2016-09-29

Corporate Social Responsibility

CSR sebagai suatu konsep berkembang luas yang berdampak pada kepentingan stakeholder perusahaan, dalam hal ini masyarakat umum, sudah menjadi suatu

istilah yang banyak dibahas dalam bidang keilmuan di banyak perguruan tinggi.

Dalam hal ini tidak luput juga menjadi istilah yang banyak disebut-sebut dalam dalam praktek akuntansi syariah atau lebih tepatnya akuntansi Islam.

Namun perlu kiranya diperjelas antara apakah arti CSR itu sendiri, beserta beberapa hal yang berkenaan dengannya di satu pihak kemudian apakah akuntansi Islam beserta beberapa hal yang berkenaan dengannya, lantas jika ada dimanakah letak keterkaitan antara keduanya?

Apa itu pengertian atau definisi dari CSR?

Menurut Hartanti (2006) definisi CSR sejatinya telah diuraikan semenjak tahun 1950an. Semenjak itu definisi CSR berkembang luas di kalangan bisnis. Namun demikian kalangan akademisi dan pendidikan memandang perlu untuk melakukan kajian ilmiah terhadap CSR karena terlihat bahwa CSR sebagai suatu konsep berkembang luas yang berdampak pada kepentingan stakeholder perusahaan, dalam hal ini masyarakat umum.

Sedangkan menurut Karsten (2006) CSR sebagai suatu konsep dapat ditelusuri kembali di awal abad ke 19 di Belanda dan pada awal abad 20 di Amerika Serikat. Walaupun ada banyak ambiguitas dan perbedaan yang mungkin berlaku di berbagai negara, CSR secara bertahap menjadi konsep yang bersifat global, dimulai dengan adanya beberapa perusahaan MNC (multinational corporation) yang menaruh perhatian terhadap reputasi mereka. Pengalaman di Belanda menunjukkan bahwa walaupun CSR dimulai oleh sedikit sekali perusahaan, tetapi pemerintah (Belanda) telah menaruh perhatiaannya untuk mengembangkan konsep ini dalam rangka antisipasi terhadap perkembangan dunia.

Dari sisi akademisi, definisi paling tua mengenai CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen (Hartanti, 2006) dalam bukunya “Social Responsibility of the Businessman”. CSR berdasarkan Bowen adalah kewajiban dari seorang pebisnis untuk mengusahakan dan melaksanakan tindakan-tindakan dalam kerangka tujuan dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Seorang pebisnis haruslah berpikir lebih luas ketimbang angka-angka keuntungan dan kerugian. Pada saat itu, 85% pebisnis setuju dengan pendapat Bowen ini. Semenjak definisi CSR oleh Bowen ini, ada banyak versi dan definisi CSR. Namun umumnya definisi yang dianggap paling utuh adalah yang diketengahkan oleh Caroll (1979). Menurut Caroll, idealnya sebuah perusahaan memiliki empat macam tanggung jawab sosial, yaitu: ekonomi, hukum, etika dan diskresioner. Tanggung jawab ekonomi umumnya akan menempati urutan teratas dikarenakan sifat alami sebuah perusahaan adalah bergerak di bidang ekonomi/ bisnis. Walau begitu, masyarakat akan menuntut agar perusahaan senantiasa memenuhi tanggung jawab ekonominya tetap dalam kerangka hukum. Tanggung jawab etika adalah sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat untuk diterapkan oleh perusahaan diluar batassbatas hukum. Semen tara tanggung jawab diskresioner adalah bagian dari aktivitas filatropi perusahaan yang biasanya dilakukan secara sukarela.

Setelah definisi CSR oleh Caroll Inl, tidak ada pengembangan lebih lanjut mengenai definisi dan konsep CSR di bidang akademis. Definisi oleh Caroll ini selanjutnya senantiasa dijadikan titik awal untuk mengembangkan dan melakukan analisa empiris atas aktivitas dan kinerja tanggung jawab sosial perusahaan. Sebagai contoh: Aupperle, Carroll dan Hatfield serta Pinkston dan Caroll melakukan penelitian atas keempat dimensi CSR Caroll di Amerika serikat pada tahun 1985 dan 1996. Hasil penelitian empiris tersebut memperlihatkan bahwa bagi kalangan bisnis di negara tersebut tanggung jawab ekonomi menempati posisi yang paling penting, disusul dengan tanggung jawab hukum, etika dan diskresioner. Menariknya hasil penelitian dua dekade yang berbeda tersebut tetap memperlihatkan bahwa aktivitas philantrophy tetap dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontroversi dan oleh karenanya dihindari oleh perusahaan-perusahaan.

Sejarah Perkembangan CSR.

Masih menurut Hartanti (2006) Di Indonesia, isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) mulai mengemuka lima tahun belakangan ini. Umumnya kalangan pengusaha menerjemahkan konsep CSR sebagai bentuk “berbagi kepada masyarakat sekitar / kalangan tertentu”, atau sebagai bagian dari kedermawanan sosial. Sehingga tak heran banyak pula yang menyatakan CSR tak lebih dari sekedar philantrophy. Padahal, makna CSR seharusnya lebih dari sekedar philanthropy semata. Jelas, bahwa makna CSR sudah bergeser dari sisi ilmiahnya menjadi lebih kepada trend sosial yang mudah-mudahan tidak hanya berlangsung sekejap saja. Ada baiknya jika kita pahami apa dan bagaimana CSR sebenarnya.

Secara philosophy, konsep CSR dapat dikategorikan dalam tiga paradigma; Pristine Capitalist, Enlightened Self-Interest dan Social Contract. Pandangan yang pertama merupakan perwakilan sistem ekonomi liberal dan kapitalis, dengan Milton Friedman sebagai tokohnya. Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab sosial bagi sebuah bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, untuk tumbuh, berkembang dan melaksanakan efisiensi ekonomi dengan penggunaan sumberdaya sedemikian rupa selama tetap menaati peraturan, yaitu tidak berlaku curang dalam sebuah sistem kompetisi bebas dan terbuka. Sehingga semua konotosi tanggung jawab sosial di luar definisi di atas dianggap sebagai penyalahgunaan dana pemegang saham.

Di sisi pandang yang lain, Sosial Contract berpendapat bahwa sebuah perusahaan dapat berusaha dalam perekonomian karena adanya kontrak sosial (social contract) dengan masyarakat dan oleh karenanya bertanggungjawab atau terikat dengan keinginan masyarakat tersebut. Sehingga dalam pandangan kelompok ini dengan adanya kontrak sosial tersebut perusahaan bertindak sebagai agen moral (moral agent), konsekuensinya perusahaan harus memaksimumkan manfaat keuntungan sosial bagi masyarakat. Akan halnya Enlightened Self-Interest berada di sisi pertengahan, dimana menurut pandangan ini stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya akan dapat dicapai jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggungjawab sosial kepada masyarakat, paling tidak dalam tingkat yang minimal.

Dari ketiga uraian di atas, jelas terlihat bahwa definisi CSR bisa berbeda-beda tergantung bagaimana kita berpihak dalam ketiga sudut pandang tersebut. Idealnya suatu perusahaan memilki etika dalam visi dan misinya. Dalam era dimana kesadaran akan tanggung jawab sosial semakin meningkat, argumentasi bahwa tanggung jawab perusahaan hanyalah untuk menghasilkan keuntungan bagi para pemegang sahamnya adalah sesuatu yang absurd atau tidak pas. Sebuah perusahaan bagaimanapun juga adalah sebuah subsistem yang membutuhkan subsistem lain (dalam hal ini stakeholders) untuk beroperasi dan mencapai tujuannya. Tetap berargumentasi bahwa perusahaan harus memaksimumkan keuntungan sosial juga dapat dianggap berlebihan. Posisi jalan tengah (Enlightened Self-Interest) pada akhirnya dianggap memberikan solusi yang terbaik. Namun pandanngan ini juga tidak beresiko. Masalahnya, unsur reward dan penalty amat berperan dalam pemilihan level CSR yang diingini bagi penganut paham ini. Jika perusahaan merasa tidak tidak ada tekanan untuk berperilaku sosial maka, sebagaimana karakteristik perusahaan yang bersifat memaksimumkan laba, perusahaan akan bertindak tak bertanggung jawab. Phenomena inilah yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang (Shiraz, 1998)

Perkembangan CSR, Citra dan Kepedulian Manajer Puncak (CEO).

