2015-11-10

Pada September 2015, kebakaran besar berkobar di hutan, lahan rusak dan lahan gambut di provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan bagian lain Indonesia. Dan api terus dinyalakan.

Hingga akhir Oktober, lebih dari 115.000 kebakaran menyala di negeri ini, terkonsentrasi di provinsi Riau dan Jambi, selain juga provinsi Kalimantan Tengah dan provinsi Kalimantan Barat.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, kebakaran menghanguskan kurang lebih 1,7 juta hektare lahan di Sumatera dan Kalimantan.

Kebakaran menjadi kejadian rutin tahunan di lahan gambut dan hutan Indonesia, puncaknya terjadi sekitar September atau Oktober. Deforestasi dan berulangnya kebakaran membuat bentang alam Indonesia menjadi lebih rentan akan kebakaran.

Kebakaran lahan dan hutan di Indonesia. Akankah terus terjadi?

Kebakaran makin parah dengan intensitas tak biasa El Nino, yang diprediksi akan berlangsung hingga awal 2016.

Penelitian CIFOR menunjukkan bahwa polusi udara besar-besaran tidak lagi terbatas pada tahun kering, ketika deforestasi lahan gambut dan degradasi lahan terus menjadikan bentang alam jadi lebih rentan terbakar.

Kerugian akibat kebakaran lahan dan kabut kabut asap terus meningkat. Akar penyebabnya kompleks. Menemukan solusi jangka panjang untuk mencegah kebakaran masa depan perlu waktu, koordinasi dan bukti nyata.

Menghitung kerugian kebakaran dan kabut asap

Tahun 1997-98 kita menyaksikan peristiwa El Nino yang kuat. Pada saat itu, kebakaran menghanguskan lebih dari 6 juta hektare di Indonesia, menimbulkan kerugian sedikitnya 8,5 miliar dolar AS, terutama sektor kehutanan dan perkebunan.

Kabut asap dari kebakaran 1997-98 diperkirakan menimbulkan kerugian sektor pariwisata sebesar 4,5 miliar dolar AS dan kesehatan jangka pendek di seluruh wilayah. Dua estimasi itu merupakan estimasi konservatif kerugian karbon. Padahal emisi karbon 1997-98 cukup tinggi untuk mengangkat Indonesia menjadi salah satu penyebab polusi terbesar dunia.

Penelitian CIFOR menunjukkan 1,45 miliar ton karbon dioksida teremisi saat kebakaran 1997-98, bernilai 3,6 miliar dolar AS pada nilai pasar karbon 2005. Dengan harga karbon yang secara jangka panjang akan naik, kebakaran di masa depan akan menimbulkan kerugian lebih besar.

Laporan menyebutkan sejauh ini kebakaran telah menimbulkan kerugian 30 miliar dolar AS bagi pemerintah Indonesia.



Kebakaran lahan di hutan penelitian Tumbang Nusa, Palangka Raya

Dimana ada kabut asap, di situ ada gas beracun

Bagaimana kebakaran bermula di Indonesia dan mengapa berlanjut?

Kebakaran di lahan gambut sangat sulit dipadamkan, seringkali membara berhari-hari atau berminggu-minggu, dan setiap saat bisa menyala kembali. Hanya lebatnya curah air musim hujan bisa benar-benar memadamkannya.

Gambut adalah campuran tanah dengan sebagian vegetasi membusuk, membentuk lahan basah mengelilingi pesisir kepulauan Indonesia.

Deforestasi mengekspos gambut di bawah pohon dan ditambah pengeringan, mengeringkan material. Pembersihan dan pembakaran berulang juga mendorong tumbuhnya paku dan semak yang lebih rentan kebakaran.

Pembakaran adalah cara murah dan mudah bagi petani kecil dan perusahaan besar untuk membersihkan lahan untuk pertanian seperti sawit.

Secara tradisional, petani lokal menggunakan teknik tebang-dan-bakar untuk membuka petak kecil hutan hujan untuk tanaman dan ternak.

Pembangunan skala besar berkontribusi memperbesar penggunaan api oleh masyarakat ketika pembangunan menarik migran dan memperluas akses ke area terpencil sebelumnya.

