2013-09-09

Makalah Masalah Budaya Dalam Bahasa. Berikut ini adalah makalah budaya dalam bahasa yang berjudul lengkap “Masalah Budaya Dalam Bahasa”

Pendahuluan

Bahasa dan budaya merupakan dua entitas berbeda namun dipandang memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain. Kramsch menyatakan bahwa bahasa mengungkapkan, membentuk, dan menandai realitas budaya penuturnya. Artinya bahwa bahasa tidaklah berkembang dalam ruang hampa. Bahasa adalah bagian dari suatu kebudayaan dan menjadi bagian terpenting dalam komunikasi masyarakatnya. Bahasa adalah salah satu unsur dari budaya sekaligus menjadi pusat dalam jalinan kerja antarunsur tersebut.

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Dalam perkembangan­nya, perilaku dan bicaranya pun terpola, sehingga memudahkan antaranggota masyarakat untuk menjalinan komunikasi dan interaksi sosialnya. Bila pola perilaku, pola wicara, dalam berpikir, dan berperasaan mencapai titik kesera­gaman, sehingga bisa dibedakan dengan pola masyarakat lain, maka jadilah itu sebagai suatu budaya.

Whorf sebagai pencetus dari Linguistic Relativity Hypothesis mengemukakan beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya menganggap bahwa sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Contohnya saja, orang Eskimo yang memiliki berbagai istilah untuk menamai berbagai bentuk salju, atau orang Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering.

Dalam suatu pertemuan, bahasa yang digunakan oleh setiap budaya tidak selalu mempunyai arti yang sama. Contoh kasus, penggunaan kata “Ya” oleh orang Amerika dan Jepang. Dalam kebudayaan Amerika, kata “Ya” adalah tanda menyetujui atau menerima pernyataan sebelumnya. Sebaliknya kata “Ya” yang diucapkan oleh orang Jepang, tidak berarti bahwa mereka setuju dengan lawan bicara, tetapi sekedar menunjukkan bahwa mereka mengerti apa yang dimaksudkan oleh pembicara.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh benturan budaya dalam bahasa. Penggunaan bahasa juga mencerminkan gambaran diri setiap budaya. Orang Amerika menggunakan kata dan kalimat langsung untuk mencapai kesimpulan dengan cepat. Situasi ini tidak akan cocok bagi para eksekutif Jepang dan Arab, barangkali juga Indonesia termasuk di dalamnya karena nilai yang mereka anut adalah keselarasan kelompok dan hubungan jangka panjang.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai masalah-masalah budaya dalam bahasa dengan mengacu kepada aspek-aspek penggunaan bahasa oleh penuturnya sebagai manifestasi dari konstruksi budaya yang melatarinya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Pentingnya bahasa itu kadang-kadang kurang dipahami oleh pemakainya karena mereka menggunakannya sehani-hani seakan-akan bahasa itu adalah suatu hal yang biasa, seperti halnya, manusia harus bernafas, berjalan, dan sebagainya. Padahal, bahasa mempunyai pengaruh yang luar biasa, dan bahasa merupakan salah satu pembenda yang sangat penting antara manusia dengan binatang. Kalau tidak ada bahasa tentu manusia tidak dapat mengeksprsikan ide-ide yang ada dalam pikirannya termasuk mengungkapkan budaya yang ada dalam masyarakatnya.

Sesuai dengan topik bahasan kami, yaitu masalah badaya dalam bahasa, kami mencoba memahaminya dari dua sudut pandang,

Pertama, ciri-ciri budaya suatu masyarakat yang dapat diketahui dari bahasa yang digunakan. Dalam hal ini kami mencoba mamahami budaya seseorang atau kelompok berdasarkan bahasa yang digunakannya.

Kedua, kesalahpahaman yang terjadi dalam memahami bahasa yang digunakan seseorang karena perbedaan budaya yang mendengar atau membaca. Sebagaimana diketahui, di samping bahasa itu milik umum di dalam masyarakat, bahasa merupakan milik pribadi seseorang. Bahasa merupakan tempat pelarian pada waktu kesunyian, bila hati bertempur melawan kehidupan, baik di dalam manusia itu sendiri maupun kehidupan sekelilingnya, bahkan kehidupan yang mungkin hanya tampak di dalam angan-angannya saja; dan pertarungan atau penjelajahan itu diselesaikan dan dituangkan di dalam monolog seorang penyair atau di dalam buku harian seorang pemikir.