Sejak awal perkembangannya hingga kini, konsep dan definisi mengenai CSR pada hakekatnya senantiasa berubah baik dari sisi masyarakat bisnis maupun akademisi. Salah satu alasan adalah karena adanya pengaruh dari ketiga pandangan di atas. Alasan lain ialah karena berubahnya permintaan/harapan dari masyarakat terhadap peranan perusahaan terkait dengan tanggung jawab sosialnya. Sebagai contoh di Amerika, karena pengaruh pandangan Milton Friedman dalam hal tanggung jawab sosial, selama beberapa periode adalah sebuah hal yang illegal bagi perusahaan untuk melakukan sumbangan/donasi bagi kegiatan-kegiatan sosial. Sesuatu yang amat berbeda jika dibandingkan dengan era sa at ini.

Berkut ini menurut Pambudi (2006) CSR dapat dijalankan melalui tiga pilar yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Kegiatan yang dilakukan dalam berupa community development yang kemudian dikembangkan untuk mencapai citra yang baik di mata para stakeholders perusahaan. Adanya beberapa pihak yang masih memandang pelaksanaan CSR dalam konteks profitabilitas perusahaan merupakan tantangan tersendiri, karena seyogyanya perusahaan juga harus memperhatikan orang dan Lingkungan sekitarnya. Di sini kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan CSR.

“Sebuah perusahaan kecil adalah kekayaan pribadi seseorang, tapi ketika perusahaan itu menjadi besar, ia menjadi kekayaan semua pekerja.

Dan ketika perusahaan itu berkembang lebih lanjut, ia milik masyarakat, menjadi milik negara.” (Chung Ju-Yung, pendiri Hyundai)

MAK adalah perusahaan papan atas bisnis hospital equipment di Tanah Air yang juga sudah merambah pasar mancanegara. Gempa 27 Mei 2006 bukan cuma menghancurkan sejumlah fasilitas pabriknya di kawasan Sleman, tapi juga meluluhlantakkan sekitar 200 rumah karyawannya yang tersebar di kawasan bencana itu. Tiga hari setelah tragedi itu, Buntoro, pimpinan perusahaan MAK meminta karyawannya masuk kerja dan melupakan kesedihan yang melanda, termasuk rumah mereka yang telah rata dengan tanah. “Saya bilang sama mereka, ‘Kerjalah, jangan terus bersedih. Anda cari uang. Rumah, biar saya yang bereskan. You do your job, I do my job’,” ujar lelaki yang sedikitnya menderita kerugian hingga Rp 2 miliar akibat gempa.

Bagi Buntoro, apa yang dilakukannya merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan CSR (corporate social responsibility). CSR? Ya. Sebabnya, ia melakukan apa yang melebihi tugasnya sebagai pemimpin perusahaan. la tak sekedar mencari profit untuk kemudian memberikan remunerasi melebihi upah minimum yang ditentukan, tapi juga memperhatikan nasib karyawannya, pada saat yang mengenaskan sekalipun. Total karyawan MAK sendiri mencapai 350 orang.

Tentu saja kita boleh setuju ataupun tidak dengan pemahaman di atas. Pemahaman apakah itu CSR, atau filantropi (kecintaan pada manusia) seorang Buntoro terhadap nasib karyawannya, membuka ruang debat. Namun, yang jelas, rasanya langkah itu jauh lebih bermartabat ketimbang apa yang terjadi pada PT Lapindo Brantas yang menimbulkan bencana di kawasan Porong, Sidoardjo, Jawa Timur. Demi mencetak profit tapi tanpa diimbangi langkah operasi yang prudent, lumpur panas perusahaan ini telah menghancurkan bukan hanya manusia beserta kegiatan ekonominya, tapi juga ekosistem di sekitarnya. Dan yang menyedihkan, manajemen perusahaan itu tampak sempat bingung untuk menunjukkan tanggung jawabnya. Masyarakat yang menjadi stakeholders-nya dibiarkan mengatasi sendiri lumpur panas yang menghancurkan lingkungan tempat mereka tinggal.

Kembali pada Buntoro. Mesti diakui, CSR kini menjadi salah satu konsep yang tengah “genit”, tak terkecuali dengan pelesetannya; celebrity social responsibility merujuk pada aktifnya Bono U2, Angelina Jolie, Brad Pitt, dan selebritas lain – termasuk artis skala lokal – dalam aktivitas sosialnya masing-masing. Di dunia, Edward Teach dari CFO Magazine pernah mencatat bahwa kata CSR mencapai 4.680.000 hits di Google. Jauh meninggalkan “shareholder value” yang mencapai 2.340.000 hits.

Saking populernya, di Tanah Air, bahkan banyak para pemimpin bisnis yang seperti tak ingin “ketinggalan kereta” bila tak menyebut CSR sebagai salah satu nilai-nilai yang dianut perusahaannya. Atau, setidaknya sebagai “bendera” aktivitas sosial yang pernah dilakukannya. Mereka seperti khawatir tak menjadi good citizen (warga negara yang baik) ketika tak pandai melafalkannya, dan tak menyebutkan tiga huruf itu tatkala mengiklankan aktivitas kedermawanannya.

Padahal, yang menarik, manakala Indonesia tengah mulai demam konsep ini, di mancanegara, telah menyusul konsep lain yang berupaya menyempurnakannya. Ya, menyempurnakannya, lantaran CSR dipandang too corporate centric. Terlalu mengarah pada korporasi. Sebagai citizen (warga negara), perusahaan dipandang sudah cukup menjadi warga negara yang baik dengan cara taat pajak dan berperilaku etis, seperti tidak menyuap, terlibat korupsi, serta menciptakan produk yang bertanggung jawab, atau berproduksi dengan penuh tanggung jawab. Kasus Lapindo Brantas, di luar faktor “X” – katakanlah sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan -, alhasil merupakan contoh perusahaan yang bukan good citizen.

Konsep yang berupaya menyempurnakannya itu adalah social responsibility yang tengah diarahkan menjadi ISO. Dalam konsep ini, bukan hanya perusahaan yang punya tanggung jawab sosial, tapi juga pemerintah serta individu. Semua komponen ini punya tanggung jawab sosial yang sama. Artinya, bukan cuma perusahaan dan para pemimpinnya yang bertanggung jawab sosial. Seluruh komponen dalam sebuah millieu bernama negara, punya kesetaraan tanggung jawab untuk menjaga planet dan keharmonisan kepentingan seluruh stakeholders tempat mereka tinggal.

Tren para CEO atau pengelola korporasi yang merasa pentingnya CSR sebagai bagian dari aktivitas perusahaannya, sepengamatan penulis bukanlah isapan jempol. Dari sisi komponen tanggung jawab sosial perusahaan, para pengelola korporasi ini berusaha mempraktikkan komponen CSR dengan upayanya masing-masing.

Akuntansi dan Berbagai Permasalahan di Bidangnya

Berbagai Permasalahan di bidang Akuntansi (konvensional) a.l.:

Sebelum masuk kepada Akuntansi Islam, maka perlu diketahui adanya berbagai

permasalahan  dari akuntansi (konvensional) sebagai suatu profesi, sebagaina yang

diuraikan oleh Harahap (2007: 27-30) dalam bukunya yang berjudul Krisis Akuntansi

Kapitalis a.l  sbb:

Earning Management:

Mengatur laba ini dalam kamus akuntansi dikenal dalam berbagai istilah: ada yang menyebut “window dressing” atau “lipstick accounting” untuk menciptakan laporan keuangan lebih cantik. Ada istilah cooked book atau Income smoothing untuk mengatur laba dengan menu yang diinginkan sponsor atau terakhir dipakai istilah earning management. Semua istilah itu berkonotasi negatif karena ingin menciptakan angka laba yang distortif inflatif tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak memberikan informasi yang akurat dan reliable lagi bahkan dinilai menjadi “fuzzy numbers” atau angka yang membingungkan.