Lemahnya tata kelola dan buruknya perencanaan lahan kemudian membuka spekulator lahan dan investor lain untuk masuk.

Ketidakjelasan atau tidak tegaknya tenurial lahan menjadi panggung konflik antara petani kecil, migran, badan pemerintah, masyarakat dan korporasi. Kebakaran sering digunakan untuk memancang klaim.

Walaupun observasi satelit menyatakan sekitar 1 dari 5 kebakaran terjadi dalam konsesi sawit, penelitian terbaru CIFOR menceritakan kisah yang lebih rumit, ketika masyarakat lokal juga menguasai lahan di dalam konsesi, dan kebakaran di luar merangsek ke dalam konsesi.

Industri sawit Indonesia didorong oleh tuntutan global dan investasi antara lain perusahaan Malaysia dan Singapura. Pada 2014, Indonesia menyuplai sekitar 52 persen minyak sawit dunia, yang digunakan untuk beragam produk, mulai dari keripik kentang, kosmetik hingga minyak goreng dan pasta gigi.

Sawit adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia dan wilayah ini. Secara total, sekitar 11 juta hektare perkebunan sawit memproduksi 33 juta ton minyak, dan menghasilkan 21 miliar dolar AS pada 2014.

Mencegah kebakaran dan kabut asap: Solusi lestari bagi lahan gambut Indonesia

Pengorbanan manusia akibat kebakaran dan kabut asap

Tahun ini kabut asap dari kebakaran yang tampaknya paling buruk sejak 1997–98, diperkirakan memberi efek buruk bagi kesehatan, properti dan penghidupan sekitar 75 juta orang di Indonesia dan regional.

Kebakaran dan kabut asap menyebabkan beragam masalah kesehatan, langsung dan tidak langsung.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan estimasi 500.000 orang menderita gejala sakit pernafasan akibat kabut asap dari kebakaran tahun ini.

Kabut asap beracun dari kebakaran hutan dan gambut adalah campuran  jelaga (material partikulat atau PM) dan beragam zat kimia berbahaya, antara lain karbon monoksida, amonia, sianida, asam formiat, formaldehida dan lain-lain.

Efek kesehatan langsung kabut asap mencakup sakit kepala, pusing, sulit tidur, kalut dan lelah—semuanya secara substansial bisa mengurangi produktivitas dan memicu penyakit lain.

Risiko kesehatan jangka panjang tidak begitu jelas tetapi kekhawatiran meningkat seiring menebalnya kabut asap dan makin lamanya paparan.

Penelitian 2013 memperkirakan kabut asap 1997-98 menyebabkan kematian dini 11.000 orang dewasa akibat penyakit kardiovaskuler. Mortalitas anak-anak (yang berjumlah lebih dari separuh populasi regional) tidak diestimasi, tetapi diperkirakan lebih tinggi lagi.

Di Kalimantan Tengah, pada paruh-Oktober 2015, CIFOR mengukur tingkat karbon monoksida 30 kali lebih tinggi dari normal, di dalam ruangan dan berjarak lebih dari 30 kilometer dari kebakaran terdekat.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dilaporkan telah menyatakan sedikitnya 43 juta orang di Sumatera dan Kalimantan telah terpapar kabut asap beracun.



Kondisi hutan taman nasional Sebangau, Kalimantan Tengah seusai kebakaran lahan

Indonesia berkabung asap

Kelindan kebakaran dan perubahan iklim

Dalam kondisi alami, karbon dari kebakaran hutan diserap dari atmosfer ketika vegetasi bertumbuh. Ketika gambut dibersihkan atau dibakar, ada peningkatan bersih kadar karbon dioksida di atmosfer.

Penelitian CIFOR menunjukkan, tahun 2013, seminggu kebakaran, sebagian besar pulau Sumatera, menghasilkan emisi gas rumah kaca setara 5-10 persen rata-rata tahunan emisi Indonesia selama 2000-2005.

Pada tahun 2005, kebakaran gambut terhitung sekitar 40 persen dari emisi gas rumah kaca Indonesia.

Analisis terbaru Global Fire Emissions Database menyatakan bahwa emisi harian kebakaran gambut sejak awal September 2015, pada beberapa kejadian, melampaui emisi harian Amerika Serikat.