Kebudayaan

Sebagai ilustrasi, bagaimana penggunaan wacana kebudayaan untuk membandingkan dua budaya yang berbeda, bisa diperhatikan dua wacana berikut ini.

Wacana budaya A:

Setiap orang dapat mengatakan sesuatu pada seseorang seperti ini:

– “Saya kira ini.”

– “Saya kira bukan ini.”

Rasanya baik mengatakan apa yang saya pikirkan kepada seseorang.

Rasanya baik mengatakan apa yang saya rasakan kepada seseorang.

Wacana budaya B:

Saya tidak dapat mengatakan sesuatu pada seseorang seperti ini,

– “Saya kira ini.”

– “Saya kira bukan ini.”

Rasanya baik tidak mengatakan apa yang saya pikirkan.

Saya tidak dapat mengatakan apa yang saya rasakan.

Dari wacana yang diteliti Wierzbicka (1996b) tersebut, ternyata wacana 1, 2, 3 merupakan representasi dari norma budaya Amerika. Wacana 1 menyatakan kebebasan dalam mengemukakan pendapat; sedangkan wacana 2 dan 3 menjelaskan nilai budaya verbalisasi dan ekspresi terbuka dan jujur. Sementara itu, wacana 4, 5, 6 merupakan representasi dari norma budaya Jepang. Bertolak belakang dengan norma budaya Amerika, orang-orang Jepang di didik untuk mengerti perasaan, keinginan, dan kebutuhan orang lain tanpa komunikasi verbal. “Lain ladang lain belalang,lain lubuk lain ikannya.”

Dengan mengacu pada kedua contoh wacana budaya di atas, barangkali kita bisa menjelaskan apa itu budaya. Budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilhat sebagai “mekanisme kontrol” bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973a), atau sebagai “pola-pola bagi kelakuan manusia” (Keesing & Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973b).

Implikasi dari melihat kebudayaan sebagai pengetahuan manusia adalah, bahwa kelakuan dan hasil kelakuan (yang terwujud dalam bentuk benda-benda kebudayaan) tidak dapat digolongkan sebagai kebudayaan. Dalam kenyataannya, perbedaan ini dapat diuji kalau kita melihat bahwa kebudayaan itu adalah sebagai satuan ide yang tidak dapat di-observasi karena adanya di dalam kepala manusia, sedangkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan adalah satuan gejala yang dapat di-observasi karena terwujud dalam berbagai tindakan manusia. Lebih lanjut, kebudayaan merupakan seperangkat ciri-ciri yang dipunyai oleh para anggota masyarakat, sedangkan kelakuan merupakan seperangkat ciri-ciri yang ada pada masyarakat karena kelakuan terwujud dalam berbagai interaksi sosial yang melibatkan para warga masyarakat, baik secara sebagian maupun secara keseluruhan.

Pola Budaya dalam Bahasa

Bahasa merupakan wahana budaya. Sebagai wahana budaya, bahasa akan merekam semua aktivitas masyarakatnya. Bahasa adalah cermin budaya, maka, bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur budaya lain di masyarakat itu. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui unsur-unsur budaya suatu masyarakat secara keseluruhan, orang harus mempelajari bahasa masyarakat yang bersangkutan sebagai mediumnya.

Bahasa Inggris, misalnya mempunyai beragam perbedaan sesuai subbudaya yang dikarenakan perbedaan wilayah penggunanya. Oleh karena itu, ada bahasa Inggris-British, Inggris-Amerika, Inggris-Australia, dan seterusnya. Selanjutnya bahasa Inggris-Amerika pun dapat dipilah lagi, untuk Amerika bagian barat, tengah, selatan, utara, dll. Perbedaan soial dan level pendidikan juga merupakan variasi subbudaya. Sebagian besar variasi budaya tidak boleh diabaikan bila mereka akan mempelajari bahasa Inggris. Misalnya budaya Spanyol, Perancis, Arab, Cina, Rusia, dll.

Di samping variasi kelompok, individu sebagai anggota budaya juga turut pula mendukung terhadap seluruh atau sebagian dari pola budaya. Dan sebaliknya, budaya juga mempengaruhi individu secara sebagian maupun keseluruhan. Bisa saja individu menolak pola budaya sebagai cara menegaskan individualitasnya.

Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya Indonesia

Masalah silang budaya tidak hanya berupaya melihat bahasa dari konteks budaya, tetapi sebagai bentuk ekspresi nurani masyarakat Indonesia yaitu hakikat pola hidup dalam keragaman. Bahasa Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat” pluralistik yang harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isi bahasa. Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam tataran satu bahasa nasional  disinergikan dengan kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.