Upaya mengatur laba ini kadang bisa didukung oleh standar akuntansi yang dipakai. Artinya dengan menerapkan standar akuntansi yang diterima umum pun saat ini kita bisa memanaj laba supaya sesuai dengan keinginan sponsor. Sifat akuntansi yang banyak mengandung taksiran (estimasi), pertimbangan (Judgment) dan sifat accrual membuka peluang untuk bisa mengatur laba. Taksiran penyusutan, bad debts, nilai persediaan, pemilihan standar penilaian persediaan misalnya FIFO, LIFO, standar penyusutan misalnya straight line, double declining, dan sebagainya bisa mengubah angka laba. Sistem akrual bisa mempengaruhi alokasi waktu dari hasil dan biaya yang menimbulkan perubahan laba periodik. Ini semua bisa menjadikan laba menyesuaikan diri dengan keinginan penyaji (cooked book) apalagi KAP (Kantor Akuntan Publik) nya tidak independen dan memiliki kepentingan serta moral hazard maka lengkaplah penipuan dibidang profesi akuntan itu yang belakangan ini banyak kita dengar. Sejauh ini profesi akuntan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya dalam tataran imbauan dan penerapan kode etik yang longgar paling tidak di Indonesia. Praktik-praktik earning management di BEJ Jakarta menurut beberapa penelitian menunjukkan eksistensinya. Jika hal ini terjadi maka profesi akuntan yang modalnya adalah kepercayaan masyarakat berada dalam situasi bahaya. Karena kontrak sosialnya bisa putus karena dia melupakan tanggungjawab sosialnya.

Di kalangan akademisi sendiri sebenarnya ada upaya untuk keluar dari konvensi standar akuntansi yang ada sekarang. Tom Lee misalnya menganjurkan “cash flow accounting” atau akuntansi berbasis kas yang tidak menggunakan basis akrual untuk menghindari earning management melalui sistem akrual. Dengan sistem ini diharapkan laba akuntansi lebih riel kendati pun sebenarnya hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. Belakang ini ada upaya dari beberapa perusahaan untuk merubah standar akuntansi yang dapat memberi peluang untuk mendistorsi laba seperti pencatatan bonus plan atau pension plan dan sebagainya. Bahkan yang lebih radikallagi beberapa perusahaan seperti Verizon Comlnunication Incorporation mencoba membuat standar akuntansi sendiri dan ternyata menghasilkan laporan laba yang lebih keeil dari laba menurut standar akuntansi yang berlaku. Kita di Indonesia sudah selayaknya memikirkan hal ini sebelum kasus ENRON, WorldCom, Adelphia Com, Merck, Lippo. Kimia Farma merambah dan menambah banyaknya kasus skandal akuntansi di Tanah air.

Menurunnya Pamor Akuntansi di Amerika

Profesi akuntan sudah ada sejak kehadiran manusia selaku makhluk sosial dimuka bumi. Pasang surut peranannya juga sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pada zaman pra sejarah mung kin peranannya lain dengan peranannya pada zaman Romawi Yunani, berbeda pula pada era kejayaan Islam, dan juga dengan era dominasi Barat Kapitalis saat ini.

Di era Islam profesi akuntan ini disebut “muhasabah” atau kelembagaannya disebut “muhtasib”. Pada periode ini akuntan memiliki fungsi jamak bukan hanya bertanggung jawab menilik, mengawasi aspek keuangan individu dan lembaga masyarakat tetapi juga aspek-aspek lain seperti: mengawasi kelayakan bangunan, menjaga kesehatan makanan (baik yang haram. yang membahayakan, yang tidak jujur), kualitas yang berbeda dari yang disampaikan, iklan yang tidak jujur, pelaksanaan kontrak, pelaksanaan ibadah seperti mereka yang tidak shalat, tidak puasa, dan tidak bayar zakat, serta berbagai kecurangan seperti korupsi, ketidakefisienan, dan praktik-praktik pemborosan lainnya. Cakupan fungsi muhtasib era itu sangat luas dan tidak membedakan antar aspek keuangan dan non-keuangan, aspek ibadah dan muamalat (non-ibadah), aspek dunia dan akhirat.

Di era saat ini Profesi akuntan difokuskan pada fungsi pemberian informasi, dan penyajian informasi yang reliable sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan proses pengambilan keputusan. Dalam sivilisasi Barat Kapitalis saat ini akuntan adalah merupakan kepercayaan publik sebagai informan atau penyaksi informasi sehingga informasi yang disajikan penyaji laporan dianggap memenuhi kualitas reliable dan relevan.

Namun kenyataannya banyak ditemukan laporan-laporan yang tidak sesuai dengan harapan itu. Laporan keuangan dianggap hanya sebagai laporan yang ditukangi, laporan yang memakai kosmetik, laporan yang dimasak, income smoothing, dan creative accounting. Para akuntan yang melakukan perbuatan tercela ini telah mencoreng nama akuntan baik di level internasional maupun nasional. Kasus Arthur Anderson yang hancur karena kasus Enron, dan praktik skandal korporasi lainnya yang mengemuka belakangan ini memukul telak profesi akuntan. Profesi akuntan ini hanya hidup di atas kepercayaan publik. Jika kepercayaan publik ini hilang maka secara otomatis sebenarnya eksistensinya secara substantive hilang. walaupun masih dipakai itu hanya sekedar memenuhi  persyaratan yang diwajibkan lembaga tertentu, misalnya bank atau atas faktor paksaan lainnya.

Menurunnya kepercayaan publik ini sudah mulai terasa, walaupun Amerika misalnya telah melakukan beberapa perbaikan untuk mengembalikan kepercayaan itu seperti keluarnya Sarbanes Oxley Act (SOA), aturan lain dalam peningkatan good corporate governance dan proses pengadilan dari mereka pelaku kejahatan korporasi tersebut. Walaupun demikian ternyata penurunan kepercayaan ini terjadi juga dalam penurunan di sektor pendidikan dan akademik bidang Akuntansi.

Demikian uraian yang saya cuplik dari Harahap (2007: 27-30) yang intinya adalah

bahwa akuntansi kapitalis sebagai suatu profesi sedang mengalami berbagai krisis

yang sifatnya “profesional multidimensional”.

Akuntansi Dalam Islam

Mengenai latar belakang, pengertian dan apa itu akuntansi dalam Islam saya juga mengutip dari buku Harahap (2007:350-376) yang berjudul Teori Akuntansi Edisi Revisi, sbb.:

Menurut Harahap (2007) salah seorang penulis Barat mengungkapkan bahwa dengan runtuhnya Uni Soviet bersama ideologi Leninisme Komunisme, ideologi yang tinggai hanya kapitalisme dan Islam. Kemudian, penulis ini melanjutkan bahwa ternyata Islam memiliki tingkat compatibility yang sangat dekat dengan Islam. Di dalam buku Akuntansi Pengawasan dan Manajemen· Dalam Perspektif Islam (Harahap, 1992), disimpulkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan di Barat, ternyata konsepsi Islam yang diturunkan kepada manusia oleh Allah Swt. meialui Rasulullah Saw. ternyata merupakan suatu sistem way of life yang utuh, sesuai dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan serta fenomena alam yang ada. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai sudut dan disiplin ilmu seperti ilmu alam, astrologi, sosiologi, medical, psikologi, ekonomi, dan juga akuntansi. Dalam bab ini kita mencoba bagaimana konsep Islam pada akuntansi.