Kebakaran cenderung memburuk pada tahun kering, dan diperburuk kondisi terkait iklim di Samudera Hinda dan Pasifik.

El Nino, misalnya, biasanya menurunkan curah hujan di Pasifik Barat. Ramalan terakhir menyatakan kondisi El Nino akan bertahan hingga awal 2016, yang memperburuk risiko kebakaran.

Tanpa perlawanan, pemanasan global diprediksi secara substansial meningkatkan frekuensi peristiwa El Nino.

Penelitian CIFOR menunjukkan bahwa peristiwa besar polusi udara tidak lagi terbatas tahun kering, ketika deforestasi dan degradasi lahan terus membuat sebagian besar bentang alam menjadi lebih rentan kebakaran.

Estimasi terbaru menyatakan bahwa kebakaran bisa menambah lebih dari 1 miliar ton karbon ke dalam beban emisi Indonesia. Ini memberi implikasi signifikan dalam pembicaraan iklim PBB mendatang di Paris serta target Indonesia memotong emisi dari sektor lahan sebesar 29 persen di bawah tindakan biasa business-as-usual pada 2030.

Deforestasi serta degradasi hutan dan lahan menjadi ancaman banyak spesies tumbuhan dan hewan, termasuk populasi orangutan tersisa.

Ratusan kebakaran dilaporkan terjadi di dalam tempat perlindungan dan taman nasional di Kalimantan, rumah bagi sekitar sepertiga orangutan liar yang tersisa di dunia.

Beberapa organisasi perlindungan satwa langka melaporkan bahwa orangutan keluar dari hutan untuk menghindari kebakaran. Ini memunculkan risiko kontak langsung dengan manusia.

Orangutan di Kalimantan sudah masuk daftar terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature.

Dampak pada serangga penyerbuk tampaknya juga sangat tinggi.

Politik ekonomi kebakaran hutan dan asap di Indonesia

Restriksi legal soal kebakaran jarang berhasil

Memperketat restriksi legal pada perusahan besar terbukti sulit, sebagian karena terpecahnya tanggungjawab pada beragam tingkat pemerintahan dan hukum.

Merangkai bukti yang cukup dalam mendukung tuntutan hukum sulit sekali. Dalam beberapa kasus pengadilan yang berupaya menuntut tersangka pembakaran ilegal, baik tanggungjawab kriminal maupun kewajiban warga negara ternyata sulit dibuktikan.

Institusi lokal seringkali tidak memiliki kapasitas, sumber daya atau kemauan politis untuk menegakkan hukum, bagi pejabat daerah, menegakkan larangan melakukan pembakaran akan menjadi “bunuh diri politik”.

Moratorium hutan Indonesia mencegah otoritas menerbitkan izin baru pembangunan di lahan gambut. Namun, konversi ke perkebunan sawit dapat terus dilakukan pada konsesi yang telah diberikan, termasuk di beberapa lahan gambut.

Pengaturan diri perusahan dan tak jernihnya keberhasilan

Perusahaan sawit, bubur kertas dan kertas membuat komitmen baru keberlanjutan lingkungan hidup, sementara sumber daya pemetaan baru meningkatkan kapabilitas pemantauan pihak ketiga.

Sementara beberapa perusahaan sawit besar membuat komitmen praktik lebih berkelanjutan; namun, tindakan staf dan subkontraktor di lapangan dapat melunturkan ikrar perusahaan.

Penelitian tahun lalu menunjukkan bahwa sebagian perusahaan besar mau mengambil risiko membayar denda, daripada membayar untuk tindakan pencegahan.

Mengatasi kompleksitas akar penyebab kebakaran

Akar masalah kebakaran di Indonesia terletak pada kemiskinan dan lemahnya tata kelola. Mereka tidak, secara langsung, menjadi masalah lingkungan hidup tetapi jadi masalah kemanusiaan.

Kebakaran tidak terjadi karena penyebab tunggal. Kebakaran adalah hasil aktivitas beragam jejaring aktor masyarakat, pemerintah, non-pemerintah, dan sektor swasta.

Kelompok-kelompok tersebut beroperasi di beberapa jenis lahan: konsesi perusahaan, lahan negara dan privat/komunal. Dalam banyak kasus, tidak jelas siapa pemilik hak lahan.