Pemahaman atas kenyataan pluralistik budaya Indonesia inilah sangat dimungkinkan adanya usaha membangun pola hubungan manusia dan kelompok yang diawali dengan sistem budaya khusnudzan (sebagai dataran budaya tinggi). Yang dimaksud adalah pemahaman budaya sebagai rujukan dari cara bersikap dan bertindak (code of conduct).

Pendekatan silang budaya merupakan suatu cara pemahaman budaya sebagai keseluruhan hasil respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui rentangan proses interaksi sosial. Pokok-pokok  yang terpenting adalah kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan interaksi sosial yang diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan adalah masing-masing sub entitas budaya itu mewarisi “pikiran, perasaan, makna, tanda budaya dan simbol-simbol” yang muncul dalam tuturan berbahasa Indonesia. Kata “Assalamu’alaikum Warrohmatullahi wabarokatuh” memang berasal dari bahasa Arab, karena kata ini dibawa serta oleh ajaran agama Islam. Tetapi kata ini telah identik dengan pola perilaku bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Untuk memahami dan menggunakan kata ini tidak sekedar dihafal dan dilihat artinya dalam kamus yang sementara diartikan semacam “salam” kepada orang. Padahal menurut pemahaman masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, kata ini memiliki makna yang lebih dalam yaitu semacam doa serta penggunaan nama Tuhan, sehingga sebelum diucapkan perlu pemahaman tentang tanda budaya kehidupan Muslim.

Demikian juga misalnya sering kita dengar kata “Mendhem Jero Mikul Dhuwur” yang sering digunakan di era orde baru untuk konsep “tenggang rasa terhadap perasaan orang lain, terutama orang/generasi tua”, sudah berbeda artinya ketika kata ini digunakan dalam kalangan sistem tanda budaya Jawa. Oleh sebab itulah untuk memahami sistem tanda budaya dalam pendekatan silang budaya, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat diperlukan sikap yang terbuka (open-minded) serta tidak ada penghalang komunikasi (communication barriers), baik dalam tindak tutur maupun dalam sikap bahasa. Kadang-kadang kecurigaan menjadikan “keengganan” berbahasa, karena hal inilah yang sering terjadi dalam suatu proses asimilasi. Kecurigaan merupakan persoalan psikologis sebagai akibat sifat stereotipe. Orang mungkin menyangka bahwa suku Jawa sangat identik dengan feodalisme mengingat sistem bahasanya yang berjenjang-jenjang, berputar-putar dan penuh makna konotatif. Padahal ini sebagai salah satu gambaran kurang dipahaminya sosiokultural Jawa, yang sesungguhnya memiliki tiga bentuk masyarakat secara sosiokultural yaitu Keraton, Pesantren dan Pedesaan, atau Pesisir, dan Pedalaman, sehingga memerlukan asimilasi untuk menghindari stereotipe. Asimilasi sebagai salah satu bentuk proses-proses sosial yang  erat hubungannya dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih.

Pendekatan silang budaya dalam belajar bahasa Indonesia memerlukan  asimilasi sosio-struktural atau sharing their experience. Pendekatan silang budaya  sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih diandalkan pada pemilikan (to have). Apabila sikap demikian ini menjadi suatu mentalitas dalam kalangan trend setters dalam masyarakat Indonesia dapat digambarkan dampak selanjutnya secara sosial. Pencitraan budaya Indonesia.

Penutur Bahasa Indonesia bukanlah orang Indonesia dalam arti sesungguhnya. Para penutur bahasa Indonesia adalah suku-suku bangsa di Indonesia yang dipersatukan oleh semangat “nation state”, sebuah gambaran imajinatif, yang senyatanya adalah orang Jawa berbicara bahasa Indonesia, orang Sunda berbicara bahasa Indonesia, orang Minangkabau berbicara bahasa Indonesia. Akar semua ini adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai lingua franca dan semangat nasionalisme menghadapi kolonial.