Penelitian dan penulisan yang mengkaji akuntansi dalam Islam sudah mulai merebak, baik di Baratmaupun di tanah air sendiri. Literatur yang membahas topik ini di tanah air dapat dilihat dalam buku Akuntansi Pengaawasan dan Manajemen dalam Perspektif Islam (Harahap, 1992), Akuntansi Islam (Harahap, 1999), Organisasi dan Akuntansi Syariah (Triwiyono,2000) dan sebagainya. Pembahasan akuntansi dalam Islam ini tidak mengada-ada dan tidak bersifat apologia, tetapi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan sumber referensinya yang sah. Akuntansi dalam Islam dapat kita lihat melalui pedoman suci umat Islam, AlQuran sebagai berikut. Dalam AlQuran Surat Al-Baqarah ayat 282 merupakan ayat terpanjang dalam Alquran adalah sebagai berikut.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarrkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. jika yang berutang itu orang yang lemah akal atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah wakilnya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki laki di antara kamu. jika tidak ada dua orang laki-laki maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa seorang lagi mengingatkannya. janganlah saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menuliskan utang itu, baik kecil maupun besar sampai waktu membayarnya. :Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan. (Tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalahmu itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara leamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan yang demikian itu maka sesungguhnya hal itu adalah kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. (Lihat AlQuran dan Terjemahannya, YPPA, PT Bumi Restu Kemudian), dalam catatan kakinya, “muamalah” diartikan seperti kegiatan berjual-beli, berutang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya. Berutang-piutang tentu mempunyai pengertian yang luas dalam bisnis. Pendirian perusahaan oleh pemilik modal menyangkut utang-piutang antara dia dengan manajemennya. Pengelolaan harta pemilik modal oleh manajemen merupakan hubungan kerja sarna, utang-piutang (atau agency relationship). Hubungan transaksi dagang maupun bentuk bisnis lainnya se1alu mempunyai konteks utang-piutang, pinjaman kepada lembaga keuangan mempunyai hubungan utang-piutang. Oleh karena itu, setiap iembaga perusahaan sarat dengan kegiatan muamalah sebagaimana diimaksudkan ayat 282 tadi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pemeliharaan akuntansi wajib hukumnya dalam suatu perusahaan bahkan juga pribadi.

Dalam Islam selalu ditekankan jangan melakukan kecurangan dan menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Ketentuan ini harus ditegakkan dengan cara apa pun. Harus ada sistem yang dapat menjaga agar semua hak-hak stakeholders termasuk sosial dan pemerintah dijaga dan jangan sampai ada yang dirugikan dalam kontrak kerja sarna apakah dalam bidang jua! beli, mudharabah, atau musyarakah.

Prof. Dr. Hamka dalam tafsir AI-Azhar juz 3 tentang surat AI-Baqarah ayat 282 ini mengemukakan beberapa hal yang relevan dengan akuntansi sebagai berikut.

Perhatikanlah tujuan ayat! Yaitu kepada sekalian orang yang

beriman kepada Allah supaya utang piutang itu ditulis, itulah dia yang berbuat sesuatu pekerjaan karena Allah, karena perintah Allah dilaksanakan. Sebab itu, tidaklah layak berbaik hati kepada kedua belah pihak lalu berkata tidak perlu dituliskan karena kita sudah percaya mempercayai. Padahal umur kedua belah pihak sama-sama ditangan Allah. Si Anu mati dalam berutang, tempat berutang menagih pada warisnya yang tinggal. Si waris bisa mengingkari utang itu karena tidak ada surat perjanjian.

Beliau mengungkapkan secara jelas betapa wajibnya memelihara tulisan.

Dan perintah inilah yang selalu diabaikan umat Islam sekarang ini. Bahkan yang lebih parah sudah sampai pada suatu situasi seolah-olah menuliskan transaksi seperti ini menunjukkan kekurangpercayaan satu sarna lain, padahal ini merupakan perintah Allah Swt. kepada umatnya yang tentunya harus dipatuhi.

Buya Hamka melanjutkan lagi:

… dan apabila dibelakang hari perlu dipersaksikan lagi sudah ada hitam diatas putih tempat berpegang dan keragu-raguan hilang, sebab sampai sekecil-kecilnyapun dituliskan. Mengomentari tentang transaksi kontan Buya Hamka menulis sebagai

berikut:

… di zaman kemajuan sebagai sekarang, orang berniaga sudah lebih teratur sehingga membeli kontan pun dituliskan orang juga, sehingga si pembeli dapat mencatat berapa uangnya keluar pada hari itu dan si penjual pada menghitung penjualan berapa barang yang laku dapat pula menjumlahkan dengan sempurna. Tetapi yang semacam ini terpuji pada syara.’ Kalau dikatakan tidak mengapa (dalam Alquran. pen) tandanya ditulis lebih baik.

Pendapat Buya Hamka ini menunjukkan bahwa sebenarnya syara’ pun menganjurkan pencatatan baik yang tunai maupun yang masih accrual sebagaimana yang sekarang diterapkan dalam akuntansi.

Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam Islam, sejak munculnya peradaban Islam sejak Nabi Muhammad Saw. telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanannya adalah untuk tujuan kebeenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan antara dua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi. (Lihat sejarah akuntansi Bab 2). Dengan perkaataan lain, clapat kita sebutkan bahwa Islam mengharuskan pencatat:ln untuk tujuan keadilan dan kebenaran. Sementara itu, pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diharuskan. Akan tetapi, menurut Buya Hamka justru karena sesuai syara’, mungkin ketidakwajiban ini disebabkan hal ini sudah merupakan urusan yang sifatnya tidak perlu diatur oleh Suatu kitab suci. Dan mengenai hal ini Rasulullah mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu.” Urusan dunia (dalam tanda kutip) yang diserahkan bulat-bulat kepada manusia meruupakan bukti kebebasan berpikir sekaligus membuktikan “kedinamisan” Islam, dan menjaga agar AlQuran tetap up to date dan tidak pernah ketingggalan karena perubahan dan kemajuan cara berpikir man usia. Tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pencatatan sebagai berikut.

Menjadi bukti dilakukannya transaksi (muamalah) yang menjadi dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya.

Menjaga agar tidak terjadi manipulasi atau penipuan, baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu (laba). Bagaimana menurut akuntansi? Dalam akuntansi tujuan pencatatan adalah: pertanggungjawaban (accountability) atau sebagai bukti transaksi; penentuan pendapatan (income determination); informasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan, dan lain-lain. Akuntansi juga merupakan upaya untuk menjaga terciptanya keadilan dalam masyarakat karena akuntansi memelihara catatan sebagai accountaability dan menjamin akurasinya. Pentingnya keadilan ini dapat dilihat dari AlQuran surat AI-Hadid ayat 24 sebagai berikut.

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.

Dalam Alquran surat AI-Syuraa’ ayat 182-183 berbunyi sebagai berikut. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.

Penggunaan sistem akuntansi jelas merupakan manifestasi dari pelaksaanaan perintah itu karena sistem akuntansi dapat menjaga agar aset yang dikelola terjaga accountability-nya sehingga tidak ada yang dirugikan, jujur, adil, dan kepada yang berhak akan diberikan sesuai haknya. Upaya untuk mencapai keadilan, baik dalam pelaksanaan utang-piutang maupun dalam hubungan kerja sarna berbagai pihak seperti dalam persekutuan, musyarakah, mudharabah memerlukan sarana pencatatan yang menjaga agar satu sarna lain tidak dirugikan sebagaimana spirit ayat di atas. Dari usul fiqih disebutkan untuk mencapai sesuatu yang diwajibkan, sarana untuk menncapainya pun menjadi wajib. “Mala yummitul wajibu ila bihi fahuwa wajibun.” jika untuk melaksanakan sesuatu yang hukumnya wajib harus dengan dia, dia itu pun menjadi wajib. Oleh karena itu, dapat disebutkan memelihara pencatatan baik sebagai informasi, untuk penyaksian, untuk pertanggungjawaban, untuk pemeliharaan hak, atau untuk keadilan, hukumnya termasuk menjadi wajib.

Benar dan Wajar

Di atas sering penulis menggunakan perkataan wajar dan juga perkataan benar, dalam tulisan ini penulis ingin mengingatkan kita tentang pemakaian kata ini. Dalam permulaan sejarahnya sampai sekitar abad XX, laporan keuangan masih dikatakan benar atau true. Namun, akhirnya, laporan keuangan tidak dikatakan benar lagi, tetapi dipakai istilah wajar, layak atau fairly stated. Keadaan ini menunjukkan bahwa akuntansi konvensional dengan berbagai instrumen dan sifat-sifatnya merasa tidak bisa menjamin “kebenaran” output akuntansi itu. Akuntansi Islam harus bisa menjamin bahwa informasi yang disusun dan disajikan harus benar dan bebas dari unsur penipuan dan ketidakadilan, bebas dari pemihakan kepada kepenntingan tertentu. Informasi yang diberikan harus transparan, teruji, dan dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Setelah skandal Enron ada kecenderungan akan kembali ke konsep benar. Hal ini clapat dilihat bunyi pernyataan akuntan sebagai berikut.

