Diusianya yang ke 10 tahun, Issa sudah menjadi seorang anak yang ahli dalam memperbaiki rudal dan mortir. Konflik di Suriah memaksa ia bergelut bersama ayahnya sebagai pembuat senjata.
Dengan penuh ketelitian ia selalu mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ayahnya memang telah mengajarinya sejak beberapa tahun yang lalu terutama sejak banyak keluarga di Allepo memilih mengungsi dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang tersebar diberbagai perbatasan negeri.
Disaat anak-anak lainya pergi mengungsi Issa memilih bersimbah keringat diruang yang pengab, ia sibuk membuat rudal-rudal yang akan digunakan oleh para pejuang suriah.
Issa begitu menikmati harinya, dari sang ayah ia mengetahui beragam ilmu tentang senjata yang mematikan.
Issa paham bila senjata yang ia rakit bersama ayahnya digunakan untuk berperang, namun ia
belum terlalu peduli bila sebenarnya apa yang ia buat adalah senjata yang mampu
menghancurkan hak hidup seseorang.
Ditangannya mortar dirangkai, tubuhnya yang mungil tenggelam dalam senjata yang mampu membunuh banyak jiwa.
Kisah Issa tentunya berbeda dengan hidup banyak anak didunia, bertahan dikancah perang bersama keluarga adalah pilihan sulit yang harus ia jalani sebagai seorang bocah.
Konflik di Suriah hingga kini telah mengakibatkan aksi pengungsian besar yang didominasi oleh anak-anak. Namun masalah juga terjadi didalam negeri yang terkoyak itu, ratusan anak masih bertahan dalam kecamuk perang yang tak kunjung usai.
Sehari-hari ia bergaul dengan senjata di bengkel yang dimiliki pasukan pejuang di Suriah. Bersama ayahnya yang menjadi pendukung pasukan pejuang, Issa bekerja rutin dari pagi hingga sore datang. Bila hari Jum'at ia memilih tinggal dirumah dan melangkahkan kakinya ke masjid untuk berdoa.