Bahasa Indonesia dalam tata kebudayaan Indonesia  adalah sumber pertama sebuah pandangan yang memungkinkan seseorang menangkap gejala ontologis. Masyarakat penutur menangkap kesadaran berbahasa nasional dilakukan dengan sadar dalam sebuah keberaturan dan kebermaknaan (kosmologis). Dengan konsep kosmologis bahasa Indonesia dalam percaturan kebudayaan Indonesia ini, maka dalam mempelajari bahasa Indonesia dengan pendekatan silang budaya akan menjadikan kebudayaan sebagai sistem realitas (system of reality) dan sistem makna (system of meaning). Dengan meminjam istilah yang pernah ditulis oleh Dr. Ignas Kleden, bahwa bahasa Indonesia memiliki “kedekatan saudara” dengan “Eufemisme Bahasa, Konsensus Sosial dan Kreativitas Kata”. Rasa kata dalam bahasa Indonesia (maaf: mungkin bagi penutur dari Jawa) lebih banyak digunakan, karena dalam konsep kebudayaan Jawa berkenaan dengan konsep “ adi luhung” tercermin suatu  nilai bahwa pemakaian suatu ungkapan yang lembut atau samar harus digunakan untuk mengganti ungkapan yang terang atau kasar. Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan “Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda” dibandingkan dengan “kau atau kamu” sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan sebutan “Bung” cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata “ gue (saya) dan lu/elu (kamu)“.

Masalah dalam Memahami Bahasa Karena Pengaruh Budaya

Masalah dalam bahasa verbal

Kenyataan menunjukkan bahwa budaya sangat mempengaruhi gaya berbahasa seseorang. Hal ini kadang-kadang menyebabkan salah pengertian bagi yang mendengarnya. Misalnya, orang Itali, pada umumnya, sarigat bersemangat (high involvement) kalau berbicara tentang politik tetapi orang Amerika tidak (high considerateness). Pada suatu kali, orang Itali berkata dengan bersemangat tentang masalah politik dengan orang Amerika dan mengharapkan orang Amerika melibatkan diri dalam percakapan tersebut. Orang Amerika tidak meresponnya seperti yang diharapkan oleh orang Itali. Akibatnya orang Itali merasa tersinggung karena merasa tidak dihargai oleh lawan bicaranya orang Amerika, dengan mengatakan “well, everyone is entitled to an opinion, I accept that your opinion is different than mine”. Orang Itali kesal karena tidak mendapat respon yang diharapkan dan berkata “is it all you have to say about it?”

Apa yang dapat dipelajari dan masalah di atas adalah terdapat pengaruh budaya dalam bahasa dan cara penggunaan bahasa seseorang. Dalam hal di atas sebenarnya tidak ada masalah kalau orang Itali sebelumnya memahami bahwa masalah politik bukanlan masalah yang hangat dibicarakan bagi umumnya orang Amerika dan sebaliknya kalau orang Amerika mengetahui bahwa masalah politik merupakan topik yang menarik bagi umumnya orang Itali, tentu dia akan meresponnya minimal untuk tidak membuat orang Itali tersinggung.

Masalah high involvement dan high considerateness tidak mesti melambangkan budaya suatu negara. Masyarakat tertentu dalam suatu negara mempunyai pola high involvement, sedangkan masyarakat yang lain dalam negara yang sama mempunyai pola high considerateness. Orang New York di Amerika terkenal dengan high involvement, sedangkan orang California terkenal dengan high considerateness. Ketika terjadi percakapan di antara dua masyarakat ini, orang New York menyatakan bahwa orang California nampaknya lamban, kurang cerdas, dan tidak responsive, sementara orang California mengatakan bahwa orang New York terlalu agresif dan dominatif. Hal yang sama juga sering terjadi di Indonesia. Misalnya, sering terjadi kesalahpahaman antara teman-teman dari suku batak ketika berkomunikasi dengan teman-teman dari suku Sunda, dan suku Bugis dengan suku Madura, dan sebagainya.

Di samping pola high involvement dan high considerateness, ada lagi pembagian budaya yang lain yang dikemukakan oleh Levine dan Alderman. Ada masyarakat yang menganggap cara bicara langsung sebagai cara yang bagus dan ada masyarakat yang menganggap bahwa cara bicara yang tidak langsung sebagai cara yang baik dalam berkomunikasi. Orang Amerika menganggap gaya bicara langsung sebagai gaya bicara yang ideal. Sehingga pada masyarakatnya ditemukan ungkapan-ungkapan: get to the point, don’t beat aroung the bush, lets get down to business. Orang Jepang, berbeda dengan orang Amerika, tidak mau mengatakan sesuatu dengan langsung dan berusaha mencari cara lain. Karena itu, orang Jepang mempunyai minimal 20 kata untuk menyatakan tidak. Perkataan I don’t agree with you atau you are wrong dianggap ungkapan yang tidak sopan bagi budaya Jepang.