Akuntansi Islam: State of the Art

Dari sisi lain, Islam disifati juga sebagai Rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk sekalian alam. Kalau sebelumnya agama, kitab atau kepercayaan yang dibawa para nabi dan tokoh agama lainnya bersifat lokal, bangsa atau primordial. Misalnya Nabi Daud as., Luth as., Ibrahim as., Musa as., Isa (Yesus) as. Semuanya hanya untuk kaumnya. Islam mengayomi semua makhluk itu. Kalau kapitalisme memiliki kaum pemilik modal dan komunis memayungi kaum buruh, Islam memayungi keduanya bahkan semuanya termasuk segala makhluk yang ada di bumi ini.

Persepsi masyarakat terhadap agama seperti itulah yang terbawa dalam pemikiran intelektual Barat terhadap agama Islam sampai sekarang. Islam dianggap memiliki wilayah sendiri yang sangat kecil seperti peran agama waktu dulu. Sehingga bagaimana mereka memperlakukan dan memahami fungsi agama waktu itu begitulah mereka menganggap fungsi dan peran agama Islam ini. Bahkan dalam hal-hal tertentu mereka menganggap lebih jelek lagi karena mengapa membikin agama yang bam lagi? Mengapa kita menerima agama mereka yang terjajah atau dari negara miskin? Dan hal ini ditambah lagi oleh perlawanan yang dilakukan oleh sebagian oknum Muslim yang juga ada yang bersifat destruktif, teror, kekerasan, pembunuhan, dan sikap lainnya yang mengurangi ketenangan hidup bangsa Eropa yang sudah mapan. Islam dianggap mengganggu sifat konsumerisme, hedonisme, demokrasi, liberalisme, dan sifat bebas lainnya termasuk free sex, hippies, dan lain sebagainya. (Montgomary Watt, 1985)

Akuntansi Islam dalam Sejarah

Dalam buku-buku teori akuntansi masalah sejarah ini telah banyak dibahas. Vernon Kam (1990) dalam buku Accounting Theory-nya menyatakan sebagai berikut.

Menurut sejarahnya, kita mengetahui bahwa sistempembukuan double entry muncul di Italia pada abad ke-13. Itulah catatan yang paling tua yang kita miliki mengenai sistem akuntansi double entry sejak akhir abad ke-13 itu, namun adalah mungkin sistem double entry sudah ada sebelumnya.

Kita menggaris bawahi kalimat terakhir ini. Artinya, ada kemungkinan akuntansi khususnya akuntansi Islam sudah ada sebelum Pacioli. Pendapat ini banyak didukung oleh berbagai penemuan sebagai berikut.

Muhammad Khir (Harahap, 1991)

Dalam menanggapi pendapat di atas menyatakan sepenuhnya setuju sikap itu.

Namun, ia menyatakan sebagai berikut.

Saya ingin membahas lebih lanjut pemahaman terhadap pertummbuhan double entry ini dari zaman dulu sampai zaman sekarang ini. Sebagian besar para akuntan dan para ekonom setuju bahwa faktor utama sebagai penyebab perkembangan teknologi akuntansi adalah akibat pembentukan pertumbuhan perusahaan dalam lingkungan pasar yang demikian kompleks.

Pertanyaan lainnya adalah apa kekuatan yang menimbulkan dan menndorong pembentukan dan pertumbuhan perusahaan, jawabnya adalah:

Jiwa kapitalis

Aspek sosial

Tujuan akhir bukan laba, tetapi kepuasan masyarakat.

Pendapat ini juga dapat menjadi dasar untuk menyatakan bahwa akuntansi sudah ada sebelum Pacioli.

DR. Ali Shawki Ismail Shehata

Menanggapi soal ini, Shehata (Khir dalam Harahap, 1991) menyatakan:

“Suatu pengkajian selintas terhadap sejarah Islam menyatakan bahwa akuntansi dalam Islam bukanlah merupakan seni dan i!mu yang baru,” sebenarnya bisa dilihat dari peradaban Islam yang pertama yang sudah memiliki Baitul Maal yang merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai “Bendahara Negara” serta menjamin kesejahteraan sosial. Muslim sejak itu telah memiliki jenis akuntansi yang disebutkan dalam beberapa karya tulis umat Islam. Tulisan ini muncul lama sebelum double entry ditemukan oleh Lucas Pacioli di Italia tahun 1494.”

Hendriksen

Seorang guru besar akuntansi berkebangsaan Amerika menulis sebagai berikut: ” …. the introduction of Arabic numerical greatly facilitated the growth of accounting” (Harahap, 1995 dan lihat Hendriksen dalam bukunya Accounting Theory terbitan RD Irwin Inc. Illinois). (Penemuuan angka Arab sangat membantu perkembangan akuntansi) kutipan ini menandai bahwa anggapan tadi dapat kita catat bahwa penggunaaan angka Arab (1,2,3, dan seterusnya) mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu akuntansi. Artinya besar kemungkinan bahwa dalam peradaban Arab sudah ada metode pencatatan akuntansi.

Kitab Suci AlQuran

Pendapat di atas ternyata didukung oleh kitab suci umat Islam. Dalam AlQuran surat Al-Baqarah ayat 282 dapat kita baca sebagai berikut.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi ….. (lihat AlQuran dan terjemahannya, YPPA, PT Bumi Restu).

Kemudian, dalam catatan kakinya muamalah diartikan seperti kegiatan jual-beIi, berutang piutang, sewa menyewa dan sebagainya.

Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam Islam sejak munculnya peradaban Islam sejak Nabi Muhammad SAW. Telah ada perintah untuk kebenaran, keadilan antara dua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi (tren sekarang disebut accountability). Sementara itu, pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diharuskan karena ini sudah dianggap merupakan urusan yang sifatnya tidak periu diatur oleh suatu kitab suci. Dan mengenai hal ini Rasulullah mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu”. Kesimpulan lain akuntansi bagi Islam adalah kewajiban dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof Islam terkenal 700 tahun kemudian tidak me”ngenal akuntansi.

Robert Arnold Russel

Russel (Harahap: 1995a) sewaktu menjelaskan perkembangan seorang pengusaha sukses di Italia yang bernama Alberto pada zaman medival (pertengahan) pada saat Pacioli menerbitkan bukunya mengatakan bahwa kemajuan ekonomi pada masa itu terletak pada penerapan sistem akuntansi double entry Arab yang lebih canggih. Ia menyatakan (Harahap, 1993), sebagai berikut.

“Success of the new multiagent, long distance trading and banking business depended on the adoption of the new accounting system. By changing over from the old paragraph style of entry of the small business age to the Arab’s more sophisticated double entry system, merchant were able to keep an accurate picture sophissticated double entry system, of the various dealings, keep track of a score of agents, and use their capital to the best advantage. It took the Albert nearly a generation to get on top off the new system, but once it was mastered, it made sure every florish was working for the firm.”

(Keberhasilan bisnis rnultiagen, perdagangan dan perbankan jarak jauh tergantung pada penerapan sistem akuntansi yang bam. Dengan mengubah dari metode lama yang diterapkan pada era bisnis skala kecil ke metode (sistem) akuntansi double entry Arab yang lebih canggih, pedagang telah mampu menyusun gambaran yang tepat ten tang berbagai transaksi dagang, mampu mericatat posisi masing-masing agen, dan mampu menggunakan modalnya untuk investasi (kegiatan) yang lebih menguntungkan. Hampir satu generasi keluarga Albert baru dapat menguasai sistem baru ini, tetapi sekali sistem itu telah dikuasai maka dapat menjamin semua sistem yang ada akan bekerja untuk kepentingan perusahaan).