Hilangnya lahan gambut mengemisi karbon senilai 2.800 tahun dalam sekejap mata: Riset

Mencari solusi jangka panjang: dari supresi ke pencegahan

Puluhan ribu personel dikerahkan tidak mampu membuat kebakaran terkenalikan. Pemadam kebakaran seringkali kurang dilengkapi peralatan dan tidak terkoordinasi dengan baik.

Solusi jangka panjang perlu waktu untuk dikembangkan. Area fokus mencakup upaya menghindari konversi hutan, mengurangi ketergantungan pada api, serta menjauhi kultivasi lahan gambut. Memahami ekonomi politik kebakaran di Indonesia adalah kuncinya.

Saat ini, berbagai pihak mengambil manfaat besar dari kebakaran, petani, politisi, pebisnis, pejabat pemerintah, bahkan akademisi. Ini artinya insentif finansial untuk mengubah kebutuhan penggunaan lahan alternatif perlu pendekatan substansial.

Meredam kebakaran menjadi penting tetapi hanya itu saja akan menghambat solusi jangka panjang, karena alasan yang sangat jelas, menciptakan lapangan kerja lokal, serta menarik dana dan peralatan.

Tidak semua kebakaran menyebabkan kerusakan dan tidak diinginkan; banyak petani kecil mengandalkan pertanian tebang bakar bagi penghidupan mereka.

Fokus jangka panjang seharusnya berfokus pada penyediaan dukungan fiskal pada masyarakat miskin desa dan alternatif yang mampu bersaing dengan pertanian berbasis-api.

T&J soal kebakaran dan asap di Asia Tenggara



Hazy mornings

Monday morning in the provincial capital, Palangka Raya, Central Kalimantan. Residents start their day under a blanket of smoke from peatland fires.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

School disruption

Children are reminded to wear their masks every day while at school, to guard against the thick smoke from the peat fires. Teachers and parents express concerns as school closures disrupt classes and limits on play time are imposed.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Bad for business

A tour boat operator hangs around under the Kahayan bridge waiting for customers. The Kahayan river is devoid of passing boats as the thick smoke impairs visibility for river transportation.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Military might

Hundreds of army officers are deployed to support fire-fighting efforts as huge expanses of peatland burn and smolder.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Yellow sky

The sky develops a yellowish hue due to the thick smoke from the fires on peat.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Fighting fire day and night

Firefighters are working around the clock. Even after the sun sets, new fires burn and fire fighters must respond quickly.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Orangutan habitat in Sebangau National Park in danger

Fires have burned out areas of Sebangau National Park, Central Kalimantan. The national park is home to 10,000 orangutans, which are also suffering from the effects of the fire and haze.

Photo by Wendy Erb/redapes.org/firefund

Taking to the skies

CIFOR scientists and partners from King’s College London and National Centre for Earth Observation fly an Unmanned Aerial Vehicle (UAV). The UAV can be used to measure air quality and take thermal imagery of burning peat. Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Calculating emissions from peat fires

CIFOR scientists take soil samples and measure peat dynamics to calculate greenhouse gas emissions resulting from peat land fires. Tropical peat forests store 89 billion tonnes of carbon and Indonesia has the most tropical peat swamp of any other country in the world.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Measuring peat dynamics

Researchers use geo-radar technology to measure peat depth in the Tumbang Nusa research forest outside Palangka Raya, Central Kalimantan. Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Hazy future for farmers

Smoke from fires disrupts farmers’ harvests. Crops such as water spinach take weeks longer to grow with so little sunshine available. Produce harvested is of lower quality and fetches a lower price at market. Some farmers have been forced to look for extra work to compensate for the lost income from agriculture.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Activism against haze

Activists in Palangka Raya put masks on city statues as a symbol of protest against the peatland fires. The note reads, “Haze is not a natural disaster but a crime against humanity.”

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Stay safe

An army officer distributes masks to car passengers driving through the city of Palangka Raya, Central Kalimantan.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Riding through the haze

A family rides through the thick smoke from the peat fires. Like many families in and around Palangka Raya, Central Kalimantan, they wait for life to return to normal.

Photo by Aulia Erlangga/CIFOR

Show more