Masalah dalam bahasa Non-verbal

Banyak hal yang diungkapkan dengan bahasa nonverbal yang sama di semua negara. Persasaan gembira, sedih, dan takut umumnya diungkapkan dengan cara yang sama oleh masyarakat dunia. Namun, ditemui perbedaan bahasa nonverbal pada masyarakat tertentu yang dapat menyebabkan kebingungan dan salah pengertian. Rasa persahabatan terdapat dimana-mana, tetapi cara mengungkapkannya berbeda dan masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Pada masyarakat Indonesia, adalah suatu hal yang biasa kalau sesama laki-laki atau sesama perempuan berpegangan tangan waktu bejalan. Tetapi hal ini merupakan suatu kelainan pada masyarakat lain, misalnya, Amerika. Kalau melihat hal ini, orang Amerika akan Iangsung menyimpulkan bahwa yang berjalan tersebut adalah pasangan Gay atau Lesbian. Contoh lain adalah penggunaan telapak tangan ke atas ketika memanggil orang lain. Bagi orang Amerika ini hal yang normal, tetapi sangat tidak sopan bagi orang Indonesia. Menyetop taksi dengan tangan kiri adalah hal yang biasa bagi orang Amerika dan sebagian orang Indonesia sekarang, tetapi belum berterima bagi orang Timur Tengah dan Sumatera Barat.

Penggunaan tangan dan lengan untuk tujuan komunikasi juga bervariasi. Isyarat tangan bagi orang Amerika diarahkan pada aktivitas; bagi orang ltalia berfungsi sebagai ilustrasi dan untuk menunjukkan (display); bagi orang Yahudi merupakan penekanan; dan bagi orang Jerman hal itu melukiskan sikap dan komitmen, Jensen (2006: 266).

Ketika orang Amerika menggenggamkan kedua tangannya di atas kepala, hal itu lazimnya menunjukkan kebanggaan dan terkadang kesombongan, sebagai tanda kemenangan atas musuh (seperti yang ditunjukkan oleh petinju). Akan tetapi bagi orang Rusia hal itu berarti persahabatan. Maka ketika Kruschev mengunjungi Amerika dan diberitakan lewat foto melakukan isyarat tersebut, jutaan orang Amerika marah karena menganggapnya sebagai isyarat arogan atas keyakinan dan keunggulan Komunisme atas Amerika dan kapitalismenya. Sedangkan di Kolombia isyarat serupa tetapi dengan tangan yang setingkat dengan wajah berarti “Saya setuju dengan anda”.

Ketika seorang pria asal Sumatera Barat berada di Beijing, dia makan pada sebuah rumah makan tradisional. Selesai makan, dia minta air kepada pelayan untuk mencuci tangan. Oleh karena tidak bisa berbahasa Cina atau mungkin karena sering makan di restoran Padang, dia menggunakan isyarat tangan seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang Indonesia, yaitu merema-remas tangan. Kemudian pelayan-pelayan itu mangut-manggut dan langsung pergi ke belakang. Pria ini merasa kesal karena menunggu lama sekali, padahal cuma minta air kobokan. Tak lama kemudian pelayan itu datang dengan membawa sebuah nampan besar yang isinya ternyata kepiting rebus! Kontan saja pria itu kaget dan tidak dapat menahan tawa. Ternyata pelayan itu salah mengartikan isyarat pria tadi.

Banyak lagi contoh-contoh lain yang hams diwaspadai kalau berkomunikasi dengan orang lain untuk menghindari salah pengertian karena faktor budaya.

Masalah yang timbul karena kesalahan memahami kata tertentu

Di samping masalah-masalah di atas, pada bagian ini kami mencoba mengemukakan beberapa kesalahpengertian yang terjadi pada mayarakat yang berbeda dalam memahami kata yang sama.

kata boleh dan percuma dalam bahasa melayu

Seoarang perempuan dari Padang ke Singapura menemui suaminya bersama seorang bayi. Di Singapura dia dikenalkan oleh suaminya dengan seorang perempuan Melayu yang telah berumur 45 tahun. Si perempuan melayu ini sangat senang dengan bayi dan malah mau mengadobsi si bayi kalau diizinkan. Perempuan dari Padang, karena menganggap perempuan Melayu ini masih produktif, mengatakan: “Tambah sajalah anaknya, Kak’. Orang Melayu tersebut menjawab: “tidak boleh”. Setelah berpisah dengan Melayu tersebut, perempuan dari Padang itu menanyakan pada suaminya kenapa perempuan tidak boleh menambah anak di Singapura. Suaminya mengatakan bahwa dalam bahasa Melayu, kata tidak boleh dapat berarti tidak bisa. Jadi, kata tidak boleh yang diucapkan perempuan melayu itu berarti tidak bisa.