W. Montgemory Watt

Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1972, 1995) tampaknya sependapat dengan Russel. Pengakuannya adalah sebagai berikut.

Ketika kita menyadari segala keluasan eksperimen, pikiran dan tulisan orang Arab

kita akan berpendapat bahwa tanpa orang Arab, ilmu pengetahuan dan filsafat orang Eropa tidak akan bisa berkemmbang seperti ketika dulu mereka pertama kali mengembangkannnya. Orang-orang Arab bukanlah sebagai penyalur pikiran-pikiran Yunani, tetapi pencipta-pencipta sejati yang mempertahankan disiplin-disiplin yang telah mereka ajarkan dan meluaskannya.

Penemuan yang di Barat termasuk akuntansi tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Arab.

Zakat dan Baitul Maal

Kewajiban zakat bagi Muslim merupakan bukti nyata betapa pentingnya peranan akuntansi bagi masyarakat, perusahaan lembaga atau perseeorangan. Dalam konteks ini akuntansi akan dapat memberikan sumbangan dalam proses perhitungan zakat yang tepat baik zakat maal, penghasilan, profesi, perdagangan, laba, dan lain sebagainya. Nilai aset yang mana yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan zakat. Bagaimana mungkin kita mengetahui beban zakat tanpa bantuan dari akuntansi? Justru dalam Islam dituntut lagi bidang-bidang khusus akuntansi seperti Akuntansi Pertanian, Akuntansi Peternakan, Akuntansi Sosial, Akuntansi Jaminan Sosial, Akuntansi Sumber Daya Manusia, dan lain-lain untuk dapat menyelesaikan kewajiban kita sebagai Muslim. Demikian juga masalah pengukuran efisiensi dan pemborosan (yang dilarang keras dalam Islam) tidak akan dapat diketahui tanpa pencatatan atau peran akuntansi.

Pengelola kekayaan negara melalui lembaga terkenal seperti Baitul Maal juga memerlukan akuntansi yang lebih teliti karena menyangkut harta masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan. Pembagian hak seperti dalam pembagian dividen, hasil likuidasi memerlukan catatan yang adil yang dapat membagi hak-hak mereka yang berkongsi atau berserikat secara adil. Semua ini mendukung hipotesis yang menyatakan akuntansi sangat mudah dalam Islam. Mustahil Islam tidak memilikinya.

Allah sendiri menjelaskan bagaimana Dia memelihara catatan tentang manusia dengan dua orang “akuntan” Malaikat Raqib dan Atid yang selalu bertugas mencatat setiap kegiatan manusia baik yang baik maupun yang jahat, sampai pada yang sekecil kecilnya, bahkan sebesar zarrah pun tidak luput dari pencatatannya. Dan di akhirat catatan ini akan menjadi bahan laporan serta pertanggungjawaban manusia dihadapan Allah dan akan menentukan apakah ia akan merasakan kebahagiaan (sorga) atau pendeeritaan (neraka).

Dari bukti-bukti ini jelaslah bahwa akuntansi sebenarnya wajib diterapkan oleh Islam baik di lembaganya, di keluarga, di perusahaan, di negaranya bahkan dalam perseorangan pun. Semua ini mendukung hipotesis yang menyatakan akuntansi sangat rnudah dalam Islam.

Kesimpulan berbagai fakta sejarah ini sudah cukup kuat untuk rnenyatakan bahwa akuntansi sudah dikenal pada masa kejayaan Islam artinya peradaban Islam tidak mungkin tidak memiliki akuntansi. Permasaalahannya adalah pemalsuan sejarah yang dilakukan beberapa oknum di Barat dan ketidakmampuan umat Muslim untuk menggali khazanah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri.

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan dua hal:

akuntansi sudah ada sebelum Pacioli, bahkan mungkin sebelum peradaban Islam;

mustahil sistem akuntansi Islam tidak ada semasa kejayaannya dari 610 -1250 M.

Konsep Akuntansi Islam

Dalam menganalisis ini kita kesulitan dalam mendapatkan bahan literatur yang tersedia dalam materi pustaka. Kemungkinan besar telah termasuk dalam literatur yang dibakar oleh tentara Gengis Khan. Saat ini hanya diperoleh dari hasil penelitian arkeologi dan untuk ini juga kita belum ban yak menghasilkan hasil konkret. Pendekatan yang akan kita pakai adalah rationing atau pendekatan logika.

Akuntansi sebenarnya merupakan domain muamalah dalam kajian Islam. Artinya diserahkan pada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun, karena pentingnya permasalahan ini maka Allah Swt. bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Alquran surat AI-Baqarah ayat 282. Penempatan ayat ini juga unik dan relevan dengan sifat akuntansi itu. Ia ditempatkan dalam surat Sapi Betina sebagai lambang komoditi ekonomi. Ia ditempatkan dalam surat ke-2 yang dapat dianalogikan dengan double entry, ditempatkan di ayat 282 yang menggambarkan angka keseimbangan atau Neraca. Bahkan juga bisa dikaji relevansi ayat berikut dalam konteks double entry atau sifat berpasangannya:

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (Al-Dzariyat: 49) .

dan juga surat Yasin ayat 36:

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

Inilah beberapa kemungkinan yang kebenarannya hanya Allah yang Maha mengetahui,Wallahu ‘alam bishawab.

Bahkan jika dikaji sistem jagad dan manajemen alam ini ternyata peran atau fungsi akumansi sangat besar. Allah memiliki akuntan malaikat yang sangat canggih, yaitu Rakib dan Atid, malaikat yang menuliskan / menjurnal transaksi yang dilakukan manusia, yang menghasilkan buku / neraca yang nanti akan dilaporkan kepada kita (owner) di akhirat. Coba kita baca surat AI-Infithar (82) ayat 10-12 sebagai berikut.

“Padahal sesungguhnya pada kamu ada malaikat yang memonitor pekerjaanmu (10). :Yang mulia di sisi Allah dan yang mencatat pekerjaanmu itu (11). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan “(12).

Laporan ini didukung bukti(evidence) di mana satu pun tidak akan ada transaksi yang dilupakan kendatipun sebesar zarrah seperti dilihat dari surat AI-Zalzalah ayat 7-8:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun niscaya dia akan melihatnya (7). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun dia akan melihatnya” (8).

Karena akuntansi ini sifatnya urusan muamalah maka pengembangannnya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Alquran dan Sunnah hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, keadilan, kejujuran, terpercaya, bertanggung jawab, dan sebagainya.

Dalam Al Quran surat AI-Baqarah kita melihat bahwa tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pencatatan adalah:

menjadi bukti dilakukannya transaksi (muamalah yang menjadi dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya).

menjaga agar tidak terjadi manipulasi, atau penipuan baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu (laba).

Penekanan ini didukung lagi oleh ratusan ayat yang dapat dijadikan sumber moral akuntansi seperti kewajiban bertakwa, berlaku adil, jujur, menyatakan yang benar, memilih yang terbaik, berguna, menghindari yang haram, jangan boros, jangan merusak, dan jangan menipu. Instrumen kualitas ini sebenarnya sudah cukup sebaga: landasan teoretis dari akunntansi Islam. Sementara itu, yang sifatnya teknis diserahkan sepenuhnya kepada umatnya untuk merumuskannya sesuai kebutuhannya.

Pengakuan Barat terhadap Peran Akuntansi Islam

Seorang guru besar Akuntansi berkebangsaan Amerika menulis sebagai berikut: ” … the introduction of Arabic numerical greatly facilitated the growth of accounting” (lihat Hendrickson, 1992) dalam bukunya Accountting Theory. Penulis sengaja mengutip ucapan seorang penulis Barat dalam membahas topik bab ini. Hal ini dilakukan karena mengingat suatu anggapan bahwa penulis Timur khususnya yang beragama Islam hanya mencocok-cocokkan kemajuan teknologi yang dicapai sekarang dengan konsep Islam itu sendiri. Kutipan ini menandai bahwa anggapan tadi dapat kita catat bahwa penggunaan angka Arab (1,2,3, dan seterusnya) mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu akuntansi.

