya disana menyesuaikan diri.
“Eeegghh…!”. Cinta menutup matanya.
Merasa seandainya lubang kenikmatan itu sudah cukup basah, Om Ridwan saraf batang penisnya yang telah menegang hebat kesana. Ia usap-usapkan ujungnya dipermukaan sistem Cinta, lalu sedikit menekannya. Gadis indah itu baru tersadar dikala batang itu telah hampir organ intim wanita terendam di vaginanya. Dia membuka mata dan melirik ke bawah. Cinta mengangkat tubuhnya. Kini kedua tangan sebagai penopang.
“Om, Cinta pakein kondomnya dahulu ya”.
“Gak usah pake kondom ya Ta, ntar Om keluarin diluar deh”.
“Tadi katanya ingin pake?”.
“Iya itu kan tadi hehehe”.
Cinta mengerutkan dahi.
“Abis pake kondom gak enak rasanya, bole ya gak pake? Bole ya, bole ya?”, sebut Om Ridwan dengan nada memelas.
Cinta menggeleng. “Gak pake kondom gak boleh masuk!”.
Kini giliran Om Ridwan yang mengerutkan dahinya. Dia cuma dapat melongo mengamati Cinta turun dari ranjang menuju meja dimana dia meletakkan hanya. Tubuh telanjang Cinta nampak benar-benar ranum dari posisi Om Ridwan ketika ini. Hitungan detik Cinta telah naik kembali ke ranjang. Gadis itu duduk dihadapan Om Ridwan sambil merobek sebungkus kondom. Dengan pelan dia memasangkan karet pengaman ini pada batang penis Om Ridwan.
“Udah boleh lanjut? Hehe”. Gadis indah itu tersenyum dan mengangguk.
Kemudian dia merebahkan kembali tubuhnya di ranjang. Sekilas dipandangnya wajah Om Ridwan memerah menahan nafsu. Cinta kembali memejamkan matanya. Tak lama ia dapat menikmati ujung penis Om Ridwan saat permukaan vaginanya. Perlahan ujungnya mulai terasa menyeruak masuk ke dalam lubang kenikmatannya. Dan beberapa detik kemudian batang penis itu malah penghujam penuh.
“AAAKKHHHH..!!!”, Cinta berteriak pesat.
Teriakan itu semakin hebat dikala tiba-tiba saja Om Ridwan mengocok penisnya dengan ganas. Cinta tidak menyangka akan menerima serangan mendadak seperti itu.
“Sakit Om… SAKIITT…!!”.
Gadis cantik itu terus berteriak, tetapi Om Ridwan telah terlanjur dilanda birahi mendapatkan ubun-ubun. Tak peduli dengan teriakan Cinta, ia terus saja menghujam dan terus menghujamkan penisnya. Kelihatannya ukuran penis Om Ridwan terasa merobek dinding cara Cinta, dan membuatnya berkontraksi hebat.
“OMM… SAKIITT OOMM…!!”.
Cinta berteriak histeris dan terus mengerang. Mendengar teriakan Cinta yang memelas, walhasil Om Ridwan meredam sedikit emosinya. Dihujamkan penisnya secara lebih pelan. Laki-laki itu menaik-turunkan malah dengan lebih berlahan. Secara perlahan pula penis itu mulai bisa diterima dinding sistem Cinta.
“Memekmu sempit banget Ta, Enaakk..!”. Giliran Om Ridwan yang merancau.
“Iya Om, gitu Om.. Pelan-pelan aja…”.
Puas dengan posisi missionary, Om Ridwan menghendaki perubahan.
“Oke kini kau nungging. Om ingin nyodok kau dari belakang”.
Cinta menurut dan berbalik. Diambilnya posisi doggy kau permintaan.
“Siap-siap Ta, Om bakal bikin kau teriak-teriak lagi”.
Selesai berkata seperti itu terdengar kembali teriakan dari mulut Cinta, AAAKKHH.. OOMM..!!”.
Om Ridwan mengocok lagi dengan ganas, namun kali ini Cinta jauh lebih siap. Vaginanya sudah berkontraksi dengan pantas. Sodokan Om Ridwan kali ini kapabel membuat Cinta lantas terbuai dalam kenikmatan. Kedua tangan Cinta menggenggam erat sprei dengan pesat, seiring kencangnya sodokan Om Ridwan. Sekali-sekali tamparan dilancarkan Om Ridwan kepada bongkahan lantas Cinta.