Pada sebuah iklan radio di Malaysia dinyakatan bahwa malam itu ada pertunjukkan spektakuler di pulau Sentosa, dengan menampilkan bintang-bintang lawak, penyanyi, dan group band terkenal. Namun, orang Indonesia tidak berminat pergi kesana karena di akhir iklannya dinyatakan “masuk percuma”.

Kata marano dan cilok dalam bahasa Minang

Pada tahun delapan puluhan, ada sebuah bank didirikan di Padang dengan nama Maranu Bank. Bank ini didirikan pada lokasi yang cukup strategis, yakni, di Jalan Khatib Sulaiman. Namun, bank ini tidak mendapat tempat di hati masyarakat sehingga tidak beberapa lama kemudian tidak beraktivitas lagi. Salah satu penyebab utamanya adalah kata maranu mempunyai makna yang tidak bagus dalam bahasa Minang. Kata maranu mirip dengan kata marano yang berarti merana dalam bahasa Minang. Tapi sebaliknya kata maranu bagi orang Bugis bermakna senang atau gembira.

Seorang pemuda yang berasal dan Riau pernah mengikuti pertukaran pemuda antar provinsi Riau dan Jawa Barat. Setiap kelompok terdiri dan 10 orang, lima dan Riau (Pakanbaru) yang tak asing dengan bahasa Minangnya dan lima dari Jawa Barat. Ketika mereka baru menyelesaikan tugas di suatu daerah di Jawa Barat, salah seorang penduduk berteriak, “Cilok!Cilok!” Spontan saja mereka yang berasal dan Riau mengejar orang yang melintas di depan rumah. Pemuda itu meminta orang tersebut untuk mengembalikan barang-barang yang diciloknya secara paksa. Tanpa disadari terjadilah kesalahpahaman antara pemuda dan orang itu. Tak lama kemudian datanglah seorang penduduk dengan membawa mangkok dan meminta cilok seharga Rp2000,- Sang pemuda terperangah dan meminta maaf kepada orang itu. Dalam bahasa Minang cilok berarti pencuri, sedangkan dalam bahasa Sunda ciok adalah sejenis makanan.

Kata kemplang dalam bahasa Jawa

Iwin, seorang mahasiswa asal Gorontalo baru saja berkunjung di daerah Lampung. Dia membawa ole-ole berupa makanan khas daerah Lampung bernama kemplang. Di tempat kostnya dia menawari Karlina, temannya yang orang Jawa.

Karlina : “Hei kapan datang dari Lampung?”

Iwin : “Tadi malam. Oh, iya, mau ole-ole nggak?”

Karlina            : “Mau, dong. Kamu bawa ole-ole apa?”

Iwin  : “Kamu mau kemplang?”

Karlina : “Nggak. Enak aja. Emang saya salah apa mau dikemplang segala?”

Daftar Pustaka

Austin, J.L.  1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press

Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987.  Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge  University Press.

Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1.

Condon, John C. dan Fathi Yousef. An introduction to Intercultural Communication. New York: Mcmillan. 1985.

Edward, John. 1985. language, Society, and Identity. New York: Basil Blackwell.

Fishman, Joshua A. 1972. The Sociology of Language: an Interdisciplinary social Science Approach to Language in Society. Newbury House Publisher

Gee, James P. An Introduction to Human Language: Fundamental Concepts in Linguistics. New Jersey: Prentice Hall. 1993.

Goddard, C & A. Wierzbicka. 1996. “Discourse and Culture”. Dalam A. Wierzbicka (ed.). Cross-Cultural Communication. Canberra: Australian National University.

Goody, Esther N. (ed.). 2985. Questions and Politeness: Strategies in Social Interaction. Combridge

Gordon, George N. 1965. The Languages of Communication. New York: Hasting House

Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.

Kramsch, Clam. Language and Culture. Oxford University Press. 1998.

Levine, Deena R dan Mara B. Adelman. Beyond Language: Cross-Cultural Communication. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall Regents. 1998.

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pen gantar. Bandung: Rosdakarya. 2007.

Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.

Show more