Dalam bab ini terdapat dua kata “akuntansi” dan “Islam.” Yang kita maksudkan dengan akuntansi dalam tulisan ini adalah comprehensive accounting yang hakibtnya adalah sistem informasi, penentuan laba, pencatatan transaksi yang sekaligus pertanggungjawaban (accountability). Sementara itu, Islam dalam konteks ini dihubungkan dengan sifat-sifat keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan yang dibawanya yang sesuai dengan ketentuan Ilahi. Antara akuntansi dan nilai Islam terdapat hubungan dan kaitan yang erat dan mempunyai tujuan dan arah yang saling mendukung atau komplementer.

Akuntansi kapitalis adalah alat ideologi kapitalis untuk mencapai tujuannya khususnya mencapai kesejahteraan material yang diinginkannya. Akuntansi kapitaiis lahir dari masyarakat kapitalis dengan sistem ekonomi kapitalis dan ideologi sekuler rasional yang dianutnya. Jika awalnya sistem ekonomi kapitalisme merupakan sistem ekonomi saja, namun pada saat ini sistem ini sudah merambah ruang politik, kenegaraan dan bahkan ideologi atau tata cara kehidupan. Akuntansi kapitalis sejalan dengan ide kapitalisme untuk mengakumulasi kekayaan dan memaksima!kan kekayaan untuk kepentingan pemodal. Dengan pandangan hidup ini, kapitalis pasti memiliki perbedaan yang mencolok dengan sistem ideologi lainnya misalnya yang berbasis agama sehingga dapat dipastikan bahwa kapitalisme tidak sesuai dengan sistem ekonomi agama mana pun.

Spirit Islam dalam Akuntansi

Kalau kita katakan Islam dalam Akuntansi maksudnya adalah apakah comprehensive accounting itu kelengkapan yang sama sesuai dengan tujuan dan hakikat Islam.Di muka telah dibatasi bahwa Islam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai yang mendorong menciptakan keadilan dan kebenaran dalam pencatatan dan menjaga keadilan dalam berbisnis dan bekerja sarna atau berutang piutang. Jadi pertanyaan kita adalah apakah dalam akuntansi itu kita temukan keadilan dan kebenaran? Untuk mennjawab pertanyaan ini tentu kita perlu membahas lebih dalam sifat dan ciri Akuntansi. Namun, dalam bab ini penulis hanya memberikan poin-poinnya saja yang merupakan dasar bagi kita untuk menjawab pertanyaan tadi.

Transaksi yang dicatat oleh akuntansi adalah transaksi (muamalah).

Transaksi adalah the occurrence of an event or of a condition that must be recorded

atau segala sesuatu yang mengakibatkan perubahan dalam aktiva dan passiva perorangan atau perusahaan.

Dasar pencatatan transaksi adalah bukti (evidence) atau disebut juga business paper seperti faktur, surat utang, cheque, dan kuitansi. Yang dianggap sebagai bukti adalah bukti yang didukung oleh sifat-sifat kebenaran tanpa ada penipuan. Ini menu rut Islam. Dalam akumansi ada jenis dan tingkatan bukti yang menandakan kuat-tidaknya suatu bukti, yaitu sebagai berikut.

Real evidence, yaitu bukti fisik;

Testimonial evidence, yaitu bukti yang berasal dari kesaksian pihak luar.

Indirect evidence, yaitu bukti yang diperoleh secara tidak langsung.

Bukti yang diperoleh dari luar perusahaan lebih kuat dibandingkan bukti yang diperoleh dari dalam sendiri. Bukti yang diperoleh dari sistem internal control perusahaan yang baik lebih kuat dari yang diperoleh dengan internal control yang lemah dan bukti yang diperroleh secara langsung oleh akuntan lebih kuat dari bukti yang diperoleh secara tidak langsung. Islam menginginkan bukti yang benar sejajar dengan keinginan akuntansi yang hanya mencatat bukti yang sah (valid).

Bukti yang menjadi dasar pencatatan akan diklasifikasikan secara teratur melalui “Aturan Umum” atau General Accepted Accounting Principle (GAAP), yang di Indonesia disebut Stanciar Akuntansi Keuangan Indonesia. Standar akuntansi dilahirkan melalui suatu panitia ahli melalui berbagai tahap pengujian sampai menjadi prinsip yang diterima umum. Proses kelahiran prinsip ini teruji dan tetap didasari oleh keadilan dan objektivitas. Proses pencatatan, sampai kepada klasifikasi akan menghasilkan Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi) yang merupakan output dari manajemen. Hanya masalahnya, dalam akuntansi kadang ada tuduhan bahwa standar akuntansi selalu memerhatikan kelompok perusahaan besar.

Akuntansi berprinsip pada substance over form. Artinya akuntansi lebih menekankan pada kenyataan atau subsistensinya bukan formulimya. Artinya kendatiipun bukti menurut form misalkan Rp1.000,00 namun nilai yang sebenarnya form Rp800,00 maka yang harus dicatat adalah Rp800,00 bukan Rp 1.000,00 berdasarkan form.

Tahap kelahiran laporan keuangan di atas masih belum sampai pada titik “dipercaya”. Untuk sampai kepada titik dipercayai, laporan itu masih perlu diuji at au disaksikan lagi oleh pihak tertentu yang dianggap independent (tidak memihak) melalui pemeriksaan Laporan Keuangan yang disebut audit atau general audit. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Akuntan Publik Terdaftar. Akuntan pemeriksa akan memberikan laporan mengenai pemeriksaannya apakah laporan yang disajikan manajemen tadi wajar atau tidak, atau ada sesuatu pos yang tidak wajar atau sama sekali tidak wajar. Opininya ini ada empat, yaitu:

Opini wajar (unqualified);

Opini wajar dengan syarat (qualified);

Opini tidak wajar (adversed opinion);

Tidak ada opini (disclaimer of opinion).

Dasar pemberian opini ini adalah sampai di mana laporan keuangan menaati standar akuntansi, pengungkapan, konsistensi, dan syarat-syarat lainnya.

Demikianlah proses yang kita temukan dalam comprehensive accounting dalam melakukan pencatatan sampai kepada laporannya dan laporan pihak lainnya sehingga menjadi konsumsi umum. Dan jelas kita lihat bahwa “secara ideal formal” betapa ketatnya sistem itu menjaga agar output akuntansi tetap dalam sifat kebenaran, keadilan, dan kejujuran (objektivitas), sebagaimana halnya keinginan Islam. Kalau semua berjalan secara benar maka sistem akuntansi juga menciptakan kebenaran dan keadilan.

Islam adalah ideologi, pedoman dan pandangan hidup yang mengatur tata cara hidup dan merumuskan tujuan hidup pula yang berbeda dengan ideologi kapitalisme. Islam adalah satu sistem hidup yang ditentukan Tuhan untuk menghadapi semua permasalahan hidup di dunia dan juga setelahnya yaitu di akhirat. Islam memiliki aturan tentang sistem ekonomi dantentunya juga sistem bisnis, manajemen, dan akuntansiharus juga mengacu pada sistem ideologi Islam itu. Akuntansi juga harus bisa menopang dan sejalan dengan ideologi itu. Karena Islam berbeda dengan ideologi kapitalisme, sudah dapat dipastikan bahwa sistem akuntansinya juga akan berbeda dengan sistem akuntansi kapitalis kendatipun perbedaannya tentu tidak pada semua level. Barangkali dari aspek teknik tidak banyak perbedaan modalnya dalam hal melakukan pencatatan. Namun, dalam tataran filosofi dan prinsip tentu akan memiliki perbedaan mendasar.

Namun, di sinilah permasalahannya apakah internal sistem akuntansi sendiri sampai sekecil-kecilnya mampu melahirkan keadilan dan kebenaran pada kondisi di mana filsafat ilmu atau epistemologi akuntansi konvensional itu adalah value free (bebas nilai) tidak ada yang mengontrol di luar sistem itu. Jawabannya relatif. Namun, kenyataan yang kita lihat berbagai permaasalahan profesi akuntan masih selalu muncul, baik kasus pemalsuan, peniipuan, kesalahan, bahkan kerja sarna antara akuntan publik dengan kliennya yang merugikan masyarakat. Salah satu alasan kemunculan Akuntansi Islam sebagaimana yang dijelaskan Triyuwono (2000) adalah mendobrak hipotesis yang menyatakan bahwa akuntansi itu adalah bebas nilai. Menurut Triyuwono, akuntansi itu bukan bebas nilai, ia dipengaruhi oleh oknum-oknum yang ada dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan dan kebenaran hakiki seyogianya akuntansi itu harus diwarnai oleh etika, ukuran moral sehingga tercipta akuntansi dan informasi yang benar dan adil.