“Gimana Ta? Enak?”.
“E-nikmat Om, enak banget…”, Cinta berkata jujur.
Dengan posisi ini Om Ridwan kapabel menerbangkan Cinta mendapatkan ke langit ke tujuh.
Cukup lama berada dalam posisi ini, Om Ridwan membalik kembali posisi tubuh Cinta. Kembali ia menyodok cara gadis itu dari depan. Cinta sendiri nampak asyik menikmati posisi ini. Saking asyiknya kedua tangan dan kakinya naik mencapit tubuh Om Ridwan, seolah-olah menjaga berprofesi kenikmatan itu tak dicabut lepas. Disambut kehangatan begini Om Ridwan tambah bersemangat memompa. Laki-laki itu merasakan gaya Cinta meliuk-liukan pinggangnya sambil terus berteriak-teriak histeris.
“OOHH TA, MEMEKMU…!!!”, teriak Om Ridwan.
Gaya kembali berganti. Sekarang Cinta berada di atas tubuh Om Ridwan. Dalam posisi seperti itu, Cinta terlihat seperti seorang koboi yang sedang mengendarai kudanya. Cinta menekan perut laki-laki itu, sementara pinggulnya menggoyang hebat. Payudara Cinta turut bergoyang hebat, mengundang Om Ridwan meremasnya kuat. Sementara dibawah sana, penisnya juga teremas dengan kuat.
“Agghh.. iyaa gitu Ta.. duhh.. aahh.. gghh..”.
“Aduuhh.. ayoo.. Omm.. ssshh..”.
Bunyi desahan, lenguhan, dan teriakan keduanya memenuhi segala ruangan itu, kecuali bunyi Layar yang semenjak permulaan tak mendapat perhatian. Sebagian gaya bersenggama silih berganti dilaksanakan keduanya. Saat Om Ridwan berada diatas, kadang Cinta yang indah kendali. Ranjang yang berguncang-guncang hebat menjadi saksi bagaimana panasnya pergumulan kedua insan manusia berbeda usia tersebut. AC yang memang tidak dihidupkan, kian membikin hawa panas diruangan itu semakin meningkat.
“Aahh.. aahhh.. aaduhh.. sshh Om..”.
“Hheehh.. mmhhh.. ayoh.. Ta..”.
“AAHHH.. OM HAMPIR SAMPAI…!!”. Laki-laki itu terlihat serius dan tegang seperti hampir kian ejakulasinya.
“CINTA JUGA OOMMM..!!”.
Beberapa saat kemudian secara berbarengan keduanya menonjol hampir tiba dalam orgasme. Cinta tampak memperketat belitan kakinya. Saling menghujam, bergoyang dan berteriak, suara keduanya masing-masing terdengar seperti mengajak untuk melepas seluruh kepuasan dalam sentakan-sentakan erotis. Sama-sama menerima kenikmatan dan kepuasan dalam persetubuhan mereka untuk pertama kali ini.
“OMMM.. CINTA NYAMPE…!!”.
Tubuh Cinta nampak mengejang hebat. Sementara Om Ridwan terus menghujamkan penisnya dengan ganas.
“AAAKKHHH… OOMM…!!”.
Ternyata Cinta berteriak sensitif pencapaian puncaknya, hampir beriringan Om Ridwan mencabut batang penisnya. Dengan buru-buru laki-laki itu menarik karet kondom dan mulai mengocok penisnya sendiri. Semenit kemudian penis besar itu berkedut sebagian kali.
“CROOTT… CROOOTT.. CROOOTT..”.
“CROOTT… CROOOTT.. CROOOTT..”.
Hampir sepuluh kali lebih semprotan menyembur hebat. Cairan putih mendarat di perut dan paha mulus Cinta. Cinta sendiri tak sadar bila kini tubuhnya belepotan beriringan. Ia masih terpejam dengan napas memburu. Om Ridwan malah kemudian terjatuh terlentang di samping si gadis. Keduanya tampak ngos-ngosan. Sebagian menit begitu dia mulai tenang, Cinta nampak hendak beranjak turun dari ranjang. Tapi usahanya itu gagal ketika tiba-tiba Om Ridwan memeluk tubuhnya dan menariknya kembali terlentang di ranjang. Om Ridwan menggulingkan tubuhnya sehingga menindih tubuh mulus Cinta.