Beberapa Pemikiran Teori dan Konsep Akuntansi Islam

Gambling dan Karim (Harahap, 1992) menarik hipotetis karena Islam memiliki syariah yang dipatuhi semua umatnya, wajarlah bahwa masyarakatnya memiliki lembaga keuangan dan akuntansinya yang diserahkan melalui pembuktian sendiri sesuai landasan agama. Mereka merumuskan tiga model antara lain Colonial Model yang menyebutkan jika masyarakatnya Islam, mestinya pemerintahnya akan menerapkan syariat Islam dan mestinya teori akuntansinya pun akan bersifat teori akuntan Islami. Mereka juga menekankan bahwa sesuai sifatnya, mestinya Islam harus memiliki akuntansi karena pentingnya penekanan pada aspek sosial dan perlunya penerapan sistem zakat dan baitul maal.

Akuntansi Islam merupakan konsep, sistem, dan teknik akuntansi yang membantu suatu lembaga atau organisasi untuk menjaga agar tujuan, fungsi dan operasionalnya berjalan sesuai dengan ketentuan syariah, clapat menjaga hak hal stakeholders yang ada di dalamnya, dan mendorong menjadi lembaga yang dapat mencapai kesejahteraan hakiki dunia dan akhirat.

Scott (Harahap, 1993, 1995) adalah seorang penulis yang banyak memerhatikan masalah etika dan moral dalam melahirkan teori akuntansi. Ia seialu menggunakan kriteria keadilan dan kebenaran dalam merumuskan setiap teori akuntansi, model ini disebut Ethical Theory of Accounting. Menurut beliau dalam penyajian laporan keuangan, akuntan harus memerrhatikan semua pihak (user) dalam memperiakukannya secara adil dan benar. Dan memberikan data yang akurat jangan menimbulkan salah tafsir dan jangan pula bias.

Dalam buku yang sama Harahap (1991) mengemukakan bahwa akunntansi Islam itu pasti ada. Ia menggunakan metode perbandingan antara konsep syariat Islam yang relevan dengan akuntansi dengan konsep dan ciri akuntansi kontemporer (dalam nuansa komprehensif) itu sendiri, sehingga ia menimbulkan bahwa niIai-niIai Islam ada dalam akuntansi dan akuntansi ada dalam struktur hukum dan muamalat Islam. Menurutnya keduanya mengacu pada kebenaran kendatipun kadar kualitas dan dimensi clan bobot pertanggungjawabannya bisa berbeda. Dan juga penekanan pada aspek tanggung jawab dan aspek pengambilan keputusan berbeda.

Shaari Hamid, Russel Craig, dan Frank Clarke (1993) dalam artikel mereka yang berjudul Religion: A Confounding Cultural Element in the Interrnational Harmonization of Accounting mengemukakan dua hal berikut.

Islam sebagai agama yang memiliki aturan-aturan khusus dalam sistem ekonomi keuangan (misalnya free interest banking system) pasti memerlukan teori akuntansi yang khusus pula yang dapat mengakoomodasi ketentuan syariah itu.

Kalau dalam berbagai studi disimpulkan bahwa aspek budaya yang bersifat lokal (national boundaries) sangat banyak memengaruhi perkembangan akuntansi, Islam sebagai agama yang melampaui batas negara tidak boleh diabaikan. Islam dapat mendorong internasionalisasi dan harmonisasi akuntansi.

Dalam artikel tersebut dibahas dikemukakan bahwa etika dan perilaku bisnis didasarkan pada tradisi dan filosofi Barat. Ada penulis yang menganggap bahwa tradisi ini dipengaruhi etika Yahudi dan Kristiani, ada yang menganggap dipengaruhi oieh etika Protestan, ada yang menganggap hanya tradisi Barat. Perilaku bisnis melahirkan prinsip dan teknik akunntansi. Kalau konsep dasar bisnis berbeda, mestinya prinsip dan konsep dasar akuntansinya juga harus berbeda. Menurut penulis banyak konsep bisnis Barat yang tidak sesuai dengan syariat Islam sehingga konsep dan praktik akuntansinya juga ada yang tidak sesuai dengan Islam. Artinya akuntansi berdasarkan Islam harus ada.

Toshikabu Hayashi (1989) dalam tesisnya yang berjudul: On Islamic Accounting membahas dan mengakui keberadaan akuntansi Islam. Dalam tulisannya yang berasal dari tesisnya mengambil S2, beliau mengisahkan akuntansi barat yang dinilainya memiliki sifat yang dibuat sendiri dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme. 5ifat-sifat akuntansi Barat ini menurut dia kehilangan arah bila dihubungkan dengan aspek etika dan sosial dan bebas nilai. 5ementara itu, trendnya harus bernuansa sosial sebagaimana yang dimiliki akuntansi Islam dan diakui oleh Gambling dan Karim. Dalam akuntansi Islam dia katakan bahwa ada meta rule yang berada diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhinya, yaitu hukum syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan man usia. (Harahap, 1997)

Memirut beliau akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial. Dalam tulisannya, Hayashi menjelaskan bahwa konsep akuntansi sudah ada dalam sejarah Islam yang sangat berbeda dari konsep konvensional sekarang. Dia menunjukkan istilah muhtasib sebagai seseorang yang dibeerikan kekuasaan besar dalam masyarakat untuk memastikan setiap tindakan ekonomi berjalan sesuai syariah. Ia menerjemahkan akuntansi sebagai muhasabah. Bahkan beliau menjelaskan bahwa dalam konsep Islam ada perrtanggungjawaban di akhirat, di mana setiap orang akan mempertanggunggjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan. Dan Tuhan memiliki akuntan (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja bidang ekonomi, tetapi sosial dan pelaksanaan hukum syariah lainnya.

Dalam hal zakat ia mengemukakan bahwa dalam menghitung zakat sebagai kewajiban Muslim memiliki beberapa konsep pengukuran, penggakuan, dan pelaporan yang berbeda dari konsep akuntansi Barat, seperti penilaian persediaan yang harus menggunakan harga pasar, memakai konsep accrual basis, dan konsep time period yang tegas. Dalam kesimmpulannya beliau menyatakan sebagai berikut.

Akuntansi Islam yang memiliki makna implisit bidang ekonomi, politik, agama, memiliki kas yang besar untuk menunjukkan kunci ke arah akuntansi pasca Newtonian (pasca kemajuan Barat, pen).

Muhammad Akram Khan (Harahap, 1992) merumuskan sifat akuntansi Islam sebagai berikut:

1.Penentuan Laba Rugi yang Tepat

Walaupun penentuan laba rugi agak bersifat subjektif dan bergantung nilai, kehati-hatian harns dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (atau dalam Islam sesuai dengan syariah) dan konsisten sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua pihak pemakai laporan dilindungi.

2.Mempromosikan dan Menilai Efisiensi Kepemimpinan

Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijakksanaan-kebijaksanaan yang baik.

3.Ketaatan kepada Hukum Syariah

Setiap aktivitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dinilai halal haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi.

4.Keterikatan pada Keadilan

Karena tujuan utama dalam syariah adalah penerapan keadilan dalam masyarakat seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan (selanjutnya mencegah) setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidakadilan dalam masyarakat.

5.Melaporkan dengan Baik

Telah disepakati bahwa peranan perusahaan dianggap dari pandangan yang lebih luas (pada dasarnya bertanggung jawab pada masyarakat secara keseluruhan). Nilai sosial ekonomi dari ekonomi Islam harus diikuti dan dianjurkan. Informasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk meIaporkan hal ini.<

Show more