“Ia kemana indah? Hehehe”.
“Bersih-bersih Om, lengket nih gara-gara Om”, Cinta merajuk manja.
“Gak boleh, Om mau nyodok kamu lagi kini! Hehehe”.
Om Ridwan syaraf ujung penisnya dan menekannya masuk kembali. Digoyangkannya berlahan, sambil mengelus rambut Cinta.
“Ih Om indah nihh.. maen nyodok aja?”, komentar Cinta sambil memukul dada Om Ridwan.
“Abis kamunya juga bikin ketagihan sih?”, balas Om Ridwan dengan tangannya merangkul leher dan bermain lagi di payudara Cinta.
“Om menyukai layanan Cinta?”.
“Oo.. terang suka sekali sayang.. Abis, kamu selain indah memeknya juga sedap banget..”, kali ini dagu Cinta diangkat, bibirnya digigit gemas oleh Om Ridwan.
Wajah Cinta nampak berbinar bangga dengan kebanggaan itu.
“Kalo gitu Cinta bersih-bersih dulu, terus Cinta kasih lagi deh”.
“Bagaimana bila ronde kedua di kamar mandi aja?”, Om Ridwan mentoel puting payudara kanan Cinta.
“Boleh…”, sebut Cinta sambil tersenyum manis.
“Kalo gitu, let’s the next round begins”.
Om Ridwan mencabut penisnya dari sistem Cinta. Dia menggulingkan tubuhnya dari atas tubuh Cinta. Dibantunya gadis cantik itu untuk berdiri.
Gadis indah itu menikmati remasan bandel di pun sebelum ia turun dari ranjang. Dia berbalik kemudian kembali tersenyum dan mendaratkan ciuman dibibir Om Ridwan. Keduanya kemudian saling berangkulan masuk ke dalam kamar mandi dalam situasi telanjang. Tidak lama terdengar suara tawa manja Cinta akibat kegelian dari dalam sana. Terdengar juga beberapa kali rayuan Om Ridwan. Hingga kesudahannya semuanya kembali berganti menjadi desahan dan teriakan penuh kenikmatan.
Jikalau yaitu pembukaan dari kekerabatan gelap antara mereka berdua.
Om Ridwan memenuhi janji untuk membantu skripsi Cinta. Sepanjang hingga waktu tersebut beberapa kali relasi terlarang mereka tetap berlangsung secara menolong-membantu. Umur itu terus berlangsung diantara persetubuhan lain yang dikerjakan Cinta dengan pelanggannya, tetapi dengan intensitas yang mulai jauh berkurang. Padahal hubungan mereka cuma sebatas ‘bisnis’ semata, rupanya mereka berdua menonjol bisa saling memuaskan satu sama lain. Sebagian yang terpaut jauh sepertinya tak menjadi persoalan untuk mereka. Bagus rahasia Cinta maupun rahasia Om Ridwan pun masih terjaga dengan rapat yang cuma diketahui oleh keduanya. Sebagian hotel dan bungalow di luar kota tak jarang menjadi saksi persetubuhan panas mereka berdua.
Permainan ingin memilih menarik hati di luar kota, melainkan satu waktu permainan pernah mengambil setting di rumah Om Ridwan. Kejadian yang tak pernah direncanakan ataupun diduga sebelumnya. Kejadian yang cukup menarik untuk diceritakan.
Suatu hari, beberapa bulan setelahnya ::
Cinta sebelum sidang ::
Hari ini merupakan hari dimana Cinta menjalani sidang skripsinya. Sesudah berbulan-bulan yaitu keras mencari dan mengolah data, ditambah ‘kerja keras’ di ranjang bersama Om Ridwan, akhirnya hari yang dinanti Cinta datang juga. Siang itu sebagian Cinta mempertahankan skripsi yang ditulisnya selama berjam-jam di depan penguji berakhir dengan mulus. Hari itu Felisia, sahabat karibnya bahkan datang untuk memberi berprofesi bersama sebagian teman lainnya. Sorak-sorai kegembiraan lantas memekik keras ketika Cinta keluar dari ruang ujian dan kau lembar pengukuran bertulis huruf A. Cinta yaitu gadis pertama yang lulus diantara teman-teman karibnya yang ada disana.
“Semenjak lu Ta, gak nyangka gue diantara kita-kita lu yang dapat lulus duluan”, teriak Felisia.
“Bener tuh, gue juga gak percaya”, sahut gadis lainnya yang bernama Febby.
“Iya dong, Cinta gitu loh”.
Ucapan Cinta itu langsung disambut teriakan “hhhuuu..” dari teman-temannya. Dilanjutkan dengan dorongan dan tepukan.
“Ampun.. Ampun.. Udah ah jangan bikin rusuh di kampus”.
“Apa sih rahasia lu Ta?”, tanya Felisia.
“Belajar yang rajin, tidur teratur dan rajin menabung hehehe”.
Kembali teriakan “hhhuuu..” membahana di ruangan itu.
Cinta sendiri cuma tersenyum memperhatikan tingkah sahabat-temannya itu. Cuma saja Cinta senyum itu sedikit tertahan melihat temannya Felisia. Tidak hubungan gelapnya dengan Om Ridwan cuma, ia tak jarang merasa kikuk bila berhadapan dengan Felisia. Bagaimana tidak, selama beberapa bulan ini ia telah beberapa kali tak intim dengan ayah dari sahabat karibnya itu. Persetubuhannya dengan Om Ridwan-lah rahasia amat dia bisa mulus mengatasi studi secepat ini. Melainkan semua sudah terjadi dan tidak dapat lagi diputar kembali. Paling tidak selama seluruh skripsi ia cuma perlu melayani satu laki-laki. Tidak perlu ditambah layanan khusus untuk dosen pembimbing ataupun penguji skripsinya, sebagaimana cerita-cerita panas yang umum ada di laman-situs dewasa.
“Eh lu inget janji kita kan Fel?”, Cinta seketika menghapus bayangan Om Ridwan dan benaknya.
“Janji apa?”.
“Halah pura-pura lupa segala”, Cinta menepuk pundak Felisia. “Janji nraktir yang lulus pertama dong”.
“Oh iya, lu mau makan dimana?”.
“Elu? Trus kita berharap diapain?”, Cindy, salah satu sahabat Cinta yang ada disana lantas mengajukan protes.
“Lulus dulu sebelum gue, baru gue traktir hahaha”.
Lagi-lagi teriakan “hhhuuu..” membahana di ruangan itu.
Sesudah seluruh segala administrasi pasca sidang skripsi selesai, gadis-gadis itu bahkan berpisah. Sekali lagi sebelum berpisah mereka satu persatu menyalami Cinta, sebagai ucapan selamat. Tak lama Cinta sudah berada di dalam kendaraan beroda empat bersama sahabatnya, Felisia.
“Oh ya ampun, gue lupa duit gue hanya sisa goceng nih di dompet, kita mampir dahulu ke rumah ya buat ngambil duit”.
“Aduh.. Gak apa-apa, sudah-telah aja lu kan bisa traktir gue”, Cinta tergagap mendengar ucapan temannya itu.
Tidak affair dirinya dengan Om Ridwan di mulai, memang Cinta kerap kali menghindar untuk datang ke rumah Felisia. Bukan sebab adanya Om Ridwan disana, namun sebab Cinta tidak ingin bertatap muka langsung dengan Tante Vera. Cinta juga sering kali kelihatan kikuk bila itu terjadi. Pun lebih kikuk segera dikala ia harus berhadapan dengan Felisia. Cuma dari itulah dia ingin berupaya bekerja pertemuan dengan Tante Vera bisa dihindari.
“Mampir bentar aja, Mama juga lagi gak ada kok”.
Mendengar itu Cinta menghela nafas sedikit lega. Tapi itu tak membuat rasa khawatirnya komponen.
“Beneran Fel, telah-telah aja gak apa-apa”.
“Gak ah musti sekarang, mumpung mood gue lagi bagus hehehe”.
Sebagai orang yang tidak berada di belakang kemudi, Cinta malahan cuma bisa berdasarkan. Lagian semua ini malah dari dirinya sendiri. Dirinyalah yang mengingatkan seputar traktiran tersebut, bukan Felisia.
Hanya butuh tiga puluh menit dari kampus menuju rumah Felisia. Cinta sedikit deg-degan ketika kembali wajib menginjakkan kaki di rumah temannya tersebut. Sudah ham